Kepemimpinan merupakan hal terpenting dalam membentuk masyarakat muslim. Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan antar sesama manusia termasuk di dalamnya bidang politik dan pemerintahan.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (28/390) mengatakan,
يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ وِلَايَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّينِ؛ بَلْ لَا قِيَامَ لِلدِّينِ وَلَا لِلدُّنْيَا إلَّا بِهَا.
“Harus diketahui bahwa masalah kepemimpinan ummat merupakan salah satu kewajiban terbesar dalam agama ini. Bahkan, urusan agama dan dunia ini tak bisa tegak tanpanya.”
Di kitab yang sama Ibnu Taimiyah menjelaskan tujuan pelaksanaan kepemimpinan dalam Islam, “Semua kepemimpinan dalam Islam, tujuannya tiada lain adalah menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran baik itu kepemimpinan perang besar seperti kepemimpinan Negara, maupun yang kecil seperti pimpinan kepolisian dan pengadilan, atau kepengurusan perbendaharaan dan pengawasan ketertiban (hisbah).” (Majmu’ Al-Fatawa 28/66).
Apa yang disebut oleh Ibnu Taimiyah ini merupakan tujuan dasar kepemimpinan dalam Islam. Bagaimana mungkin syariat Islam bisa mengatur kehidupan seluruh ummat kalau tidak ada penguasa yang menerapkannya? Karena itulah pemimpin yang melaksanakan tugas urusan ummat disebut sebagai ulul amri (pemegang urusan) yang wajib ditaati berdasarkan perintah Al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri diantara kalian. Kalau kalian berselisih dalam suatu hal maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Qs. An-Nisa` : 59).
Dalam ayat ini jelas Allah mensyaratkan ketaatan ulil amri setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul, dan bila terjadi perselisihan antara mereka harus dikembalikan kepada hukum Allah dan Rasul-Nya melalui Al-Quran dan sunnah. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa syarat utama seseorang bisa dianggap waliyyul amri yang wajib ditaati adalah ketika dia menjadikan Al-Quran dan sunnah yang terangkum dalam satu kata yaitu syariah sebagai sumber tertinggi dari perundangan pemerintahannya.
Inilah yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang shahih,
حَقٌّ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَحْكُمَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ, وَأَنْ يُؤَدِّيَ الأَمَانَةَ, فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَحَقٌّ عَلَى النَّاسِ أَنْ يَسْمَعُوا لَهُ, وَأَنْ يُطِيعُوا, وَأَنْ يُجِيبُوا إِذَا دُعُوا
Adalah kewajiban seorang imam untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila menerima titah.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mensyaratkan taat itu sebagai imbal balik dari diterapkannya hukum Allah sebagai landasan hukum bernegara, sebagaimana dalam hadits Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ – حَسِبْتُهَا قَالَتْ – أَسْوَدُ، يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Jika ada seorang hamba berhidung cacat –aku rasa beliau mengucapkan, “berkulit hitam”- yang memimpin kalian dengan kitab Allah Ta’ala maka dengar dan taatlah.”
Juga hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama (hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500).
Dari kedua hadits ini disebutkan bahwa syarat ketaatan itu kalau pemimpin tersebut menegakkan hukum agama dan mendasari kepemimpinannya dengan pedoman kitab Allah. Bila tidak, maka hilanglah tujuan kepemimpinan dalam agama yaitu menjaga syariat Allah dalam perpolitikan seperti hukum hudud, jihad, jizyah dan lain-lain.
An-Nawawi dalam syarh Shahih Muslim menukil penjelasan Al-Qadhi Iyadh bahwa pemimpin yang melakukan kekufuran, atau mengubah syariat atau bid’ah maka tak lagi perlu ditaati serta kepemimpinannya jadi gugur.[1]
Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim syarh Shahih Muslim juga menegaskan, “Kalau dia (pemimpin) itu tak mau menegakkan pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus diturunkan.”[2]
Juga Ibnu Taimiyah yang dikenal menghadapi peristiwa peperangan menghadapi pasukan Tartar yang pemimpinnya kala itu (Qazan) telah masuk Islam dan juga sebagian besar bala tentaranya. Tapi Islamnya mereka tidak membuat Ibnu Taimiyah menghentikan peperangan terhadap mereka karena alasan mereka adalah kelompok yang tidak mau melaksanakan syariat-syariat Islam yang mutawatir seperti penegakan hudud, pengharaman zina, jihad, jizyah penjagaan terhadap darah kaum muslimin bahkan mereka malah membantai kaum muslimin. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap kelompok yang menolak tunduk pada syariat Islam yang tampak dan mutawatir dari kaum tersebut (Tartar) ataupun kelompok lain maka wajib diperangi sampai mereka mau tunduk kepada syariat Islam, meskipun mereka telah mengucapkan syahadat dan tunduk pada sebagian syariat yang lain.”[3]
Selanjutnya Ibnu Taimiyah menyebutkan adanya ijmak ulama tentang wajibnya memerangi kelompok yang menolak pelaksanaan syariat yang jelas dan harus diketahui pasti dalam agama ini yang pengingkarnya bisa dikafirkan. Beliau menegaskan kelompok yang tidak mau melaksanakan itu harus diperangi meski mereka mengakui kewajibannya [4] (فَإِنَّ الطَّائِفَةَ الْمُمْتَنِعَةَ تُقَاتَلُ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَتْ مُقِرَّةٌ بِهَا).
Kalaupun tidak dapat diperangi karena kelemahan ummat Islam maka bukan berarti harus menjadikan mereka waliyyul amri dan ditaati meski mengambil harta dan memukul punggung. Sungguh ini menyalahi prinsip walawal bara
yang melarang tunduk pada orang yang membatalkan hukum syariat dan menggantinya dengan hukum buatan manusia apalagi hukum sisa penjajah kafir.
Masalah ini pernah ditanyakan kepada Imam Malik, seperti yang dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Kafi fii Fiqhi Ahlil Madinah Al-Maliki hal. 206 (cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyyah):
“Al-Umari yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Umar bin Khaththab pernah bertanya kepada Malik bin Anas, “Wahai Abu Abdullah, apa kita diberi keringanan untuk tidak memerangi orang yang keluar dari hukum Allah Azza wa Jalla dan berhukum dengan hukum lain?” Malik menjawab, “Semua itu tergantung jumlah banyak dan sedikitnya kita.”
Maksud Imam Malik di sini adalah kalau memang kita mampu maka kita boleh memeranginya, tapi bila tidak maka hendaklah kita bersabar.
Maka dari itulah Syekh Ibnu Baz mendukung invasi ke Negara muslim berdaulat yang tidak menegakkan syariat Islam dan malah menerapkan hukum thaghut sampai mereka membuang hukum itu dan kembali menegakkan syariat Islam. Hal ini bisa dilihat di link berikut:
http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=113693
حكم مجاهدة الطواغيت في البلاد الإسلامية
السؤال: إذا استفحل الشرك بالله في بعض البلاد والحكم بالطاغوت فبأي شيء يبدأ الجهاد في هذه الحالة؟
الجواب: يبدأ أولاً بمناصحة ولاة الأمور وإرشادهم إلى الحق، وتبيين ما يجب عليهم من إقامة أمر الله وتحكيم شريعة الله حتى يرجعوا إلى الرشد، فإن أبوا إلا الاستمرار في الكفر بالله وعدم تحكيم شريعته، فللمسلمين ولمن حولهم من الدول الإسلامية المستقيمة المحكمة لشريعة الله أن تجاهدهم، وللقوة الداخلية من الجيش والمسلمين الأقوياء الذين يستطيعون أن يزيلوا حكم هذا الشخص الكافر حتى يحلوا محله حكم الإسلام فلهم ذلك.
يقول النبي صلى الله عليه وسلم: (سيكون عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون، قالوا: أفلا نجاهدهم؟ قال: لا ما أقاموا فيكم الصلاة، وقال: حتى تروا كفراً بواحاً عندكم فيه من الله برهان).
Hukum Berjihad Melawan Para Thaghut di Negeri-Negeri Islam
Pertanyaan:
Apabila di suatu negeri telah menyebar kesyirikan dan berhukum dengan hukum thaghut maka dari mana jihad harus dimulai dalam hal ini?
