Menjawab Syubhat Jihad Palestina, Mereka dalam Keadaan Lemah

Menjawab Syubhat Jihad Palestina, Mereka dalam Keadaan Lemah

Salah satu syubhat yang dihembuskan kalangan salah fikir dan salah ngaji adalah suara sumbang mereka yang mengatakan harusnya orang Palestina itu tidak melawan, tapi bersabar dan lebih memilih mengalah karena kekuatan mereka belum seimbang.

Dimana pangkal kesalahan berpikir kelompok salah fikir dalam masalah jihad di Palestina sehingga mereka mengecam mujahidin dan menyalahkan perlawanan di sana?

Pangkal kesalahannya adalah keliru dalam klasifikasi jihad di sana, seakan mereka menganggapnya jihad thalab (jihad offensive), atau melakukan penaklukan seperti di masa para khalifah dulu. Padahal di sana adalah jihad difa’ (jihad defensif) mempertahankan diri dari serangan kuffar yg merebut tanah mereka.

Nah hukum jihad difa’ itu berdasarkan ijma’ para ulama adalah wajib ‘ain bagi penduduk negeri yang diserang.

Al-Jassash dalam kitabnya Ahkam Al-Qur`an menukil ijma’ ini dengan mengatakan,

وَمَعْلُومٌ فِي اعْتِقَادِ جَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّهُ إذَا خَافَ أَهْلُ الثُّغُورِ مِنْ الْعَدُوِّ، وَلَمْ تَكُنْ فِيهِمْ مُقَاوَمَةٌ لَهُمْ فَخَافُوا عَلَى بِلَادِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ أَنَّ الْفَرْضَ عَلَى كَافَّةِ الْأُمَّةِ أَنْ يَنْفِرُ إلَيْهِمْ مَنْ يَكُفُّ عَادِيَتَهُمْ عَنْ الْمُسْلِمِينَ. وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْأُمَّةِ، إذْ لَيْسَ مِنْ قَوْلِ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إبَاحَةُ الْقُعُودِ عَنْهُمْ حَتَّى يَسْتَبِيحُوا دِمَاءَ الْمُسْلِمِينَ وَسَبْيَ ذَرَارِيِّهِمْ

“Sudah diketahui bersama dalam akidah semua muslimin bahwa jika penduduk perbatasan kuatir diserang musuh dan mereka tidak mampu melawan sehingga mereka takut negeri mereka bisa direbut, atau diri dan keluarga mereka (akan ditawan) maka wajiblah semua umat Islam untuk berangkat jihad mencukupi kekuatan mereka. Ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ummat, karena tidak ada yang mengatakan bolehnya berdiam diri tak membantu mereka yang diserang sampai darah kaum muslimin tertumpah begitu saja dan warganya diperbudak.” (Ahkam Al-Qur`an, terbitan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, jilid 3, hal. 146-147).

Ibnu Abdil Bar berkata dalam kitabnya Al-Kafi fii Fiqhi Ahli Al-Madinah Al-Maliki, hal. 205 (terbitan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah):

والفرض في الجهاد ينقسم أيضا قسمين أحدهما فرض عام متعين على كل أحد ممن يستطيع المدافعة والقتال وحمل السلاح من البالغين الأحرار وذلك ان يحل العدو بدار الإسلام محاربا لهم فإذا كان ذلك وجب على جميع أهل تلك الدار ان ينفروا ويخرجوا إليه خفافا وثقالا وشبابا وشيوخا ولا يتخلف أحد يقدر على الخروج من مقاتل أو مكثر وان عجز أهل تلك البلدة عن القيام بعدوهم كان على من قاربهم وجاورهم ان يخرجوا قلوا أو كثروا على حسب ما لزم أهل تلك البلدة حتى يعلموا أن فيهم طاقة على القيام بهم ومدافعتهم وكذلك كل من علم بضعفهم عن عدوهم وعلم أنه يدركهم ويمكنه غياثهم لزمه أيضا الخروج اليهم فالمسلمون كلهم يد على من سواهم حتى إذا قام بدفع العدو أهل الناحية التي نزل العدو عليها واحتل بها سقط الفرض عن الآخرين

“Kewajiban dalam jihad terbagi dua:, Pertama adalah wajib keseluruhan dan bersifat wajib ‘ain atas diri setiap orang yang mampu berperang mempertahankan negeri serta membawa senjata di kalangan orang yang telah baligh, merdeka. Yaitu ketika musuh telah memasuki negeri Islam untuk memerangi.

Bila itu telah terjadi maka wajiblah bagi seluruh penduduk negeri itu untuk berangkat berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat, pemuda maupun tua, tidak boleh ada yang tinggal diam selama dia mampu berperang baik sebagai petempur maupun hanya sebagai penambah jumlah pasukan.

Kalau penduduk negeri itu tidak sanggup menghadapi musuh mereka maka wajiblah bagi penduduk negeri tetangganya untuk keluar membantu baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, tergantung kebutuhan negeri tersebut sampai mereka yakin bahwa mereka punya kekuatan yang cukup untuk menghalau musuh mereka.

Demikian pula pihak yang tahu akan lemahnya saudara muslimin mereka melawan musuh dan dia tahu bahwa dia sanggup menolong saudara muslimin tersebut maka dia juga wajib berangkat. Karena Islam itu satu kekuatan untuk melawan musuh mereka, sampai semua penduduk penjuru negeri lain mampu menghalau musuh barulah kewajiban itu gugur atas diri yang lain.”

Al-Qurthubi juga mengatakan dalam tafsirnya (jilid 8 hal. 151):

الرابعة : وذلك إذا تعين الجهاد بغلبة العدو على قطر من الأقطار ، أو بحلوله بالعقر ، فإذا كان ذلك وجب على جميع أهل تلك الدار أن ينفروا ويخرجوا إليه خفافا وثقالا ، شبابا وشيوخا ، كل على قدر طاقته ، من كان له أب بغير إذنه ومن لا أب له ، ولا يتخلف أحد يقدر على الخروج ، من مقاتل أو مكثر. فإن عجز أهل تلك البلدة عن القيام بعدوهم كان على من قاربهم وجاورهم أن يخرجوا على حسب ما لزم أهل تلك البلدة ، حتى يعلموا أن فيهم طاقة على القيام بهم ومدافعتهم. وكذلك كل من علم بضعفهم عن عدوهم وعلم أنه يدركهم ويمكنه غياثهم لزمه أيضا الخروج إليهم ، فالمسلمون كلهم يد على من سواهم ، حتى إذا قام بدفع العدو أهل الناحية التي نزل العدو عليها واحتل بها سقط الفرض عن الآخرين. ولو قارب العدو دار الإسلام ولم يدخلوها لزمهم أيضا الخروج إليه ، حتى يظهر دين الله وتحمى البيضة وتحفظ الحوزة ويخزى العدو. ولا خلاف في هذا.

Baca Juga:  Pentingnya Tarbiyah bagi Pemuda

“Jika jihad telah wajib ‘ain dengan berkuasanya musuh di salah satu daerah kaum muslimin maka wajiblah bagi penduduk negeri itu semuanya untuk berangkat jihad baik yang berat maupun ringan, pemuda ataupun orang tua, semua sesuai kemampuannya. Siapa yang punya orang tua maka tak perlu minta izin orang tua. Tidak boleh ada yang diam bagi yang bisa keluar baik sebagai petempur atau hanya sebagai penambah jumlah cadangan. Kalau penduduk negeri yang dijajah itu tidak mampu melawan musuh maka wajiblah bagi yang dekat dengan mereka untuk keluar membantu sampai mendapatkan jumlah yang mencukupi untuk mengusir musuh.

Demikian pula yang tahu keadaan kaum muslimin yang diserang ini lemah, dan dia sadar bahwa dia mampu membantu, maka dia wajib keluar membantu mereka. Semua itu karena orang Islam itu satu tubuh dalam menghadapi musuh. Kalau penduduk negeri yang diserang itu telah mampu mengusir musuh maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.

Kalau musuh telah mendekat ke negeri Islam tapi belum sampai masuk, maka tetaplah wajib keluar melawan mereka sampai terjaga agama Allah, terpelihara generasi dan wilayah serta musuh jadi terhina. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.”

Ibnu An-Nahhas dalam kitabnya yang sangat fenomenal, “Masyari’ Al-Asywaq” . 101 dan seterusnya mengatakan,

فإن دخل الكفار بلدة لنا، أو أطلوا عليها، ونزلوا بابها قاصدين ولم يدخلوا، وهم مثلا أهلها أو أقل من مثليهم، صار الجهاد حينئذ فرض عين، فيخرج العبد بغير إذن السيد، والمرأة بغير إذن الزوج، إن كان فيها قوة دفاع

“Jika orang kafir memasuki sebuah negeri milik kita (muslim) atau memantau dan sudah di depan gerbang meski belum masuk sementara jumlah mereka dua kali lipat atau kurang dari itu maka saat itu jihad menjadi fardhu ‘ain. Seorang budak harus keluar berperang tanpa izin tuannya, istri keluar perang tanpa izin suami, bila memang perannya bisa mempertahankan diri.”

Lalu beliau melanjutkan,

فإن دسهم العدو، ولم يتمكنوا من الاجتماع والتأهب للقتال فمن وقف عليه كافر، أو كفار وعلم أنه يقتل إن استسلم، فعليه أن يتحرك ويدفع عن نفسه، بما أمكنه، ولا فرق في ذلك بين الحر والعبد والمرأة والأعمى والأعرج والمريض؛ وإن كان يجوز أن يقتلوه، أو يأسروه، وإن امتنع عن الاستسلام قتل جاز أن يستسلم، وقتالهم أفضل

“Bila musuh telah mengepungnya dan mereka tak sempat untuk mengumpulkan kekuatan dan dia tahu kalau menyerah maka dia akan dibunuh maka dia wajib melawan. Tapi kalau dia tahu bahwa menyerah bisa menyelamatkan nyawa atau hanya ditawan maka dia boleh menyerah, tapi tetap melawan sampai mati itu lebih afdhal.”

Intinya, dalam jihad difa’iy atau mempertahankan tanah dari jajahan orang kafir hukumnya wajib ‘ain bagi penduduk negeri itu. Maka, apa yang dilakukan penduduk Palestina hanyalah menjalankan kewajiban tersebut. Sebuah kewajiban yang paling wajib setelah iman kepada Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam sebuah fatwanya,

وَأَمَّا قِتَالُ الدَّفْعِ فَهُوَ أَشَدُّ أَنْوَاعِ دَفْعِ الصَّائِلِ عَنْ الْحُرْمَةِ وَالدِّينِ فَوَاجِبٌ إجْمَاعًا فَالْعَدُوُّ الصَّائِلُ الَّذِي يُفْسِدُ الدِّينَ وَالدُّنْيَا لَا شَيْءَ أَوْجَبَ بَعْدَ الْإِيمَانِ مِنْ دَفْعِهِ فَلَا يُشْتَرَطُ لَهُ شَرْطٌ بَلْ يُدْفَعُ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ. وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْعُلَمَاءُ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ فَيَجِبُ التَّفْرِيقُ بَيْنَ دَفْعِ الصَّائِلِ الظَّالِمِ الْكَافِرِ وَبَيْنَ طَلَبِهِ فِي بِلَادِهِ

Baca Juga:  Mendoakan Keburukan Kepada Orang Yang Menzalimi Kita

“Adapun perang defensive merupakan bentuk bela diri yang paling besar terhadap kehormatan dan agama. Ijma’ ulama bahwa ini hukumnya wajib. Musuh yang telah menyerang dan merusakan agama dan dunia maka tak ada yang lebih wajib dari itu setelah iman selain menghalaunya. Jihad jenis ini tak disyaratkan apapun, tapi hendaknya musuh itu dihalau sedapat mungkin. Para ulama madzhab kami (Hanbali -penerj) dan lainnya telah menegaskan hal ini. Maka hendaknya dibedakan antara mempertahankan diri dari serangan musuh yang kafir dengan menyerang mereka di negeri mereka.” (Al-Fatawa Al-Kubra 5/538).

Beliau juga mengatakan,

فَأَمَّا إذَا أَرَادَ الْعَدُوُّ الْهُجُومَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يَصِيرُ دَفْعُهُ وَاجِبًا عَلَى الْمَقْصُودِينَ كُلِّهِمْ وَعَلَى غَيْرِ الْمَقْصُودِينَ؛ لِإِعَانَتِهِمْ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ} وَكَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنْصِرِ الْمُسْلِمِ وَسَوَاءٌ كَانَ الرَّجُلُ مِنْ الْمُرْتَزِقَةِ لِلْقِتَالِ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَهَذَا يَجِبُ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ مَعَ الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ وَالْمَشْيِ وَالرُّكُوبِ

“Adapun kalau musuh ingin menyerang kaum muslimin maka jihad melawannya hukumnya jadi wajib bagi seluruh penduduk kawasan yang diserang, dan yang tidak diserang wajib membantu mereka sebagaimana firman Allah:

“….. (Akan tetapi,) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama (Islam), wajib atas kamu memberikan pertolongan, kecuali dalam menghadapi kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka….” (Al-Anfal ayat 72).

Juga berdasarkan perintah Rasulullah untuk menolong kaum muslimin baik orang itu pasukan yang dibayar ataupun bukan.

Jihad defensive ini wajib sesuai kemampuan atas diri setiap orang baik pada jiwa maupun hartanya, baik mereka dalam jumlah banyak maupun sedikit, baik mereka punya kendaraan ataupun hanya jalan kaki…” (Majmu’ Fatawa 28/358-359).

Kemudian Ibnu Taimiyah membedakan jihad defensive dan menamakannya perang idhthirar (darurat) dengan jihad offensive dengan menamakannya jihad ikhtiyar (pilihan) di mana orang tidak semuanya wajib berangkat.

Ibnu Al-Qayyim dalam kitab Al-Furusiyyah (hal. 188, tahqiq Masyhur Hasan) menerangkan:

لِأَن دفع الصَّائِل على الدّين جِهَاد وقربة وَدفع الصَّائِل على المَال وَالنَّفس مُبَاح ورخصة فَإِن قتل فِيهِ فَهُوَ شَهِيد

“Karena melawan penyerang agama adalah jihad dan bentuk ibadah, dan melawan penyerang harta dan jiwa adalah mubah dan rukhshah. Tapi kalau terbunuh dalam kedua bentuk ini tetap jadi syahid.”

Selanjutnya Ibnu Al-Qayyim menerangkan:

فقتال الدّفع أوسع من قتال الطّلب وأعم وجوبا وَلِهَذَا يتَعَيَّن على كل أحد يقم ويجاهد فِيهِ العَبْد بِإِذن سَيّده وَبِدُون إِذْنه وَالْولد بِدُونِ إِذن أَبَوَيْهِ والغريم بِغَيْر إِذن غَرِيمه وَهَذَا كجهاد الْمُسلمين يَوْم أحد وَالْخَنْدَق

“Perang defensif lebih luas dan lebih umum kewajibannya dari pada jihad thalab (perang ofensif). Makanya wajib ‘ain bagi semua orang untuk berjihad, bahkan hamba sahaya harus turun baik dengan izin maupun tidak ada izin dari tuannya, anak tak perlu izin orang tua, kreditur tak perlu izin debitur. Ini kasusnya sepertti jihad kaum muslimin pada perang Uhud dan Khandaq.”

Mereka tak boleh mundur sampai mati, meski jumlah dan persenjataan musuh berlipat dari mereka. Untuk jihad jenis ini tidak berlaku rukhshah pada surah Al Anfal ayat 66, sebagaimana kata Ibnu Al-Qayyim dalam kitab Al-Furusiyyah hal. 188 (tahqiqnya Masyhur Hasan Salman):

وَلَا يشْتَرط فِي هَذَا النَّوْع من الْجِهَاد أَن يكون الْعَدو ضعْفي الْمُسلمين فَمَا دون فَإِنَّهُم كَانُوا يَوْم أحد وَالْخَنْدَق أَضْعَاف الْمُسلمين فَكَانَ الْجِهَاد وَاجِبا عَلَيْهِم لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ جِهَاد ضَرُورَة وَدفع لَا جِهَاد اخْتِيَار

“Tidak disyaratkan dalam jihad jenis ini bahwa jumlah musuh maksimal dua kali lipat kaum muslimin, karena musuh di masa perang Uhud dan Khandaq jumlahnya berkali lipat kaum muslimin. Jihad kala itu jadi wajib atas diri mereka karena saat itu menjadi jihad darurat, bukan jihad ikhtiyar (pilihan).”

Selanjutnya di halaman berikutnya Ibnu Al-Qayyim menampar para penggembos jihad dengan mengatakan,

فجهاد الدّفع يَقْصِدهُ كل أحد وَلَا يرغب عَنهُ إِلَّا الجبان المذموم شرعا وعقلا

“Jihad daf’ (defensif) ditujukan kepada semua orang dan tidak ada yang membencinya kecuali PENGECUT TERHINA baik secara syar’i maupun ‘aqli.”

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta

Bagikan Artikel:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *