Penulis: Muhammad Laili Al-Fadhli
Mohon untuk dibaca dengan seksama dan teliti sebelum berkomentar atau memberikan bantahan.
Lagi-lagi kami ingatkan, bahwa tulisan ini tidak sedang membicarakan hukum bernyanyi atau bermain alat musik.
Menurut KBBI, musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu).
Moeradi (2021) mengatakan bahwa musik adalah karya cipta berupa bunyi atau suara yang memiliki nada, irama, dan keselarasan.
Sedangkan Reed dan Sidnell dalam The Material of Music Compotition, sebagaimana dikutip oleh Anggela dan Ignatius (2018) menyatakan bahwa (seni) musik adalah cabang seni berbentuk suara yang di dalamnya terkandung unsur melodi, ritme, harmoni, serta timbre.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa musik memiliki beberapa unsur penting yang menjadi bagian tidak terpisahkan darinya:
- Bunyi atau suara (الصوت),
- Nada (النغمة),
- Irama (الوزن),
- Melodi (اللحن),
- Ritme (الإيقاع),
- Harmoni (الانسجام),
- Timbre (الجرس).
Menurut para sastrawan Arab, syair arabiy mengandung musikalitas (الموسيقى) yang membedakannya dengan prosa (النثر). Musikalitas syair bukan berarti maksudnya bahwa syair benar-benar mengandung musik, namun sekadar menunjukkan adanya kesan musik karena kesamaan beberapa unsurnya.
Syair adalah seni suara, sama dengan musik. Syair arabiy juga memiliki rima dan ritme (البحر أو الوزن), yang mirip dengan irama pada musik dari sisi keteraturannya. Syair arabiy juga mengandung harmoni (الانسجام) dari susunan kata dan kalimatnya, serta timbre (الجرس) yang dihasilkan dari suara huruf-hurufnya, baik itu pada al-qafiyah-nya, maupun pada saat bait tersebut dibacakan dari awal baitnya. Inilah yang dimaksud dengan musikalitas syair (موسيقى الشعر).
Para sastrawan membagi musikalitas syair menjadi dua, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Bahri Hawari, yang biasanya diistilahkan dengan:
- Musikalitas Eksternal (الموسيقى الخارجية), yaitu keindahan suara yang muncul dari rima (الأوزان والبحور) dan huruf-huruf yang ada di akhir setiap baitnya (القوافي). Walaupun memiliki kemiripan dengan ritme atau irama dari sisi keteraturannya, namun rima dan al-qawafi sama sekali tidak berkaitan dengan nada, irama, dan not balok. Rima (البحور) dan al-qawafi hanya berkaitan dengan bunyi huruf dan harakat.
- Musikalitas internal (الموسيقى الداخلية), yaitu keindahan suara yang muncul pada saat bait dibacakan dari awal hingga akhirnya. Walaupun ada unsur harmoni (الانسجام) dalam setiap kata dan kalimat syair, namun poin inipun sama sekali tidak berkaitan dengan nada dan irama. Karena maksud dari musikalitas di sini adalah keselarasan suara yang muncul dengan sebab timbre (الجرس) huruf-huruf hijaiyyah yang berbeda makhraj dan sifatnya. Sehingga kita bisa mendengar harmoni suara yang bervariasi, seperti shafir, ghunnah, atau qalqalah. Keselarasan suara yang kedua adalah berkaitan dengan susunan kata dan kalimatnya, seperti takarir, tasybih, jinas, thibaq, dsb.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa istilah “musikalitas” dalam syair itu sama sekali tidak berkaitan dengan “nada dan irama”. Karenanya, jangan berpikir bahwa disebabkan syair arabiy di dalamnya mengandung kesan musik, kemudian ditafsirkan bahwa syair arabiy dibaca dengan nada dan irama yang berasal dari not balok, apalagi dibaca sambil diiringi alat musik. Asy-Syathibi dalam Ali’tisham mengatakan:
لكن العرب لم يكن لها من تحسين النغمات ما يجري مجرى ما الناس عليه اليوم، بل كانوا ينشدون الشعر مطلقًا من غير أن يتعلموا هذه الترجيعات التي حدثت بعدهم، بل كانوا يرققون الصوت، ويمططونه على وجه يليق بأمية العرب الذين لم يعرفوا صنائع الموسيقى، فلم يكن فيه إلذاذ ولا إطراب يلهي
“Akan tetapi, orang-orang Arab tidak mengenal cara melagukan nada dan irama yang dikenal oleh orang-orang hari ini. Bahkan mereka melantunkan syair secara mutlak tanpa mempelajari notasi-notasi yang muncul setelah generasi mereka. Mereka melembutkan suara dan memanjangkannya sesuai dengan kebiasaan orang-orang Arab yang ummi, yang tidak mengenal alunan musik buatan. Karenanya di dalam syair tidak ditemukan adanya unsur bernikmat-nikmat atau bersenang-senang yang melenakan.”
Seorang ahli sastra Arab, Dr. Muhammad Anis, dalam kitab Musiqasy Syi’ri (hlm. 160-161) mengatakan:
ولاشك أن أصحاب الروايات القادمة قد عنوا بالإنشاد شيئا غير الغذاء. وليس بين أيدينا يدل على أن الشعراء في الجاهلية كانوا يتغنون بالشعر.
… إلى قوله:
… فكان الشاعر من الجاهلين أنف أن يجلس مجالس المغنى.
ثم قال:
واستمر استقلال الشعراء عن المغنين في العصور الإسلامية، هؤلاء ينشدون وأولئك يغنون.
“Tidak diragukan bahwa para perawi terdahulu telah meriwayatkan syair-syair ini dengan lantunan (insyad) yang tidak sama dengan nyanyian (ghina). Serta tidak ditemukan di sisi kita petunjuk yang menyatakan bahwa para pesyair di zaman jahiliyah itu menyanyikan syairnya.”
— Sampai perkataan beliau:
“Bahwa para pesyair dari zaman jahiliyah memandang rendah untuk duduk-duduk di tempat nongkrongnya para penyanyi.”
Kemudian beliau mengatakan:
“Pemisahan para pesyair dengan para penyanyi ini berlangsung sampai zaman keislaman. Mereka para pesyair melantunkan syair, sedangkan para penyanyi menyanyikannya.”
Hal yang sama berlaku apabila kata “الموسيقى” diarahkan untuk Al-Quran, maka maksudnya bukan berarti Al-Quran mengandung nada dan irama layaknya musik yang sebenarnya. Melainkan sekadar menunjukkan adanya kesan musik dalam suara huruf dan susunan kalimat-kalimat Al-Quran, baik itu yang berasal dari fonologi secara umum, tajwid, ataupun badi’ yang mirip dengan syair, namun tanpa al-buhur dan al-qafiyah. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “Musikalitas Al-Quran” atau “الموسيقى الداخلية في القران” yang disinggung oleh Sayyid Quthb.
Hanya gara-gara Sayyid Quthb menggunakan istilah الموسيقى, jangan sampai kita berpikir bahwa beliau menyamakan Al-Quran dengan musik atau menganggap bahwa Al-Quran mengandung nada dan irama. Karena maksudnya adalah bahwa terdapat kesan musik dari sisi kemiripan sebagian unsurnya. Jadi kurang tepat apabila kita menerjemahkan istilah “الموسيقى” yang disebutkan oleh Sayyid Quthb sebagai “musik”. Adapun yang lebih tepat adalah “musikalitas”.
Apa yang telah kita bahas di atas jelas berbeda dengan nyanyian atau yang biasa disebut dengan “الغناء”. Pelakunya (fa’il) disebut mughanni atau muthrib (penyanyi), dimana nyanyian tersebut bisa diperindah dengan kaidah-kaidah irama dan tangga nada yang disebut “الألحان”. Di sini baru ada aturan irama dan nada yang disebut dengan “maqamat musiqiyyah”. Di dalamnya ada 8 tangga nada dasar yang disingkat dengan “صنع بسحرك”, yaitu shaba, nahawand, ajam, bayat, sikah, hijaz, rast, dan kurd.
Lalu, bagaimana dengan beberapa keterangan yang mengatakan bahwa syair arabiy itu bersifat ghinaiyyah?
Maka yang tampak adalah maksudnya memiliki rima dari sisi al-buhur dan al-qawafi. Sehingga saat dilantuntkan ia memberikan kesan musik di dalamnya. Dr. Emil Badi Ya’qub memberikan ta’liq dari syair yang masyhur dinisbatkan kepada Sahabat Hasan bin Tsabit yang berbunyi:
تغن بالشعر إما كنت قائله # إن الغناء لهذا الشعر مضمار
Maka Dr. Emil mengatakan:
الشعر هو في الاصطلاح المأثور وفي مقابل النثر الكلام الموزون المقفى
“Syair menurut istilah adalah perkataan, dan juga bermakna lawan dari prosa. Yaitu perkataan yang memiliki rima dan qawafi.”
Karena itu pula Dr. Syauqi Dhaif mengatakan bahwa syair terdahulu itu masuk dalam kategori syair ghinai menurut pandangan syair modern. Karena syair modern terbagi menjadi dua: syair hurr dan syair ghinai. Syair hurr cenderung tidak terikat dengan rima dan qawafi, sedangkan syair ghinai adalah syair yang terikat rima dan qawafi.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan juga bahwa maksudnya adalah bisa disenandungkan. Hanya saja, para ulama membedakan ghina yang bersifat thabii dengan ghina yang sudah ditambah dengan irama-irama buatan (الألحان). Maka, di sana kami belum menemukan adanya keterangan bahwa syair berkaitan dengan irama buatan (الألحان).
Sebagian ahli qiraat juga menyinggung hal tersebut, bahwa ghina kadang bersifat thabii dan kadang ditambah dengan alhan. Karenanya Imam As-Sakhawi, Ibnul Qayyim, atau Syaikh Aiman Suwaid membedakan hukum membaca Al-Quran dengan ghina dan hukum membaca Al-Quran dengan alhan. Syaikh Aiman Suwaid memiliki tulisan khusus berkaitan dengan hal ini yang berjudul “البيان لحكم قراءة القرآن الكريم بالألحان”.
Istilah lain yang juga mesti diperhatikan dan dibedakan dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya adalah “المعازف” atau “alat-alat musik”. Yaitu alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan nada-nada tertentu sesuai dengan kaidah “alhan” dan “maqamat musiqiyyah”. Orang yang ahli dalam bidang ini disebut dengan “الموسيقار أو العازف” (“pemusik”, dalam bahasa Indonesia, dan “musician”, dalam bahasa Inggris).
Jadi, pesyair, penyanyi, dan pemusik itu merupakan tiga hal yang berbeda yang tidak bisa disamakan satu dengan yang lain.
Wallahu a’lam.
Beberapa referensi yang bisa dikaji terkait hal ini:
- Kitab موسيقى الشعر Dr. Ibrahim Anis
- Kitab موسيقى الشعر Dr. Shabir Abdid Daym
- Kitab موسيقى الشعر Abdul Aziz Suud
- Kitab موسيقى الشعر العربي Dr. Abdur Ridha Ali
- Kitab الشعراء وإنشاد الشعر Prof. Ali Al-Jundi
- Musikalitas Al-Quran (skripsi) Abul Haris Akbar
- Misteri Estetika Bunyi Al-Quran (artikel) Yusuf Hanafi
- Kajian Fonologi Surah Al-Fatihah (jurnal Al-Itqan) Fitria Zahrotan Nabawiya
- At-Takrar Fi Al-Quran (jurnal Al-Itqan) Muhammad Luthfi Anshori
- Rekaman-Rekaman Pembelajaran Ilmu Arudh dan Syair Prof. Bahri Hawari di Youtube https://youtu.be/UjdbHxmkokY?si=BF6aA-k3SHZptkFd