Rasionalitas Al-Qur'an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah - Bagian Kedua

Rasionalitas Al-Qur’an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah – Bagian Kedua

Penulis : Dr. Utsman Ali Hasan.
Sumber : Manahij al-Jadal Wal Munazharah Fii Taqrir Masa’il al-I’tiqad.
hal. 375-400.

Alih Bahasa : Idrus Abidin.

(2) Salah satu karakteristik debat Qur’ani adalah korespondensinya dengan akal dan jiwa sekaligus. Sehingga mendatangkan nilai rasionalitas dan kenikmatan rasa secara bersamaan dan dalam tingkat yang sepadan. Hal seperti ini tidak akan mungkin ditemukan pada diri manusia, baik dia seorang intelektual, ahli sya’ir maupun ahli hikmah; yang bisa mengarahkan kedua hal tesebut secara bersamaan sehingga mampu mendatangkan suatu ungkapan yang mengandung nilai pengetahuan rasional dan keindahan bahasa sekaligus. Jika kedua hal itu ada pada diri seseroang maka keduanya tidak berfungsi secara maksimal dan terjadi hanya secara bergiliran. Setiap kali satu sisi kokoh maka sisi yang lain akan melemah. Sehingga pengaruh ucapannya berkurang secara drastis. Setiap kita merasakan pertentangan antara kekuatan rasa ketika nuansa rasionalitas menguasai pemikiran kita. Demikian pula sebaliknya.

Siapa pun mengamati secara seksama ungkapan orang-orang, baik dari kalangan filosof, kalangan ahli hikmah ataupun para sastrawan, mereka tidak menemukan kecuali keunggulan di satu sisi dan kelemahan di sisi lain. Kalangan ahli hikmah misalnya, mereka akan menyuguhkan hasil pemikirannya dan intisari pemahamannya sebagai nutrisi akal anda tetapi mereka gagal memberikan rasa sebagai asupan jiwa dan kepuasan batin (wujdan).

Sedang kalangan sastrawan, mereka mampu megutak-atik rasa dan memainkan jiwa anda, namun mereka tidak peduli apakah yang mereka ungkapkan itu kesesatan, petunjuk, kebenaran atau sekedar khayalan. Tampak mereka serius, padahal mereka sedang bercanda. Seolah mereka menangis penuh jeritan, padahal mereka sebenarnya tak mengerti tangisan, mereka tampak menari, tapi sebenanrnya tidak. Sungguh benar apa kata Allah.

وَالشُّعَرَۤاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ في كُلِّ وَادٍ يَهيمُونَ وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ إِلَّا الَّذينَ اٰمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللهَ كَثيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا

Baca Juga:  Bagaimana Filsafat & Tasawuf Merusak Islam?

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS Asy-Syu’araa’, 224-227)

Karena itulah, tidak ditemukan adanya seseorang yang mampu memenuhi kepuasan akal kecuali ia gagal memuaskan jiwa dan rasa. Atau dia mampu memberikan kenikmatan jiwa tapi gagal menyuguhkan kenikmatan rasa. Sedang al-Qur’an, Allah telah menggabungkan kedua kehebatan itu di dalamnya ; kekuatan argumentasi rasional demonstaratif hingga tarap kepuasan maksimal, bahkan menohok para professor intelektual rasional maupun kalangan pembesar filosof, kekuatan rasa dan kelembutan jiwa sehingga memuaskan pembesar sastrawan. Itulah firman Allah yang maha agung. Ia tidak fokus ke suatu hal lalu gagal dari sisi yang lain. Dialah yang maha mampu untuk berinteraksi dengan akal dan hati sekaligus dengan satu ungkapan, dengan menyatukan antara kebenaran dan keindahan bahasa sekaligus. Perhatikan misalanya firman-Nya.

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا ۚ

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS al-anbiyaa : 22)

Perhatikan secara mendalam bagaimana bisa menyatu dalam tujuh kata antara, ketajaman preposisi yang sangat meyakinkan, dengan tingkat kejelasan, serta ketajaman deskriftif yang menunjukkan pertentangan dan kerusakan yang maha dahsyat (bagi bumi dan langit seandainya ada tuhan selain Allah); yang mana, jika dicari padanannya dari ungkapan kalangan filosof dari semua zaman tentu mereka tidak bisa kecuali dengan bahasa yang serba panjang disertai dengan kekeringan rasa, sebagaimana tampak sangat jelas pada argumentasi saling menjegal (dalil tamanu’) yang dideskrifsikan oleh kalangan teolog Muslim. Lalu mereka menjadikan standar ini sabagai dasar argumentasi, namun sayang mereka salah. Perhatikan pula ayat berikut yang mengisahkan seputar Yusuf a.s.

Baca Juga:  Sebab dan Alasan Timbulnya Syubhat Rasional Seputar Kalamullah.

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini”. Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. (QS Yusuf : 23)

Bagaimana bisa dari celah ayat ini keluar bukti-bukti demonstratif dan nasehat yang super lembut, yang menusuk jiwa. Perhatikanlah bagaimana diadu antara tiga belitan Iblis: kedududkan istimewa sang wanita (bangsawan), tertutupnya pintu dan kedudukan Yusuf yang rendahan sebagai pembantu atau pegawai domestik untuk sang wanita bangsawan, dengan tiga nada kesucian ; keteguhan memegang iman kepada Allah, sifat amanah dan larangan menzhalimi. Sebuah peraduan (muqabalah) yang menggambarkan dari kisah yang menarik ini debat dan pertentangan keras antara tentara Allah dan pasukan syaithan, lalu meletekkannya di hadapan orang yang berakal sehat pada dua daun timbagan agar memenangkan pilihan yang benar, lalu meneggelamkan opsi setan.

Bersambung, in syaa Allah.

Jakarta, 18 Oktober 2019.

Baca juga: Rasionalitas Al-Qur’an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah – Bagian Pertama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *