Rasionalitas Al-Qur'an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah - Bagian Kedua

Rasionalitas Al-Qur’an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah – Bagian Pertama

Penulis: Dr. Utsman Ali Hasan.
Sumber: Manhaj al-Jadal Wal Munazharah Fii Taqrir Masa’il al-I’tiqad ‘Inda Ahli Sunnah Wal Jama’ah., Vol. 1, hal. 375-400.

Alih Bahasa : Idrus Abidin.

Al-Qur’an memiliki banyak keunggulan dan beragam keistimewaan dalam sisi argumenasi logis. Namun, pada kesempatan ini, kami hanya menyebutkan beberapa sisi yang dianggap paling istimewa sejauh yang bisa kami rangkum dari beberapa sumber.

(1) Semua kandungan al-Qur’an bernilai mukjizat; ungkapannya yang ringkas (iyjaz) termasuk mukjizat, ungkapannya yang panjang (ithnab) pun termasuk mukjizat, kosa katanya mukjizat, metode ungkapannya mukjizat, rangkaian kata dan kalimatnya mukjizat. Semua itu adalah mukjizat. Demikian pula argumentasi, permbuktian dan penjelasannya… pasti tidak ada ucapan yang bisa mencapai tingkat akurasi dan nilai kemujizatannya. Perbedaan antara al-Qur’an dengan ucapan orang paling hebat dari kalangan masyarakat manusia; yang paling unggul kemampuannya dalam memberi penjelasan; seperti halnya perbedaan antara Sang Pencipta dan mahlukNya; karena ia merupakan perbandingan antara ucapan Sang Pencipta dengan ungkapan mahlukNya.[1]

Debat Qur’ani merupakan mukjizat sebagaimana kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri. Artinya, kemukjizatan debat Qur’ani berasal dari kemukjizatan al-Qur’an. Sedangkan al-Qur’an merupakan mukjizat pada setiap sisi perdebatan, baik sisi akurasi bahasanya yang singkat padat sehingga memuaskan pendengar karena kesesuaiannya dengan batas pemahaman audiens (balagah), sisi pemilihan kata-katanya yang tidak menggunakan kosa kata asing (fashahah), sisi petunjuk-petunjuknya (dalil) dan aspek bukti-bukti rasional yang diajukan (burhan/demonstratif) serta hal lain yang terkait. Sangat mustahil ada manusia yang mampu menantang, mengimbangi, apalagi mengalahkan debat al-Qur’an. Sehingga seseorang mampu mengoreksi atau menentang atau mengimbanginya dalam hal kebenaran makna, ketepatan ungkapan, keindahan gaya bahasa, pencapaian tujuan dan maksud yang dikehendakiNya. Abu Bakar al-Baqillani rahimahullah pernah berkata ketika membahas seputar sisi kemukjizatan al-Qur’an, “Makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an dalam mengungkapkan syari’at dan hukum dan dalam berargumentasi ketika hendak menegaskan prinsip-prinsip dasar agama (ushuluddin) dan menolak kalangan pengingkar wahyu, menggunakan ungkapan yang sangat menarik; dengan keserasiannya antara satu dengan yang lainnya dalam tingkat kelembutan dan keahlian, menunjukkan bahwa manusia tidak akan ada yang mampu melakukannya”. [2]

Al-Qur’an telah mempropokasi kalangan bangsa Arab agar melakukan perlawanan dengan menghadirkan semua bentuk dan alasan agar mereka berani menghadapi al-Qur’an, padahal bersastra adalah merupakan tabiat mereka secara alami, sedang al-Qur’an juga turun dengan bahasa Arab. Al-Qur’an juga menantang mereka pada keahlian tertinggi yang sering kali mereka bangga-banggakan (ini tentunya tantangan tertinggi), mendorong mereka sekuat tenaga pada banyak ayat dalam al-Qur’an untuk melakukan perlawanan. Bahkan al-Qur’an bertahap dalam menawarkan penantangan -dalamrangka mengimbangi mereka- sehingga mereka ditantang untuk membuat karya sastra yang serupa dengan semua isi al-Qur’an, lalu turun hingga sepuluh surat atau dengan satu surat yang terpendek sekali pun. Namun mereka tidak bisa sama sekali, walaupun mereka bekerjasama sekuat tenaga untuk tujuan yang dimaksud. [3]

Baca Juga:  Sifat Generasi Yang Dijanjikan Kemenangan

al-Qur’an menghadapi kaum musyrikin dengan menantang, mendebat keyakinan-keyakinan mereka, menyudutkan mereka dengan hujjah maksimal dan argumen yang menekuk. Tapi sayang, mereka tidak bisa membalas dan tak mampu juga mengelak. Al-Zarkasyi berkomentar seputar kisah al-Walid bin al-Mugirah dan kedatangan Quraisy kepadanya agar menjadi perwakilan untuk menemui nabi, “Walid bin Mugirah merupakan salah satu tokoh Qurasiy dan salah seorang tokoh sastrawan pada zaman itu. Namun, ketika mendengar al-Qur’an dibacakan oleh Rasulullah, lidahnya kelu, jiwanya mengerut, retorikanya hilang, argumennya berantakan, badanya menggigil, kelemahannya nyata, dan akalnya tidak fokus, [4] hingga ia mengungkapkan kesimpulan yang sangat terkenal, “Sungguh isinya sangat manis (halawah), atasnya sangat indah mempesona (thalawah), bawahnya melimpah tak terkira (mugdiq), atasnya dipenuhi beribu buah dan bunga (mutsmir). Sungguh sangat unggul dan tak mungkin terkalahkan”. [5]

al-Qur’an memiliki pengaruh yang sangat hebat terhadap jiwa manusia. Sehingga orang-orang kafir dan kalangan menyimpang menganggapnya sebagai sihir, padahal bukan. Mereka semua menghindar agar tidak mendengarkan al Qur’an. Allah berfirman

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka”. (QS Fushshilat : 26)

Sebagaian mereka mengucapkan pengakuan jujur seputar al-Qur’an, sekali pun mereka terpaksa melakukan hal itu, seperti yang dilakukan oleh al-Walid bin Mugirah dll. Allah berfirman seputar orang-orang Nasrani,

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani”. Hal itu disebabkan karena di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s. a. w.). (QS al-Maidah : 82-83)

Allah juga berfirman seputar kalangan jin:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ

Baca Juga:  Hadits Hati Burung

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (QS al-Ahqaf :29-30)

Argumentasi al-Qur’an senatiasa berlaku sepanjang waktu dengan tingkat kebenaran, kekuatan pengaruh, daya argumentasi maksimal disertai cakupan yang menyeluruh. Hujjahnya senanntiasa kekal selama bumi dan langit ini ada. Berlaku secara umum kepada semua manusia sekali pun mereka berbeda zaman, berlainan keadaan dan beragam tingkat intelektualitas. Kekekalan dan cakupan yang menyeluruh ini diperoleh dari kekelan risalah dan komprehensitasnya secara umum. Allah berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua (QS al-A’raf 158)

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS Saba’ : 28)

Rasulullah pun pernah bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun kecuali diberikan mukjizat yang mengarahkan manusia mengimaninya. Sungguh mukjizat yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepadaku. Dengan itu, aku berharap sayalah nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat. [6]

Sehingga tidak terbayangkan bahwa ada seseorang –pada suatu zaman atau pada sebuah tempat- berani menentang dan menolak kepastian al-Qur’an atau ragu terhadap kebenarannya. Sedang manusia bisa jadi memiliki kemampuan argumentasi yang kuat sehingga bisa menjadi hujjah bagi sebagian orang. Namun seiring denga berjalannya waktu, masyarakat bisa membuktikan kelemahan dan kerancuan atau sisi kelemahannya. Misalnya, pendapat filosof yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada suara atau gambar yang bisa bertahan dalam dua waktu. Mereka menjadikan ini sebagai alasan untuk menolak dan menafikan sifat-sifat Allah. Kalangan ulama dan penuntut ilmu sudah mengerti sisi kerancuannya ketika itu. Sedang ulama belakangan makin membuktikan kesalahannya dengan bukti-bukti empiris, tentunya setelah ditemukannya alat-alat yang bisa digunakan untuk merekam suara dan gambar serta perangkat serupa.

Sedang hujjah al-Qur’an akan senantiasa kokoh mengalahkan semua jenis argumentasi. Waktu, tempat dan manusia mana pun tidak akan ada yang mampu merubah kenyataan itu.

Depok, 16 Oktober 2019.

One thought on “Rasionalitas Al-Qur’an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah – Bagian Pertama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *