Gara-Gara Dhamir Haa

Gara-Gara Dhamir Haa`

Ada satu hadits riwayat Abu Daud dalam sunannya yang dijadikan dalil bagi orang yang membolehkan kenduri kematian. Hadits tersebut adalah:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

Muhammad bin ‘Ala` menceritakan kepada kami, Ibnu Idris menceritakan kepada kami, ‘Ashim bin Kulaib menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari seorang Anshar yang berkata,

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka pemakaman jenazah. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas permukaan kuburan sembari berpesan kepada tukang gali, “Perluas dari arah kakinya dan perluas dari arah kepalanya.”

Ketika beliau pulang maka datanglah juru panggil dari seorang wanita (mengajak beliau bertamu) maka beliaupun datang ke sana. Lalu dibawakanlah makanan, maka beliau meletakkan tangan (di nampan makanan itu), kemudian orang-orang pun ikut meletakkan tangan dan merekapun makan.”

Orang-orang tua kami melihat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedarkan suapan di mulut beliau, kemudian berkata, “Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya.”

Maka wanita itu mengirim utusan untuk menyampaikan, “Wahai Rasulullah, aku menyuruh orang ke Naqi’ untuk membeli kambing buatku tapi tidak ketemu, hingga aku suruh ke tetanggaku yang telah membeli kambing agar membawanya kepadaku dan aku ganti harganya, tapi tidak didapati. Kemudian aku pesankan kepada istri tetanggaku itu. Dia kemudian mengirim kambing itu kepadaku dengan bayaran tersebut.”

Rasulullah kemudian berkata, “Berikan daging ini untuk para tawanan.” — HR. Sunan Abi Daud, no. 332

Sanad di atas hasan, yang jadi persoalan kata (داعي امرأةٍ) (utusan seorang wanita) demikian yang tertulis dalam semua versi manuskrip maupun tercetak sunan Abi Daud yang ada. Akan tetapi dalam kitab Mirqaat Al-Mafaatih syarh Misykaat Al-Mashabih tertulis, (دَاعِيَ امْرَأَتِهِ) (juru panggil istrinya) dengan dhamir (kata ganti ha) yang berarti “nya” dan penulis kitab Al-Mirqaat yaitu Mulla Ali Qari menjelaskan maksudnya adalah istri si mayyit.

Baca Juga:  Takfir Jenis dan Individu Menurut Ibnu Taimiyah

Pernyataan Ali Al-Qari inilah yang menjadi landasan bagi sebagian orang membolehkan keluarga mayit menyediakan makanan buat pentakziyah dan mengundang mereka makan di rumah duka.

Namun, setelah diteliti ternyata redaksi yang benar adalah sebagaimana yang terdapat dalam versi tercetak Sunan Abi Daud yaitu (داعي امرأةٍ) tanpa dhamir ha. Sehingga artinya adalah seorang wanita, dan itu tidak berarti istri si mayyit.

Hal ini diperkuat ketika kita melihat hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Daud di luar kitab sunan, yaitu Al-Baihaqi yang meriwayatkannya dari jalur Abu Daud dalam kitab Dala’il An-Nubuwwah, jilid 6 hal. 310 (tahqiq Abdul Mu’thi Qal’aji), dan dalam As-Sunan Al-Kubra, no. 10825,jilid 5, hal. 547 (tahqiq Muhammad Abdul Qadir ‘Atha). Di sana tertulis (داعي امرأةٍ) tanpa dhamir ha.

Kemudian kita piknik lagi ke takhrij hadits ini, yaitu dengan melihat adakah hadits ini diriwayatkan oleh orang lain selain Abu Daud dan Al-Baihaqi? Ternyata ada, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya, no. 22509 (tahqiq Al-Arnauth dkk), Ad-Daraquthni, no. 4763 (tahqiq Al-Arnauth dkk), Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Al-Atsar no. 3005 (tahqiq Al-Arnauth), juga dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar, no. 6408 (tahqiq Muhammad Zuhri An-Najjar dan Muhammad Jadul Haq), kesemuanya menyebutkan tanpa dhamir kata ganti (nya), bahkan dalam riwayat Ath-Thahawi dan Ahmad jelas dalam tambahannya (رَسُولُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ) (utusan seorang wanita dari Quraisy), yang kesemua itu menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak ada hubungannya dengan si mayyit.

Dengan demikian gugurlah istidlal dengan hadits ini, karena redaksi yang benar adalah tanpa dhamir “ha” (nya) pada redaksi dimaksud, sehingga tidak bisa dipahami bahwa yang memanggil dan menjamu Rasulullah serta para sahabat kala itu adalah istri si mayyit. Wallahu a’lam.

Baca Juga:  Kelemahan Hadits tentang Menasehati Penguasa Hanya Boleh Empat Mata

Anshari Taslim
12 September 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *