Dan, bagaimana Qur’an dan Sunnah memperbaiki Filsafat & Tasawuf?
Penulis: KH. Idrus Abidin, Lc., M.A.
Objek ilmu yang kita kenal sebagai keberadaan atau eksistensi Khaliq dan makhluk secara mandiri termasuk hal dasar yang perlu diketahui dengan baik. Karena, dengan mengenal keberadaan ini, kita bisa mengurai persoalan pelik yang menimpa filsafat, dari dulu hingga zaman modern. Yaitu persoalan yang menyangkut inti keberadaan. Selain itu, kerusakan yang ditimbulkan filsafat terhadap Kalam dan tasawuf bisa diperbaiki.
Inti masalah:
Apakah materi/benda (realitas) atau pikiran (Ide) yang pertama dan paling utama ?
Keduanya adalah Mazhab yang saling berebut klaim sebagai yang pertama dan utama. Kata materialisme, “Materilah yang pertama dan utama. Pikiran itu hanya cerminan atau citra benda dan materi’. Idealisme tidak mau kalah klaim. Katanya, ‘Idelah yang pertama dan utama. Benda atau materi hanyalah perwujudan dari ide.”
Demikianlah klaim ahli pikir dari kalangan filosof yang tidak tercerahkan oleh wahyu.
Maka pendekatan materialisme dan idealisme saling menafikan dari dulu hingga sekarang. Seolah tidak ada titik temu yang memungkinkan mereka setara, lalu berdiskusi secara elegan agar bisa saling melengkapi. Mereka, pada hakikatnya sepakat pada realitas keberadaan materi. Mereka hanya bertengkar pada persoalan, siapa yang pertama dan utama.
Atas dasar materialisme modern inilah terbentuk sekularisme modern, yang mengatakan bahwa semua yang tidak bisa diukur keberadaannya berdasarkan standar materi (empiris) dianggap tidak ada (nothing/ma’dum). Baik ukuran itu adalah kasat mata atau dengan alat modern yang diciptakan untuk itu. Seperti, teleskop untuk benda-benda langit. Mikroskop untuk benda-benda kecil, dll.
Di sisi lain, filsafat yang mengatakan inti keberadaan hanyalah ide, maka segala sesuatu dipandang hanya sebatas ide dan teori.
Penyimpangan yang terjadi Krn pengaruh filsafat yang serba ide dan teoretis seperti ini sangat besar, sehingga segala sesuatu dipandang hanya karakter, bukan person spesifik.
Makanya, tuhan menurut filsafat idealis hanya prinsip etis, bukan person. Krn ini pula, filosof muslim bilang, malaikat itu cahaya/akal. Setan pun hanya sifat, bukan person. Iblis itu ga ada versi mereka.
Di Tasawuf, efeknya tuhan berinkarnasi ke makhlukNya. Jadi tuhan person itu sudah tidak ada. Inilah inti wahdatul wujud. Di sini, tuhan itu malah makhluk. Jadinya, di barat tuhan adalah antropormisme. Apalagi, tuhan Kristen adalah Yesus yang memang manusia. Klop dah. Materialisme bilang tuhan sudah mati dst.
Bahkan, kata Iqbal, sang filosof muslim modern, surga dan neraka itu hanya simbol, tidak ada wujudnya. Qur’an dan Sunnah bicara demikian hanya untuk memancing khayalan awam. Biar mereka semangat ibadah.
Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi sebagai pentolan liberal menyatakan Tuhan itu istilah problematis. Dia bukan istilah teologis yang tidak bisa digapai makhluk. Tapi Tuhan adalah prinsip etik. Tuhan bagi orang lapar adalah roti. Bagi yang miskin, tuhan adalah uang. Bagi yang terzalimi, tuhan adalah keadilan. Demikian Hasan Hanafi bertitah. Yg mana, nyayiannya itu adalah hasil dari pengaruh buruk ide sebagai inti ilmu, sebagaimana pandangan filosof idealis.
Karena itu pula, khalafallah dalam disertasinya menyatakan kisah-kisah Qur’an dan Sunnah itu hanya rekaan fiktif belaka.
Itu belum termasuk kerusakan yang ditimbulkan dalam memahami relasi zat Allah dengan sifaNya, yang menghiasi perdebatan ulama sepanjang sejarah Kalam dan filsafat, bahkan hingga ke tasawuf. Seperti yang dicontohkan berikut.
Misalnya, jahmiyah yang mengatakan, Allah ada tanpa nama dan tanpa sifat. Allah ada secara mutlak saja. Yg mana, hakikatnya adalah Tuhan tidak ada. Muktazilah yang mengatakan Allah ada hanya dengan nama tanpa sifat. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang mengatakan Allah ada dengan nama dan beberapa sifat saja. Hanya atsariyah yang steril dari kesalahan-kesalahan filsafat Krn fokus Qur’an dan Sunnah.
Solusi Islami.
Sebagai pertunjuk dan berita langit yang maha sempurna dan supra rasional, Islam mengatakan, wujud ontologis itu ada 2 sekaligus:
- Wujud Pikiran (wujud zihni/internal)
- Wujud Materi (wujud khariji/eksternal)
Dengan kedua wujud tersebut, Islam menyatukan status keberadaan dengan cara moderat, seperti karakter Islam secara umum; idealis tanpa kehilangan realitas. Realitas tanpa kehilangan idealisme. Materi dan spiritual sekaligus. Ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah) sekaligus dan seluruh ciri dan karakter kesempurnaan Islam sebagai bukti maha sempurnaNya Allah dari berbagai kekurangan dan kesempurnaan pada setiap hal; pribadi (zat), sifat (karakter) dan perbuatanNya (fi’il).
Ada yang mengira, saya menulis seputar Islam dengan filsafat dan tasawufnya hanya spekulasi. Tidak berangkat dari dalil Qur’an dan Sunnah serta Ijma dan Qiyas. Padahal saya nulis tentang filsafat, maksudnya kontranya berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah yang berbicara tentang rasionalitas keduanya. Yaitu argumentasi rasional Wahyu. Alhamdulillah, tesis saya pun tentang itu. Kitab yang saya tampilkan di status sebelumnya adalah disertasi terkait Epistemologi Ilmu perspektif Qur’an dan filsafat (studi perbandingan). Yg satunya lagi terkait rasio dalam lingkup Ushul Fiqih sepanjang sejarah Islam. Itu juga disertasi.
Saya juga nulis tentang rasa versi Qur’an Sunnah agar rasa/intuisi yang menyimpang bisa terkoreksi. Makanya status saya bilang Islam ga butuh Tasawuf. Islam hanya mengajarkan akhlak tasawuf (akhlaki/bukan Irfani dan falsafi). Klo itu dianggap spekulasi, lalu yang mana dianggap dalil? Klo itu dianggap jiplak, lalu yang mana yang asli?
Semoga saya dan kita semua makin tercerahkan….. Hidayah taufik hanya milik Allah. Kita hanya berusaha memahami hidayah petunjuk dan berdoa agar dikucurkan TaufiqNya.
Depok, 25 Sya’ban 1445 H.
6 Maret 2024