Nasab anak dalam nikah fasid atau nikah batil lantaran adanya syubhat

Nasab Anak Dalam Nikah Fasid atau Nikah Batil Lantaran Adanya Syubhat

Ishaq bin Manshur Al-Kausaj berkata, ”Sufyan berkata tentang seorang lelaki yang punya empat orang istri lalu dia menikah lagi yang kelima, kemudian yang kelima ini melahirkan anak, maka kata Sufyan, pernikahan kelima itu fasid dan mereka dipisahkan, tapi si wanita berhak mendapat mahar mitsl lantaran kemaluannya yang dia halalkan, dan si anak itu dinasabkan ke bapaknya. Ahmad mengomentari, ”Bagus, itu kalau mereka berdua tidak tahu, tapi kalau mereka berdua tahu maka mereka harus dirajam kalau keduanya sudah pernah menikah dan anak itu tidak dinasabkan kepada bapaknya. Setiap yang kau beri hukuman had maka anaknya tidak dinasabkan ke bapaknya. tapi setiap yang kau bebaskan dari had maka anaknya dinasabkan ke bapaknya.” Ishaq mengatakan yang sama dengan perkataan Ahmad dan memahaminya.”1

Kasus serupa juga pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana termaktub dalam kitab Majmu’ Fatawa:

Beliau –rahimahullah- ditanya tentang seorang laki-laki yang telah mencerai istrinya dengan talak tiga lalu ada seorang mufti yang memfatwakan kepadanya bahwa talaknya tidak jatuh sehingga diapun kembali menyetubuhi istrinya setelah itu bahkan sampai menghasilkan anak. Kemudian ada yang mengatakan bahwa anaknya itu adalah anak zina.

Beliau menjawab:

Siapa yang mengucapkan itu (bahwa anaknya adalah anak zina) berarti dia sungguh tidak tahu, sesat dan menentang Allah dan Rasul-Nya. Sebab, kaum muslimin telah sepakat bahwa setiap nikah dimana sang suami berkeyakinan itu adalah pernikahan yang sah maka jika dia menyetubuhi istrinya dan melahirkan anak maka dia berhak mengakui anak itu sebagai anaknya dan mereka bisa saling mewarisi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, meskipun nikah itu sendiri batil berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dalam hal ini sama saja apakah yang menikah itu kafir ataupun muslim.

Seorang Yahudi yang menikahi putri saudaranya sendiri maka anaknya akan dinasabkan kepadanya dan bisa mewarisinya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin meskipun pernikahan tersebut batil menurut keepakatan kaum muslimin dan yang menghalalkannya berarti kafir dan harus diminta untuk bertaubat.

Sama halnya kalau ada muslim yang tidak tahu hukum lalu dia menikahi seorang wanita yang masih terikat masa iddah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang arab badui jahil, bahkan dia menyetubuhinya dengan keyakinan bahwa wanita itu sudah sah menjadi istrinya. Dalam hal ini anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut dinasabkan kepada bapaknya serta bisa mewarisi bapaknya ini berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Kejadian seperti ini banyak. Karena ditetapkannya nasab tidak membutuhkan sahnya pernikahan di saat bersamaan, tapi ditetapkan bahwa anak itu menjadi milik yang punya hubungan perkawinan sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

”Anak itu ditetapkan menjadi milik yang punya ranjang (suami) dan yang berzina hanyalah dapat batu (tak dapat apa-apa).”

Maka siapa yang menceraikan istrinya talak tiga lalu menyetubuhinya dengan keyakinan bahwa itu adalah istri sahnya dan yakin bahwa talak tersebut tidak jatuh baik karena dia memang tidak tahu atau karena disesatkan oleh fatwa yang salah atau lantaran sebab lain maka anak tersebut dinasabkan kepada bapaknya dan mereka bisa saling mewarisi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan iddahnya tidak dihitung kecuali pada saat dia tidak lagi menyetubuhi istrinya itu. Dia menyetubuhi istrinya itu karena meyakini bahwa itu masih istrinya (yang sah) dan itulah firasy (ranjang, kasur) bagi si suami dan tidak dihitung iddahnya sampai si saumi ini meninggalkan firasy tersebut.

Barangsiapa menikahi seorang wanita dengan sebuah pernikahan fasid (yang tidak sah), baik yang sudah disepakati ketidaksahannya maupun yang masih diperselisihkan atau dia menyetubuhinya karena meyakini itu adalah istrinya yang merdeka atau budaknya maka anak yang dihasilkan akan dinasabkan kepadanya dan saling mewarisi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Anak itu juga akan jadi manusia merdeka bila yang disetubuhi itu adalah budak milik orang lain tanpa izin majikan sang budak.

Siapa yang menikahi seorang wanita dengan sebuah nikah fasid baik yang disepakati maupun yang masih diperselisihkan kefasidannya, atau memiliki wanita itu (lewat perbudakan) dengan kepemilikan yang fasid baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, atau dia menyetubuhinya karena meyakini itu adalah istrinya yang merdeka atau budak yang dia miliki maka si anak yang dihasilkan dari persetubuhan itu akan dinasabkan kepada bapaknya dan mereka akan saling mewarisi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”

Sampai pada perkataannya,

Baca Juga:  Aqiqah Setelah Dewasa

”Maka, mereka yang menyetubuhi lalu menghasilkan anak kalau saja mereka menyetubuhi dalam nikah yang sudah disepakati kefasidannya dan talaknya jatuh berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan mereka menyetubuhi istrinya itu karena meyakini bahwa pernikahan mereka masih berlangsung lantaran ada yang memberi fatwa demikian kepada mereka atau lantaran sebab lain, maka nasab anak akan dilekatkan kepada mereka dan anak itu tidak dianggap anak zina, bahkan mereka akan saling mewarisi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Ini berlaku untuk nikah yang sudah disepakati kefasidannya, apalagi pada nikah yang masih diperselisihkan, meskipun pendapat yang dianutnya itu adalah pendapat yang lemah, seperti yang menyetubuhi dalam pernikahan mut’ah, atau wanita yang menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dan tanpa saksi. Yang seperti ini kalau terjadi hubungan intim dan mereka meyakini pernikahan mereka sah maka nasab anak dinisbahkan kepada bapaknya…..” (Majmu’ Al-Fatawa 34/13-16, bab: Maa yulhaq min an-nasab)

Apa yang disampaikan Ibnu Taimiyah ini selaras dengan apa yang dijadikan kaidah oleh Imam Ahmad dan Ishaq di atas. Sehingga perkataan Imam Ahmad tersebut menjadi kaidah fikih tersendiri:

كُلُّ مَنْ أَقَمْتَ عَلَيْهِ الْحَدَّ فَلاَ يُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ ، وَكُلُّ مَنْ دَرَأْتَ عَنْهُ الْحَدَّ اَلْحَقْتَ بِهِ الْوَلَدَ.

“Setiap yang kamu berlakukan hukum had padanya berarti si anak tidak dinasabkan kepada bapaknya, dan setiap yang kamu bebaskan dari had maka anaknya dinasabkan kepadanya.”2

Ukuran dalam menentukan syubhat yang diterima dan yang tidak

Di atas sudah kita bahas bahwa setiap nikah batil yang terjadi lantaran syubhat yang membuat pasangan suami istri ini mengira bahwa pernikahan mereka sah maka anak hasil hubungan mereka dianggap sebagai anak yang sah, dinasabkan kepada bapaknya sehingga terjadi hubungan kewarisan dan perwalian antara anak dengan bapak.

Baca Juga:  Keputusan Asosiasi Fikih Muktamar Alam Islami tentang Ijarah Muntahiyah bit Tamlik

Syubhat itu sendiri ada dua bentuk:

  1. Syubhat hakekat nikah
  2. Syubhat hukum nikah

Syubhat hakekat nikah artinya kedua pasangan tidak tahu bahwa mereka adalah pasangan haram. Misalnya dua kakak beradik entah sekandung, sebapak atau hanya seibu. Mereka tidak tahu kalau mereka itu saudara dan akhirnya menikah, maka ini termasuk syubhat hakekat nikah. Karena sejatinya mereka tahu bahwa nikah saudara itu haram dan merekapun tidak mau melakukannya bila tahu sejak awal.

Syubhat hukum nikah adalah ketidaktahuan pasangan atau yang terlibat di dalamnya tentang hukum nikah yang dilakukan, di mana mereka menyangka itu boleh dan sah, padahal para ulama ahlus sunnah telah sepakat akan keharamannya. Ketidaktahuan ini bisa jadi karena belum sampainya ilmu, atau bisa jadi adanya fatwa sesat yang mereka ikuti. Misalnya ada ulama yang membolehkan nikah dengan pria non muslim, atau menikahi wanita non ahli kitab, atau kebetulan ikut aliran syiah yang membolehkan nikah mut’ah.

Syubhat pertama telah ada kesepakatan para ulama bahwa itu syubhat yang diterima sehingga berlakulah beberapa hukum turunan dari akad seperti ini seperti tidak dianggap zina, anak dinasabkan ke bapak. Tapi mahar, mushaharah (hukum keiparan), waris tetap tidak terjadi.

Yang jadi sorotan adalah syubhat kedua, apakah setiap keyakinan suami atau istri tentang sahnya pernikahan mereka bisa dianggap syubhat yang diterima?

Tentu tidak! Syubhat itu harus dilihat seberapa kuat dia menyamarkan keadaan sehingga seorang menjadi kurang jelas akan hukum halal dan haram. Sedangkan sesuatu yang sudah jelas dalam agama ini sebagai sesuatu yang haram maka tidak lagi dianggap syubhat.

Misalnya tidak ada syubhat bahwa wanita muslimah menikahi pria non muslim itu adalah haram. Sehingga kalau ada wanita muslimah yang memaksakan dirinya untuk menikahi pria non muslim padahal di lingkungannya banyak ahli agama yang telah menjelaskan keharamannya, tapi dia tidak mau mendengar dan tidak mau mencari tahu hukum agama maka itu bukan syubhat sehingga pernikahannya adalah batil dan hasil anaknya juga dianggap sebagai anak haram atau anak zina dan dia harus dikenakan had zina karena dianggap tidak ada syubhat.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Dari Buku yang Belum Terbit “Mahligai Kelabu”


  1. Masa`il Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih 4/1891.
  2. Al-Mughni 8/66, Masa`il Imam Ahmad wa Ishaq bin Rahawaih 4/1891.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *