Imam Malik punya dua murid bernama Yahya, bahkan bapaknya pun sama yaitu Yahya, sehingga biasa disebut Yahya bin Yahya. Makanya harus ada pembeda berupa nisbah mereka, keduanya sama-sama murid Imam Malik bin Anas.
Yang pertama adalah Yahya bin Yahya Al-Laitsi lahir tahun 152 H, yang kedua adalah Yahya bin Yahya bin Bakr bin Abdurrahman Al-Hanzhali An-Naisaburi lahir tahun 155 H. Yahya bin Yahya Al-Laitsi adalah perawi kitab muwaththa’ yang terkenal dan banyak tercetak saat ini. Sementara Yahya bin Yahya An-Naisaburi tidak dikenal sebagai perawi muwaththa’ tapi dia adalah imam yang tsiqah merupakan guru dari Al-Bukhari dan Muslim.
Al-Bukhari meriwayatkan darinya sekitar 15 hadits, sementara Muslim meriwayatkan darinya ratusan hadits. Makanya kalau baca Shahih Muslim ada kata haddatsana Yahya (Yahya menceritakan kepada kami), qara’tu ‘ala Malik (Aku membacakan di hadapan Mali)…. Maka maksudnya adalah Yahya An-Naisaburi ini, karena baik Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan dari Yahya bin Yahya Al-Laitsi.
Ada satu lagi Yahya murid Imam Malik dan juga meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ serta merupakan guru Al-Bukhari dan Muslim yaitu Yahya bin Abdullah bin Bukair yang juga berasal dari Naisabur. Tapi dia dianggap lemah oleh An-Nasa’iy dan Abu Hatim.
Tokoh kita kali ini adalah Yahya bin Yahya bin Bakr bin Abdurrahman An-Naisaburi. Dia punya kisah menarik yang diceritakan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq. Ibnu Asakir menulis:
قال أبو سعد: أخبرنا أبو القاسم بن السمرقندي:
قال أبو القاسم التفكّري: سمعت أبا علي الحسن بن علي بن بندار الزّنجاني يقول: كان هارون الرشيد بعث إلى مالك بن أنس يستحضره ليسمع منه ابناه الأمين والمأمون، فأبى عليه، وقال: إن العلم يؤتى، لا يأتي. فبعث إليه ثانيا، فقال: أبعثهما إليك يسمعان مع أصحابك، فقال مالك: بشريطة أنهما لا يتخطيان رقاب الناس، ويجلسان حيث ينتهي بهما المجلس. فحضراه بهذا الشرط.
وكان يحيى بن يحيى النيسابوري يحضر المجلس، فانكسر يوما قلمه، وبجنبه المأمون، فناوله قلما من ذهب، أو قلما من فضة، من مقلمة ذهب، فامتنع من قبوله، فقال له المأمون: ما اسمك؟ قال: يحيى بن يحيى النيسابوري، فقال: تعرفني؟ قال: نعم، أنت المأمون ابن أمير المؤمنين. فكتب المأمون على ظهر جزئه: ناولت يحيى بن يحيى النّيسابوري قلما في مجلس مالك فلم يقبله.
فلما أفضت الخلافة إلى المأمون بعث إلى عامله بنيسابور، وأمره أن يولي يحيى بن يحيى القضاء. فبعث إليه يستدعيه، فقال بعض الناس: إنه يمتنع من الحضور وليته يأذن للرسول فأنفذ إليه كتاب المأمون، فقرىء عليه، فامتنع من القضاء. فردّ إليه ثانيا وقال: إن أمير المؤمنين يأمرك بشيء، وأنت من رعيته، فتأبى عليه؟! فقال: قل لأمير المؤمنين: ناولتني قلما وأنا شاب، فلم أقبله، فتجبرني الآن على القضاء وأنا شيخ! فرفع الخبر إلى المأمون بذلك فقال: علمت امتناعه، ولكن، ولّ القضاء رجلا يختاره. فبعث إليه العامل في ذلك فاختار رجلا من نيسابور، فولي القضاء.
Abu Sa’d berkata, Abu Qasim As-Samarqandi mengabarkan kepada kami, dia berkata, Aku mendengar Abu Qasim At-Tafakkuri berkata, Aku mendengar Abu Ali Hasan bin Ali bin Bandar Az-Zanjani berkata,
“Harun Ar-Rasyid mengutus kepada Malik bin Anas agar dia datang untuk memperdengarkan hadits kepada kedua putranya yaitu Al-Amin dan Al-Makmun tapi Malik menolak sembari mengatakan, “Ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”
Harun Ar-Rasyid pun mengutus sekali lagi, kali ini berbunyi, “Aku akan mengutus mereka berdua yang hadir agar mendengar hadits bersama dengan para muridmu yang lain. Malik menerimanya tapi dengan syarat mereka tidak boleh melangkahi pundak-pundak orang dan harus duduk di mana saja sesampainya mereka di majlis. Al-Amin dan Al-Makmun pun didatangkan dengan syarat tersebut.
Yahya bin Yahya An-Naisaburi juga hadir di majlis itu. Suatu hari pena Yahya patah dan di sampingnya ada Al-Makmun yang kemudian memberikan kepadanya sebuah pena dari emas atau perak dengan tempat pena yang terbuat dari emas, tapi Yahya menolaknya. Melihat itu Al-Makmun bertanya, “Siapa namamu?” Yahya menjawab, “Yahya bin Yahya An-Naisaburi”. Al-Makmun bertanya lagi, “Kau kenal siapa aku?” Yahya menjawab, “Iya, kau kan Al-Makmun putranya Amirul Mukminin.”
Setelah kejadian itu Al-Makmun menulis dalam buku catatannya, “Aku memberikan pena kepada Yahya bin Yahya An-Naisaburi di majlis Malik dan dia menolaknya.”
Setelah Al-Makmun menjadi khalifah dia lalu memerintahkan petugasnya yang ada di Naisabur untuk mengangkat Yahya sebagai qadhi (hakim). Maka petugas ini memanggilnya tapi Yahya tak mau hadir. Lalu dibacakanlah kepadanya surat dari Al-Makmun yang memintanya menjadi hakim, tapi Yahya pun menolaknya.
Al-Makmun lalu mengutus untuk kedua kalian dan dia tetap menolak sehingga dikatakan kepadanya, “Amirul Mukminin memerintahkan sesuatu kepadamu dan kau adalah rakyatnya tapi kau menolaknya?”
Yahya menjawab, “Sampaikan kepada Amirul Mukminin pesan dariku, Anda pernah menawarkan pena kepadaku saat aku muda dan aku menolaknya. Kini anda menawarkan kehakiman kepadaku di saat aku sudah tua?”
Disampaikanlah ini kepada Al-Makmun dan diapun berkata, “Aku tahu dia akan menolaknya, tapi titahku hendaklah yang menjadi hakim di sana adalah orang yang dipilih oleh Yahya.” Yahya pun memilih seseorang dari Naisabur lalu jadilah orang itu hakim.
(Tarikh Dimasyq 74/219).
Pelajaran:
- Ulama salaf itu selalu punya izzah di hadapan siapapun termasuk penguasa. Lihatlah sikap Imam Malik yang tak mau datang ke istana khalifah di Bagdad demi mengajar private kepada dua putra mahkota. Beliau memberikan pelajaran kepada khalifah Harun maupun putranya agar lebih menghormati ilmu dengan mendatanginya, duduk belajar bersama rakyat jelata sehingga jauh dari sikap merasa paling istimewa.
- Imam Malik mengajarkan bahwa belajar harus punya adab majlis, yaitu tidak boleh menyakiti para hadirin lain, misalnya dengan melangkahi pundak mereka karena ingin dapat shaf depan. Siapapun harus duduk di akhir dia bisa jalan, termasuk anak khalifah sekalipun. Tidak ada yang boleh merasa istimewa, karena pengistimewaan diri itu akan mengintimidasi guru atau da’i, sehingga dia jadi canggung menyampaikan kebenaran bila melihat ada orang istimewa apakah itu penguasa, ataupun orang kaya yang jadi sponsornya.
- Sikap punya wibawa meskipun miskin. Itulah yang ditunjukkan oleh Yahya At-Tamimi an-Naisaburi di sini. Meski dia butuh pena tapi dia menolak pemberian Al-Makmun justru karena tahu siapa itu Al-Makmun. Dia tak mau nantinya akan gila pemberian sehingga akan berpengaruh pada sikapnya terhadap kebenaran. Apalagi tempat tinta penanya dari emas sementara sudah ada hadits larangan menggunakan bejana yang terbuat dari emas.
- Sikap para ulama yang menjauhkan diri jadi pejabat karena sikap wara’, bukan karena mengharamkan. Artinya mereka takut tidak mampu melaksanakan amanah jabatan, apalagi dalam kondisi penguasa yang mereka tahu punya kecenderungan nafsu sehingga berpotensi berbuat zalim. Nah mereka tidak mau jadi bawahan orang zalim karena takut akan kena juga imbasnya di akhirat.
- Sikap Yahya bin Yahya yang tidak mau jadi qadhinya Al-Makmun sudah tepat karena terbukti ketika memerintah Al-Makmun malah jadi mu’tazilah bahkan menghukum para ulama dengan memaksanya mengatakan Al-Qur’an itu makhluq. Dia juga memaksa para hakim untuk menangkapi dan memenjarakan para ulama yang tak mau ikut akidah mu’tazilah. Bayangkan kalau jadi hakimnya, tentu akan penuh dilema. Pilih bertahan dengan menggadaikan akidah, atau berhenti tapi bisa jadi dipenjara dan disiksa.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
Bekasi, 6 Pebruari 2023.