Jawaban:
Pertama yang harus dilakukan adalah menasehati para penguasa dan membimbing mereka pada kebenaran dengan menjelaskan kepada mereka kewajiban mereka untuk menegakkan syariat Allah sampai mereka kembali pada kebenaran.
Kalau mereka enggan menerima dan bersikeras kufur kepada Allah serta tidak mau berhukum dengan syariat Allah maka kaum muslimin dan negeri Islam di sekitarnya yang telah berhukum dengan syariat boleh berjihad melawan mereka. Demikian pula kekuatan dalam negeri sendiri berupa tentara muslim dan orang-orang kuat yang mampu menggulingkan kepemimpinan orang yang telah kafir tersebut boleh melakukannya sampai diganti dengan system Islam.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada pemimpin diantara kalian yang kalian ketahui dan kalian ingkari.” Mereka (Para sahabat) bertanya, “Apakah kita boleh memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian.” Dan beliau juga bersabda, “Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang bisa kalian pertanggungjawabkan di sisi Allah dengan hujjah yang jelas.”
Dalam hal ini seperti Syekh Ibnu Baz menganggap pemimpin yang telah diingatkan untuk berhukum dengan hukum Allah tapi masih bersikeras menggunakah hukum buatan manusia adalah kafir.
Syekh Ibnu Hajar Abu Buthami dalam kitabnya Al-‘Aqa`id As-Salafiyyah jilid 2 hal. 418-420 menyebutkan ada tiga perkara yang bila salah satunya ada pada seorang pemimpin maka dia harus diturunkan dan tak boleh menjadi pimpinan kaum muslimin: melakukan kekafiran atau murtad, atau meninggalkan shalat dan tak mau menyerunya, atau tidak berhukum dengan hukum Allah. Beliau mengatakan, “Ketaatan pada pemimpin disyaratkan bahwa dia harus menegakkan hukum Allah dalam kepemimpinannya. Kalau dia tidak menegakkan hukum Allah kepada rakyat maka tidak ada ketaatan untuknya.”
Dari kesemua keterangan di atas dapatlah disimpulkan bahwa waliyul amri yang diakui dalam Islam haruslah menjadikan syariat Islam sebagai sumber dari segala sumber hukum dan tidak beralih ke undang-undang buatan manusia. Bahkan banyak ulama yang menganggap pemimpin yang rela menjadikan undang-undang buatan manusia sebagai sumber hukum dan meninggalkan hukum syariat sebagai kafir yang wajib diturunkan bila mampu, sebagaimana fatwa para ulama terhadap pemimpin Tartar yang meski telah masuk Islam tapi masih menggunakan hukum Ilyasiq sebagai acuan dalam hukum pidananya.
Yang jelas, sebagaimana kata Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fath Al-Qadir bahwa ulul amri yang dimaksud dalam surah An-Nisa` ayat 59 di atas adalah para pemimpin, sulthan, hakim, dan semua yang memiliki wilayah (kepemimpinan) secara syar’i, bukan kepemimpinan dengan sistem thaghut. Padahal semua undang-undang yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia termasuk thaghut. Jadi, ketaatan pada pemimpin yang tidak menegakkan hukum Allah, bahkan memerangi orang yang hendak menegakkannya adalah ketaatan karena darurat, bukan ketaatan atas dasar kerelaan.
Kesimpulan:
- Ketaatan pada pemimpin yang tidak menerapkan syariat hanyalah ketaatan karena maslahat, bukan ketaatan ideal yang menjadi dasar akidah ahlus sunnah. Selama ada kemampuan untuk menggantinya tanpa terjadi kekacauan atau mudharat yang lebih besar maka hendaklah kaum muslimin menggantinya dengan yang lebih baik yang bisa menegakkan syariat Islam. Wallahu a’lam.
- Tidak taat bukan berarti lantas memberontak dengan kekuatan bersenjata karena semua itu harus mempertimbangkan maslahat dan mudharat seperti pesan Imam Malik di atas. Selama dakwah masih dimungkinkan maka harus ditempuh cara dakwah atau merebut kekuasaan tanpa pertumpahan darah melalui jalur damai.
Anshari Taslim, 1 April 2015.
