Kalau Dua Orang Atau Lebih Masbuq, Selesai Imam Bolehkah Mereka Bermakmum pada Salah Satu dari Mereka yang Sama-Sama Bermasbuq?
Ada perbedaan pendapat madzhab dalam masalah ini, madzhab Syafi’I dan Hanbali membolehkan asal bukan shalat Jum’at, tapi madzhab Maliki dan Hanafi melarang.
- Madzhab Hanbali
Referensi:
- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf jilid 2 hal. 36 (terbitan Dar Ihya At-Turats Al-’Arabi, tahqiq Muhammad Hamid Al-Fiqqi):
قَوْلُهُ وَإِنْ سُبِقَ اثْنَانِ بِبَعْضِ الصَّلَاةِ فَائْتَمَّ أَحَدُهُمَا بِصَاحِبِهِ في قَضَاءِ ما فَاتَهُمَا فَعَلَى وَجْهَيْنِ
وَحَكَى بَعْضُهُمْ الْخِلَافَ رِوَايَتَيْنِ منهم بن تَمِيمٍ وَأَطْلَقَهُمَا في الْمُسْتَوْعِبِ وَالْمُذْهَبِ وَالْكَافِي وَالْمُحَرَّرِ وَالْفُرُوعِ وَالْفَائِقِ وبن منجا في شَرْحِهِ
أَحَدُهُمَا يَجُوزُ ذلك وهو الْمَذْهَبُ
Perkataan, “Jika ada dua orang makmum dan salah satu ada yang shalatnya duluan kemudian yang belakangan ini menjadikannya sebagai imam Ketika mereka berdua menyelesaikan shalat mereka maka ada dua wajh dalam hal ini.”
Sebagian mereka (ulama madzhab Hanbali) menyebutkan adanya perbedaan dengan adanya dua riwayat, di antaranya Ibnu Tamim. Sedangkan penulis kitab Al-Mustaw’ib, Al-Mudzhab, Al-Kafi, Al-Muharrar, Al-Furu’, Al-Fa`iq dan Ibnu Manja dalam syarahnya (Al_Mumti’ syarh Al-Muqni’ -penerj) menyebutkan secara umum (tanpa rincian).
Dua wajah yang dimaksud di atas adalah, pertama bahwa itu boleh dan inilah pendapat madzhab.”
- Al-Buhuti dalam Ar-Raudh Al-Murbi’ syarh Zaad Al-Mustaqni’ jilid 1 hal. 166 (terbitan Maktbah Ar-Riyadh Al-Haditsah):
وإن سبق اثنان فأكثر ببعض الصلاة فأتم أحدهما بصاحبه في قضاء ما فاتهما أو ائتم مقيم بمثله إذا سلم إمام مسافر صح
“Kalau ada dua orang atau lebih yang masbuq lalu salah satu dari keduanya menjadi imam bagi temannya yang lain bersama menyempurnakan apa yang mereka ketinggalan, atau ada dua orang muqim yang imam mereka musafir lalu salam sehingga salah satu dari yang muqim ini menjadi imam buat temannya yang sesame muqim melanjutkan ke rakaat berikutnya bersama maka itu sah.”
3.Ibnu An-Najjar dalam Muntaha Al-Iradat 1/201 (tahqiq At-Turki):
فَإِنْ ائْتَمَّ مُقِيمٌ بِمُقِيمٍ مِثْلِهِ إذَا سَلَّمَ إمَامٌ مُسَافِرٌ أَوْ مَنْ سُبِقَ بِمِثْلِهِ فِي قَضَاءِ مَا فَاتَهُمَا فِي غَيْرِ جُمُعَةٍ صَحَّ
“Jika seorang muqim bermakmum dengan muqim sepertinya Ketika imamnya yang musafir salam atau seorang masbuq bermakmum kepada masbuq semisalnya Ketika mereka bersama menyempurnakan rakaat yang ketinggalan maka itu sah selain shalat Jum’at.”
- Madzhab Asy-Syafi’i
Madzhab Asy-Syafi’i boleh tapi makruh asal bukan shalat Jum’at, kalau shalat Jum’at maka tidak sah.
Referensi:
- Syihabuddin Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 2 hal. 168:
وَخَرَجَ بِمُقْتَدٍ مَا لَوْ انْقَطَعَتْ الْقُدْوَةُ كَأَنْ سَلَّمَ الْإِمَامُ فَقَامَ مَسْبُوقٌ فَاقْتَدَى بِهِ آخَرُ أَوْ مَسْبُوقُونَ فَاقْتَدَى بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ فَتَصِحُّ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ عَلَى الْأَصَحِّ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ.
“Tidak termasuk bermakmum kepada yang masih jadi makmum adalah Ketika ikutan shalat jamaah telah terputus, misalnya imam telah salam lalu orang masbuq melanjutkan shalatnya dan ada yang lain menjadikannya sebagai imam. Atau beberapa orang yang masbuq lalu (setelah selesai shalat imam -penerj) salah satu dari mereka menjadi imam bagi yang lain, maka ini sah tapi makruh, asalkan bukan shalat Jum’at. Ini adalah pendapat yang paling shahih dalam madzhab.”
- Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaaj jilid 2 hal. 283:
أَوْ مَسْبُوقُونَ فَاقْتَدَى بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ فَتَصِحُّ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ
“Atau para masbuq yang salah satunya dijadikan imam maka itu sah selain shalat Jum’at.”
3.Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in hal. 189:
وخرج بمقتد من انقطعت قدوته كأن سلم الإمام فقام مسبوق فاقتدى به آخر صحت أو قام مسبوقون فاقتدى بعضهم ببعض صحت أيضا على المعتمد لكن مع الكراهة.
“Tidak termasuk makmum orang yang sudah terputus dari shalat imam, yaitu ketika imam telah salam maka seorang yang masbuq melanjutkan berdiri, lalu ada orang lain yang bermakmum kepadanya atau sesame masbuq berdiri dan mereka menjadikan salah satu sebagai imam lanjutan. Maka berdasarkan pendapat mu’tamad yang begini sah tapi makruh.”
Sedangkan madzhab Hanafi dan Maliki tidak membolehkan yang seperti ini, karena mereka menegaskan dalam kasus bila ada orang baru datang dan imam sudah selesai shalat, dan tinggallah orang masbuk yang menyempurnakan shalatnya maka tidak boleh bermakmum kepada si masbuk itu, karena menurut mereka orang masbuk itu adalah makmum dan masih terkait dengan shalat imamnya yang pertama sehingga dia tak boleh dijadikan makmum. Wallahu a’lam.
- Madzhab Maliki
Madzhab Maliki tidak membolehkan dalam kasus ini. Bila makmum yang dijadikan imam ini mendapati satu rakaat bersama imam lalu dia berdiri menyempurnakan, maka tidak ada yang sah menjadi makmumnya baik orang baru datang ataupun sesame masbuq di sampingnya.
Tapi bila dia tidak mendapati satu rakaat bersama imam, artinya shalatnya harus disempurnakan full rakaat maka boleh menjadikannya imam.
An-Nafrawi dalam kitabnya Al-Fawakih Ad-Dawani:
ثَالِثَ عَشْرَهَا أَنْ لَا يَكُونَ مَأْمُومًا فَلَا يَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ بِالْمَسْبُوقِ الذي أَدْرَكَ رَكْعَةً مع الْإِمَامِ فِيمَا بَقِيَ من صَلَاتِهِ بَعْدَ سَلَامِ إمَامِهِ لِأَنَّهُ مَأْمُومٌ فيه حُكْمًا وَالْمَأْمُومُ لَا يَكُونُ إمَامًا بِخِلَافِ من أَدْرَكَ دُونَ رَكْعَةٍ فإنه يَصِحُّ الِاقْتِدَاءُ بِهِ لِأَنَّهُ لم يَحْصُلُ له فَضْلُ الْجَمَاعَةِ
“Syarat sah jadi imam ketiga belas: Hendaknya dia bukan makmum, maka tidak sah bermakmum kepada orang yang masbuq yang telah mendapati satu rakaat bersama imam Ketika dia menyempurnakan rakaat yang ketinggalan setelah imamnya salam, karena pada saat itu dia masih berstatus makmum secara hukum dan tidak bisa jadi imam. Beda halnya kalau dia tidak mendapati satu rakaatpun maka sah bermakmum kepadanya, karena dia tidak mendapatkan pahala jamaah.”
(Al-Fawakih Ad-Dawani 1/206 terbitan Dar Al-Fikr, atau 1/318 terbitan Dar al-Kutub Al-Ilmiyyah).
Dalam Mukhtasharnya Al-Khalil menjelaskan orang-orang yang tidak boleh dijadikan imam bagi laki-laki dewasa yaitu orang kafir, wanita, banci hermaprodhite, orang gila dan makmum.
Lalu para pensyarah kitab mukhtashar Khalil ini menjelaskan maksud makmum di sini, misalnya Al-Hatthab Ar-Ru’aini dalam Mawahib Jalil (2/95) mengatakan,
أَنْ يَكُونَ مَسْبُوقًا وَقَامَ لِيَقْضِيَ فَجَاءَهُ مَنْ ائْتَمَّ بِهِ
“Orang yang masbuq lalu berdiri untuk menyempurnakan shalat, lalu datang orang lain bermakmum kepadanya.”
Ad-Dardir dalam syarhnya (1/327):
بِأَنْ يَظْهَرَ أَنَّهُ مَسْبُوقٌ أَدْرَكَ رَكْعَةً كَامِلَةً وَقَامَ يَقْضِي أَوْ اقْتَدَى بِمَنْ يَظُنُّ أَنَّهُ الْإِمَامُ فَإِذَا هُوَ مَأْمُومٌ.
وَلَيْسَ مِنْهُ مَنْ أَدْرَكَ دُونَ رَكْعَةٍ فَتَصِحُّ إمَامَتُهُ وَيَنْوِي الْإِمَامَةَ بَعْدَ أَنْ كَانَ نَوَى الْمَأْمُومِيَّةَ لِأَنَّ شَرْطَهُ أَنْ لَا يَكُونَ مَأْمُومًا
“Yaitu ternyata dia (yang dijadikan imam ini) masbuq mendapatkan satu rakaat penuh, kemudian dia berdiri menyempurnakan. Atau menyangka imamnya ini imam padahal ternyata makmum.
Tapi tidak termasuk yang dilarang adalah masbuq yang tidak mendapatkan satu rakaat, maka yang seperti ini sah dijadikan imam. Dia tinggal berniat jadi imam setelah sebelumnya dia berniat jadi makmum, karena syarat untuk menjadi imam adalah bukan makmum.”
- Madzhab Hanafi, tidak membolehkan hal ini.
As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth (2/101):
أَلَا تَرَى أَنَّ الْمَسْبُوقَ إذَا قَامَ إلَى قَضَاءِ مَا فَاتَ فَاقْتَدَى بِهِ إنْسَانٌ لَمْ يَصِحَّ اقْتِدَاؤُهُ
“Tidakkah anda ketahui bahwa kalau seorang masbuq berdiri menyempurnakan rakaat yang ketinggalan lalu ada seseorang yang mengikutinya (menjadi makmum) maka tidak sahlah ikutannya itu?”
Fatawa Qadhi Khan jilid 1 hal. 85 terbitan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah:
ولا يجوز اقتداء المسبوق في قضاء ما سبق بمثله ولا اقتداء اللاحق بمثله
“Tidak boleh seorang mengikuti (menjadi makmum) orang yang masbuq Ketika dia menyempurnakan rakaatnya yang ketinggalan dengan orang yang bersamanya dan juga orang yang datang setelahnya.”
Tarjih:
Yang lebih selamat dalam kasus imam estafet ini adalah tidak melakukannya. Jadi kalau kita sama-sama masbuq maka ketika imam sudah salam hendaknya kita menyempurnakan sendiri-sendiri, toh sudah dapat pahala berjamaah. Ini termasuk keluar dari khilafiyyah, artinya kalau ini kita lakukan maka shalat kita sah menurut semua madzhab. Wallahu a’lam.
Meski demikian tak ada salahnya kita menarjih dengan menggunakan perangkat ushul fikih yang ada. Dalam hal ini tarjih didasarkan pada atsar bila memang ada. Bila tidak ada maka kita melakukan pendekatan asybah wan nazha`ir.
Menggunakan metode asybah wan nazha`ir kita akan dapati bahwa ada kasus di mana makmum berubah jadi imam dalam satu shalat yang sama. Misalnya ketika Rasulullah meminta Abu Bakar menjadi imam menggantikan beliau. Juga ketika Umar bin Khaththab ditikam ketika sedang imam maka dia menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk menggantikannya. Nah, Abdurrahman bin Auf sebelumnya adalah makmum tapi kemudian berubah menjadi imam karena satu dan lain hal.
Dalam hadits Aisyah dalam kasus Abu Bakar jadi imam tapi dia sendiri mengikuti shalatnya Nabi, sehingga ada perbedaan penafsiran apakah Abu Bakar saat itu imam ataukah makmum. Redaksinya adalah:
فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
“Rasulullah shalat bersama jamaah dalam keadaan duduk sementara Abu Bakr dalam keadaan berdiri. Abu Bakar mengikuti shalatnya Nabi, sementara jamaah mengikuti shalatnya Abu Bakar.” — HR. Muslim, no. 418
Ini sudah bisa menjadi syibh (hal yang mirip) dengan kasus estafet ini di mana masbuq yang tadinya bermakmum ketika imam telah salam maka statusnya adalah shalat sendirian, bukan lagi sebagai makmum haqiqi, hanya saja pahala jamaahnya sudah didapatkan. Ini menolak teori madzhab Maliki yang mengatakan bahwa masbuq itu tetap makmum sampai akhir shalatnya.
Yang lebih kuat bahwa masbuq bukan lagi makmum untuk shalat yang dia sempurnakan selepas salamnya imam, karena semua hukum shalat sendirian berlaku padanya berdasarkan kesepakatan semua madzhab, misalnya kalau dia lupa maka dia harus sujud sahwi sendiri, berbeda dengan yang masih makmum dalam shalat berjamaah maka dia tidak boleh sujud sahwi sendiri, dan kelupaannya sudah ditanggung imam. Perumpamaannya adalah seperti janda atau duda, dia memang sudah menyandang status muhshan karena telah menikah, tapi dia telah sendiri sehingga boleh menikah lagi dengan orang lain.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Pimpinan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta
27 Oktober 2022.