Kebusukan hati sebagian orang membuat mereka tak bisa berlaku adil dan memfitnah para mujahidin yg telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, membela tanah air kaum muslimin.
Orang seperti ini jelas munafiq dan terancam dalam hadits berikut:
مَا مِنِ امْرِئٍ يخذُلُ امْرَأً مُسْلِماً في مَوْضِعٍ تُنتهَكُ فِيْهِ حُرْمَتُهُ، ويُنتقَصُ فيه مِنْ عِرْضِهِ، إلا خَذَلَهُ اللهُ في مَوْطِنٍ يُحبُّ فِيْهِ نُصرَتَهُ، وَما مِنِ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسلِماً في مَوْضِعٍ يُنْتَقَصُ فيه مِن عِرْضِهِ، ويُنتهَكُ فيهِ مِنْ حُرمتِه إلا نَصَرَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ في مَوْطِنٍ يُحِبُّ فيه نُصْرَتَه
“Tidaklah seseorang merendahkan seorang muslim di tempat mana muslim ini dihancurkan kehormatannya kecuali Allah juga akan menghinakan si penghina tadi di tempat yang saat itu dia butuh pertolongan Allah. Sebaliknya, setiap orang yang menolong kaum muslimin di tempat muslim ini dihancurkan kehormatannya maka Allah pasti akan menolongnya pula pada saat dia membutuhkan pertolongan tersebut.” — HR. Abu Daud, Ahmad, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, Ath-Thabarani, Ibnu Al-Mubarak dalam Az-Zuhd
Bayangkan ketika kaum mujahidin ini diserang musuh dan mereka mati-matian butuh bantuan, eh ada mulut kotor atas nama manhaj tertentu malah menuduh yang bukan-bukan hanya lantaran ada beberapa kesalahan personal maupun lembaga di kalangan mereka. Kebanyakan tuduhan itu tidak terbukti seperti bahwa HAMAS dagang narkoba dan main mata dengan Israel, Taliban dapat dana dari jualan opium, dan kemerdekaan didapatkan sebagai perpanjangan tangan dari Amerika.
Kelompok-kelompok ini tidak satu afiliasi, tapi dalam hal mengecam orang-orang yang berjihad mereka seiya sekata, semata hanya karena kebencian bukan karena ingin perbaikan. Karena kalau ingin perbaikan tentu mereka sudah bisa mendatangkan bukti dan melakukan perubahan di tempat jihad. Tapi yang terjadi mereka hanya berupaya membuat opini buruk kepada kelompok-kelompok jihad itu dan tidak berusaha menjadi penggantinya. Artinya mereka memuluskan jalan musuh agar kaum muslimin lain tidak ada yang mendukung perjuangan kelompok jihad tersebut melawan penjajah. Sehingga tak heran bila ada yang menuduh merekalah sebenarnya antek penjajah model Snouck Hurgronye era modern.
Sikap yang seharusnya dilakukan bila para mujahidin melakukan kesalahan adalah tetap mengkritisinya dalam bentuk nasehat, bukan penggembosan, sembari tetap memberikan dukungan moril dan material semampunya pada perjuangan inti mereka sebagai sebuah jihad yang diwajibkan.
Shahihkah hadits ini?
Setelah lama saya meninjau, mempelajari dan menimbang hadits penting yang terdapat dalam sunan Abi Daud kitab Adab, bab man radda ‘an muslimin ghiibatan, yaitu nomor 4884, maka kesimpulannya adalah hasan atau bahkan shahih, bila benar merupakan riwayat dari Ubaidullah bin Abdullah bin Umar.
Alasan Syekh Al-Albani dan Syekh Syu’aib Al-Arnauth melemahkan riwayat ini adalah karena melalui jalur Yahya bin Sulaim yg dianggapnya majhul. Tapi syubhat ini sudah terjawab ketika kita meneliti lagi biografi Yahya bin Sulaim bin Zaid mawla Rasulullah ini.
Yahya bin Sulaim di sini dianggap tsiqah oleh An-Nasa’iy dan Ibnu Hibban dan yg meriwayatkan darinya adalah orang tsiqah hafizh pula yaitu Laits bin Sa’d dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Al-Mizzi ketika memuat biografi Yahya bin Sulaim ini menukil tautsiq dari An-Nasa’iy tapi dia ragu apakah yang dimaksud adalah yang ini ataukan Yahya bin Sulaim Ath-Tha`ifi.1
Kalau ditelusuri kemungkinan maksud An-Nasa’iy adalah adalah Yahya bin Sulaim bin Zaid ini, karena Ath-Tha’ifi jelas dilemahkan oleh An-Nasa`iy.
Lalu kita dapatkan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan menyebutkan ada nama Yahya bin Sulaim Al-Hasyimi mawla Nabi saw dan dia katakan, “Dianggap tsiqah oleh an-Nasa`iy”.2
Sedangkan Maghlathi dalam Ikmal Al-Kamal3 menyatakan bahwa Yahya bin Sulaim bin Zaid ini dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban berdasarkan keterangan kitab Ash-Sharifini yang mengatakan bahwa dia dimasukkan ke dalam kitab Ats-Tsiqaat Ibni Hibban dan dia meriwayatkan haditsnya dalam Shahihnya. Meski dalam Ibnu Hibban yang tercetak nama ini tidak ditemukan, bisa jadi ada dalam nuskhah milik Ash-Sharifini.
Selain itu, yang meriwayatkan darinya adalah Laits bin Sa’d, dan sudah dikenal manhaj Laits bin Sa’d tidak meriwayatkan dari orang yang majhul sebagaimana kata Al-Hakim dalam al-Mustadrak: ولليث ين سعد لا يروي عن المجحهولين) (Laits bin Sa’d tidak meriwayatkan dari orang yang majhul).4
Lalu Dr Muhammad bin Abdul Karim bin Ubaid dalam kitabnya Takhrij Al-Ahadits Al-Marfu’ah wal Musnadah fii At-Tariikh Al-Kabir juga melemahkan riwayat ini lantaran Ismail bin Basyir dianggap majhul.
Nah, ini benar, tapi setidaknya dia di peringkat tabi’in yang mana kemajhulannya tidak sampai pada derajat ditinggalkan. Lagi pula baik Al-Bukhari maupun Abu Daud menukil pernyataan Yahya bin Sulaim bahwa bukan hanya Ismail bin Basyir yg menceritakan ini kepadanya tapi juga ada Uqbah bin Syaddad dan Ubaidullah bin Abdullah bin Umar.
Uqbah atau Utbah ini juga majhul, tapi Abdullah bin Ubaidullah tsiqah termasuk tabi’in generasi kedua cucu Umar bin Khaththab, sebagaimana klasifikasinya Ibnu Sa’d. Sehingga, sebagaimana kata penulis ‘Aunul Ma’bud Yahya meriwayatkan ini dari tiga guru yaitu Ismail bin Basyir, Uqbah atau Utbah bin Syaddad dan Ubaidullah bin Abdullah bin Umar.
Dengan begitu sanadnya shahih. wallahu a’lam.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
Diedit ulang 14 Pebruari 2023
- Lihat Tahdzib al-Kamal 31/364.
- Lisan Al-Mizan 7/432.
- Ikmal Al-Kamal 12/323.
- Al-Mustadrak 4/278.