Aksi bela palestina

Demonstrasi dan Islam Tinjauan Sejarah dan Hukum Asal

Banyak umat Islam masih belum memahami hukum aksi (demonstrasi) dalam pandangan Islam. Apakah aksi (demonstrasi) diperbolehkan atau dilarang?

Nah, bicara masalah demonstrasi haruslah dalam tinjauan ta`shili (mendasar), dibahas berdasarkan qawa’id ushul dan fiqh yg ada.

Kalau dituduh demonstrasi tak pernah ada dalam sejarah Islam maka orang itu perlu piknik lagi ke buku-buku sejarah.

Demonstrasi besar pernah dilakukan para fukaha Hanbaliyyah dan Syafi’iyyah yg dipimpin oleh Abu Ishaq Asy-Syirazi di Bagdad menuntut ditutupnya tempat maksiat.

Di tahun yg sama juga terjadi demo besar menuntut ditangkapnya penghina sahabat yg dibekingi seorang kepala polisi di Bagdad. Itu di abad keempat hijriyyah yg direkam oleh Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Al Muntazham fii Tarikh Al Muluk wa Al Umam vol. 16 hal. 139

Juga demo besar yg dipimpin oleh Ibnu Taimiyah untuk menangkap penghina Nabi yg karena itulah dia menulis buku pertamanya, Ash-Sharim Al-Maslul.

Itu kalau bicara sejarah, belum lagi bicara fikihnya. Kalaupun dia mengakibatkan dampak negatif, maka harus dilakukan pemeriksaan illat dan tahqiq al manath, bagaimana kalau illatnya hilang. Kalau begitu keadaannya berarti dia pada dasarnya mubah dan bisa berubah hukum sesuai perubahan dampak.

=====================================

Juga ada hadits yg diriwayatkan oleh An-Nasa`iy dalam al kubra, Al Baihaqi juga dalam al kubra serta Ath-Thabari dalam Tahdzib Al-Atsar:

أخبرنا قتيبة بن سعيد قال نا سفيان عن الزهري عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن إياس بن عبد الله بن أبي ذباب قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا تضربوا إماء الله فجاءه عمر فقال قد ذئر النساء على أزواجهن فأذن لهم فضربوهن فطاف بآل رسول الله صلى الله عليه و سلم نساء كثير فقال النبي صلى الله عليه و سلم لقد طاف بآل محمد صلى الله عليه و سلم الليلة سبعون امرأة كلهم يشتكين أزواجهن ولا تجد أولئكم خياركم

Dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab yg berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jangan kalian memukul para hamba wanita Allah.

Maka datanglah Umar mengadukan kelancangan para istri kepada suami sehingga Rasulullah mengizinkan untuk memukul. Lalu datanglah para wanita beramai-ramai di rumah Nabi hingga akhirnya beliau berasbda, “Malam ini telah berkerumun 70 orang wanita di rumah keluarga Muhammad mengadukan tindakan suami mereka. Sesungguhnya para suami itu bukanlah orang terbaik diantara kalian.”

Sanad hadis ini mursal karena Iyaz bin Dzubab adalah seorang tabi’in tapi dia dikuatkan oleh Ummu Kaltsum binti Abi Bakar yang juga mursal sehingga kedua mursal ini saling menguatkan.

Datangnya para wanita tersebut berdemo mengadukan tindakan suami mereka kepada Rasulullah masuk ke dalam salah satu bentuk demonstrasi mengadukan nasib kepada pemimpin agar mendapat keadilan. Itu termasuk salah satu bentuk demonstrasi menurut istilah.

Hadis di atas ternyata ada dua redaksi. As-Sunan Al Kubra (HR. An Nasa’iy) no. 9167 dan HR. Abi Daud no. 2146. (Dishahihkan oleh Al-Arnauth).

Hadits Ummu Kultsum binti Abi Bakar ada dalam Al-Mustadrak Al-Hakim (no. 2775) dan As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi jilid 7 hal. 496:

14776 – أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ عَبْدَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، نا ابْنُ مِلْحَانَ، نا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، نا اللَّيْثُ، ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، نا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الصَّفَّارُ أنا أَبُو إِسْمَاعِيلَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ السُّلَمِيُّ نا سَعِيدُ بْنُ كَثِيرِ بْنِ عُفَيْرٍ، وَسَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَا: نا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ: ” كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ، ثُمَّ شَكَوْهُنَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ ثُمَّ قُلْتُ: لَقَدْ طَافَ اللَّيْلَةَ بِآلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعُونَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ قَدْ ضُرِبَتْ ” قَالَ يَحْيَى: وَحَسِبْتُ أَنَّ الْقَاسِمَ قَالَ: ثُمَّ قِيلَ لَهُمْ بَعْدُ: وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ

Ummu Kultsum binti Abi Bakr berkata, “Para suami dilarang memukul istri mereka, kemudian mereka mengeluhkan pembangkangan istri mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliaupun membiarkan mereka (memukul istri).”

“Kemudian pada malam itu telah berkumpul di rumah keluarga Muhammad saw 70 orang wanita yang semuanya dipukul suami.”

Riwayat Ummu Kultsum ini isnadnya shahih sebagaimana kata Al-Hakim. Dia adalah adik dari Aisyah RA, Ummu Kultsum ini putri bungsu Abu Bakar, maka meski dia pada waktu itu atau belum lahir karena waktu dia dalam kandungan Abu Bakar wafat artinya dia lahir 2 tahun setelah Rasulullah wafat, tapi sangat besar kemungkinan dia mendapat cerita dari Aisyah.

Baca Juga:  Tidak Selalu Rakyat Yang Dikecam

Ada orang berusaha melemahkan istidlal dgn hadits tujuh puluh sahabiyyah yg mengadukan suami mereka kepada Nabi dgn alasan haditsnya mursal karena Iyas bin Dzubab tabi’i tapi dia dikuatkan oleh Ummu Kaltsum binti Abi Bakar yg juga mursal, sehingga kedua mursal ini saling menguatkan.

Jawabnya, hadits ini andaipun mursal maka dia menjadi shahih li ghairih karena ada penguat sesama mursal shahih. Sedangkan bila ternyata tidak mursal karena terbukti bahwa Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab adalah shahabi sebagaimana yg dikatakan oleh Abu Hatim dan Abu Zur’ah, maka hadits ini shahih.

Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil memastikan bahwa Iyas ini shahabi menukil dari ayahnya dan Abu Zur’ah. (Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil 2/280).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani juga memasukkannya ke dalam kitab Al-Ishabah lalu dalam Tahdzib At-Tahdzib dia memilih pendapat bahwa Iyas ini adalah shahabi.

Ibnu Abdil Barr juga memasukkannya ke dalam kitab Al-Isti’ab jilid 1 hal. 127 dan memastikan dia adalah shahabi.

Kedua, dia katakan bahwa ini qiyas tidak tepat karena yg terjadi kala itu adalah demo tanpa koordinasi, sedangkan yg sekarang ada koordinasi.

Kita jawab, kalau yang tanpa koordinasi atau spontan saja boleh maka yg terkoordinasi, ada korlapnya, ada pemberitahuan ke aparat dan sebagainya tentu lebih boleh lagi. Justru ini adalah mafhum muwafaqahnya. Maka orang itu perlu belajar lagi menggunakan qiyas.

Kalau kemudian muncul argumen bahwa pendalilan dengan kisah shahabiyat tersebut sangat tidak cocok dengan makna demontrasi mengingat mereka datang bukan untuk aksi protes, tapi sebatas mengadukan suaminya pada Rasulullah, maka itulah dia yang dinamakan demo, memprotes dan mengadukan kezaliman suami mereka kepada penguasa, persis dgn yg mau dilakukan ummat terhadap Ahok mengadukan tindakan Ahok kepada pihak berwenang agar dia ditangkap persis dgn apa yg dilakukan Abu Ishaq Asy-Syriazi dan Ibnu Taimiyah

Sekali lagi, datangnya para wanita tersebut berdemo mengadukan tindakan suami mereka kepada Rasulullah masuk ke dalam salah satu bentuk demonstrasi mengadukan nasib kepada pemimpn agar mendapat keadilan. Itu termasuk salah satu bentuk demonstrasi menurut istilah.

Kisah Ibnu Taimiyah memimpin Demonstrasi

Dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibnu Katsir menceritakan kejadian:

Peristiwa Assaf si Nashrani

Orang ini adalah penduduk Suwaida` di mana banyak orang menyaksikan dia telah menghina Nabi Muhammad saw. Si Assaf ini minta perlindungan kepada Ahmad bin Hajji pangeran di keluarga Ali. Maka Syekh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan Syekh Zainuddin Al-Fariqi yang merupakan guru Dar Al-Hadits berkumpul dan masuk menemui Izzuddin Aibak Al-Hamawi yang merupakan wakil kesultanan. Mereka berdua bicara kepadanya tentang masalah Assaf ini lalu Al-Hamawi mengabulkan dan menghadirkan Assaf ke hadapan dua ulama ini.

Mereka berdua keluar dari kantor Al-Hamawi dan bersama dengan banyak massa. Lalu massa melihat Assaf ini bersama seorang laki-laki Arab. Maka massa pun meneriakinya dan memakinya, tapi pria arab ini malah membela dengan mengatakan, “Dia ini lebih baik daripada kalian.” Ini membuat massa marah dan melempari mereka berdua dengan batu sehingga si Assaf ini terkena.

(Al-Bidayah wa An-Nihayah jilid 17 hal. 665).

[وَاقِعَةُ عَسَّافٍ النَّصْرَانِيِّ]

كَانَ هَذَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ السُّوَيْدَاءِ قَدْ شَهِدَ عَلَيْهِ جَمَاعَةٌ أَنَّهُ سَبَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدِ اسْتَجَارَ عَسَّافٌ هَذَا بِابْنِ

أَحْمَدَ بْنِ حَجِّيٍّ أَمِيرِ آلِ عَلِيٍّ، فَاجْتَمَعَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابْنُ تَيْمِيَةَ، وَالشَّيْخُ زَيْنُ الدِّينِ الْفَارِقِيُّ شَيْخُ دَارِ الْحَدِيثِ، فَدَخَلَا عَلَى

الْأَمِيرِ عِزِّ الدِّينِ أَيْبَكَ الْحَمَوِيِّ نَائِبِ السَّلْطَنَةِ، فَكَلَّمَاهُ فِي أَمْرِهِ، فَأَجَابَهُمَا إِلَى ذَلِكَ، وَأَرْسَلَ لِيُحْضِرَهُ، فَخَرَجَا مِنْ عِنْدِهِ وَمَعَهُمَا

خَلْقٌ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَرَأَى النَّاسُ عَسَّافًا حِينَ قَدِمَ وَمَعَهُ رَجُلٌ مِنَ الْعَرَبِ، فَسَبُّوهُ وَشَتَمُوهُ، فَقَالَ ذَلِكَ الرَّجُلُ الْبَدَوِيُّ: هُوَ خَيْرٌ

مِنْكُمْ. يَعْنِي النَّصْرَانِيَّ، فَرَجَمَهُمَا النَّاسُ بِالْحِجَارَةِ، وَأَصَابَتْ عَسَّافًا، وَوَقَعَتْ خَبْطَةٌ قَوِيَّةٌ،

Apakah Ibnu Taimiyah tidak tahu atau tak kuasa ketika dia diikuti massa?
Di sini kita nukilkan dari kitab Al-Muqtafa ‘ala Kitab Ar-Raudhatain, atau Tarikh Al-Birzali jilid 2 hal. 363.

Pada yg saya beri garis merah jelas saat Ibnu Taimiyah dan Al-Fariqi melaporkan masalah Nashrani yg menghina Rasulullah itu mereka diikuti oleh jumlah massa yg besar. Kalau mau dikatakan mereka tak punya kuasa setidaknya mereka bisa melarang massa untuk mengikuti mereka, atau menyampaikan hujjah bahwa apa yg mereka lakukan itu tidak betul karena termasuk muzhaharah, beramai-ramai mendatangi penguasa.

Baca Juga:  Berperang Di Jalan Allah Adalah Salah Satu Ciri Tha'Ifah Manshurah

Tapi pada faktanya, mereka membiarkan jumlah massa yg besar itu mengikuti mereka menuju istana Najmuddin Aibak Al-Hamawi.

Barulah pada saat pulang terjadi provokasi oleh si arab badui yg menyebabkan si Assaf yg menjadi pelindung Nashrani penghina Rasulullah itu dipukul.
Tapi tak sedikitpun Ibnu Taimiyah menyalahkan massa yg terbakar emosi kala itu.

Kemudian di akhir paragraf bahasan ini Al-Birzali juga menyebutkan bahwa massa menyalahkan sikap Najmuddin Aibak yg terkesan menyalahkan massa dan kedua syekh ini. Lalu Adz-Dzahabi dalam kitab Tarikh Al Islam mencoba menganalisa perbuatan Aybak itu disebabkan karena ta’assub kesukukan karena sesama orang Turki. Entah benar atau tidak analisa Adz-Dzahabi tersebut yg jelas Najmuddin Aybak telah berlebihan, yg seharusnya menghukum penista Nabi malah menghukum yg memukul pelindungnya.

Memang perbuatan ulama itu bukan dalil hanya menunjukkan bahwa hal itu biasa terjadi tanpa pengingkaran dan itu menunjukkan mereka membolehkan. Dengan kata lain tulisan ini sifatnya hanya membantah orang yg mengatakan bahwa demonstrasi itu tidak pernah terjadi di masa-masa awal Islam.

Kalau kita mau mengkaji hukum menggunakan usul fikih, maka dalilnya adalah istish-hab haal, maka yg dipertanyakan mana dalil yg melarang perkara itu padahal itu adalah ‘aadah, bukan ta’abbudiyyah.

Jadi hukum demo tidak bisa melihat perkasus, tapi dibahas dulu berdasarkan kaidah usul fikih yg ada terutama kaidah Al-Istish-haab. Untuk masalah ibadah dicari dalil yg mensyariatkan. Untuk masalah dunia dicari dalil yang melarang. Kalau tak ada yg melarang maka boleh pada asalnya. Namun yg boleh bisa berubah jadi haram tergantung efeknya, dan efek bisa berbeda antara kasus satu dgn yg lain.

Masalah baik dan buruk efek yang timbul dari sebuah demo akhirnya itu menjadi relatif dan belum bisa mengubah hukum asal demonstrasi yg merupakan adat dan setiap adat itu mubah sampai ada landasan kuat melarangnya. Atau yg dalam bahasa usul fikih sekali lagi disebut tahqiq manath.

Di sinilah perlunya kita menentukan dulu illat dari masalah ini apa? kemudian alaqah yg dipakai dalam qiyas itu dianggap mutastsir atau tidak tergantung pada illat apa yg kita bahas. Nah larangan dalam demo ini sendiri illatnya apa?

Kalau yg dijadikan illat adalah adanya kumpul-kumpul menyuarakan aspirasi maka yg dilakukan semua sahabiyyah itu adalah berkumpul menyuarakan satu aspirasi yg sama, itu malah bukan qiyas lagi tapi madlul. Maka, adanya kesepakatan atau koordinasi di awal ataupun tidak tidak berpengaruh (mu`atstsir) pada berbedanya hukum yg akan dihasilkan.

Demo/unjuk rasa utk mendorong pemerintah/ulil amri utk menuntut dan menghukum pelaku penistaan agama sdh sesuai dgn konstitusi dan diatur dlm UU, dikawal oleh aparat, apalagi didukung oleh ulil amri (para ulama jg ulil amri). Mari kita juga harus dapat menghormati para ulama di MUI, ormas2 islam besar, mereka tentu punya keilmuan dan kapasitas, tidak akan mungkin mereka berani melakukan sebuah amaliyah jika tidak yakin dapat dibenarkan secara syari’at. Disamping itu mereka jg punya hubungan dekat dgn jajaran aparat dan pemerintah.

Apapun yg terjadi dalam akhir sebuah kasus aksi demo maka itulah namanya haditatsatul ‘ain, dan tak mengubah hukum asal demo yg MUBAH itu !!! Misalnya aksi damai demo 411, diujungnya seakan dikesankan menjadi ricuh sehingga terjadi tembakan gas air mata dan peluru karet dari aparat kearah peserta aksi damai. Maka kejadian ini tidak lantas merubah hukum asal demo yang mubah.

Toh demo yg dilakukan penduduk Bagdad menangkap penghina sahabat dan Abu Ishaq Asy-Syirazi tak berlangsung ricuh. Demo di masa Ibnu Taimiyah ricuh tapi Ibnu Taimiyah tak menyalahkan pendemo. Demo menuntut berlakunya UU perkawinan tahun 1974 memakan banyak korban tapi alhamdulillah dgn itu UU tersebu berlaku hingga kita bisa nikah secara Islam. Demo menentang pelarangan jilbab era 80-an banyak memakan korban tapi setelah itu alhamdulillah bebas kita pakai jilbab di sekolah negeri sampai hari ini.

Disarikan dari diskusi dan status facebook Ustadz Anshari Taslim, Lc.

One thought on “Demonstrasi dan Islam Tinjauan Sejarah dan Hukum Asal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.