[1] Lihat Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 12/229, menukil dari Al-Qadhi Iyadh:
فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ كُفْرٌ وَتَغْيِيرٌ لِلشَّرْعِ أَوْ بِدْعَةٌ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الْوِلَايَةِ وَسَقَطَتْ طَاعَتُهُ وَوَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْقِيَامُ عَلَيْهِ وَخَلْعُهُ وَنَصْبُ إِمَامٍ عَادِلٍ إِنْ أَمْكَنَهُمْ ذَلِكَ فَإِنْ لَمْ يَقَعْ ذَلِكَ إِلَّا لِطَائِفَةٍ وَجَبَ عَلَيْهِمُ الْقِيَامُ بِخَلْعِ الْكَافِرِ وَلَا يَجِبُ فِي الْمُبْتَدِعِ إِلَّا إِذَا ظَنُّوا الْقُدْرَةَ عَلَيْهِ فَإِنْ تَحَقَّقُوا الْعَجْزَ لَمْ يَجِبِ الْقِيَامُ وَلْيُهَاجِرِ الْمُسْلِمُ عَنْ أَرْضِهِ إِلَى غَيْرِهَا وَيَفِرَّ بِدِينِهِ
“Kalau terjadi kekufuran padanya atau dia mengubah syariat atau melakukan bid’ah maka keluarlah dia dari hak kepemimpinan dan gugurlah ketaatan untuknya serta wajiblah bagi kaum muslimin untuk menggulingkannya dengan mengangkat pemimpin yang adil bila memang memungkinkan. Kalau itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh sebagian orang maka wajib atas mereka menggulingkan pemimpin kafir tapi tidak wajib menggulingkan mubtadi’ (pembuat bid’ah dalam akidah –penerj) kecuali kalau mereka merasa sanggup (menggulingkannya).
Kalau jelas ketidakmampuan (menggulingkan) maka tidaklah wajib dilakukan peggulingan dan hendaklah seorang muslim hijrah dari negerinya ke negeri lain kabur membawa agamanya.”
[2] Lihat Al-Mufhim oleh Abu Abbas Al-Qurthubi jilid 4 hal. 39 di kitab Al-Imarah, bab: “Innamaa tajib thaa’atul Imaam maa lam ya`mur bil ma’shiyah”:
وكذلك : لو ترك إقامة قاعدة من قواعد الدين ؛ كإقام الصلاة ، وصوم رمضان ، وإقامة الحدود ، ومَنَع من ذلك . وكذلك لو أباح شرب الخمر ، والزنى ، ولم يمنع منهما ، لا يختلف في وجوب خَلْعِهِ .
[3] Majmu’ Al-Fatawa 28/502:
كُلُّ طَائِفَةٍ مُمْتَنِعَةٍ عَنْ الْتِزَامِ شَرِيعَةٍ مِنْ شَرَائِعِ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ؛ مِنْ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ وَغَيْرِهِمْ فَإِنَّهُ يَجِبُ قِتَالُهُمْ حَتَّى يَلْتَزِمُوا شَرَائِعَهُ وَإِنْ كَانُوا مَعَ ذَلِكَ نَاطِقِينَ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَمُلْتَزِمِينَ بَعْضَ شَرَائِعِهِ
[4] Ibid 28/503:
فَأَيُّمَا طَائِفَةٍ امْتَنَعَتْ مِنْ بَعْضِ الصَّلَوَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ أَوْ الصِّيَامِ أَوْ الْحَجِّ أَوْ عَنْ الْتِزَامِ تَحْرِيمِ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ وَالْخَمْرِ وَالزِّنَا وَالْمَيْسِرِ أَوْ عَنْ نِكَاحِ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ أَوْ عَنْ الْتِزَامِ جِهَادِ الْكُفَّارِ أَوْ ضَرْبِ الْجِزْيَةِ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وَاجِبَاتِ الدِّينِ وَمُحَرَّمَاتِهِ – الَّتِي لَا عُذْرَ لِأَحَدِ فِي جُحُودِهَا وَتَرْكِهَا – الَّتِي يَكْفُرُ الْجَاحِدُ لِوُجُوبِهَا. فَإِنَّ الطَّائِفَةَ الْمُمْتَنِعَةَ تُقَاتَلُ عَلَيْهَا وَإِنْ كَانَتْ مُقِرَّةٌ بِهَا. وَهَذَا مَا لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ.