Tanya:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Ustadz, mau tanya. Kalau nabung di orang, dan di bilang 1 bulan mesti 50rb stor, nanti 1 tahun cair 600.000 dan di potong 30rb, untuk ngasih ke yang pegang uangnya. Selain dapat uang tabungan, yang nabung juga dapat sembako seperti beras, minyak, gula. Gimana hukumnya ustadz? Apa ada unsur riba nya?
Diyah Himas, Cirebon
Jawab:
Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Kalau seperti yang ditanyakan itu maka jelas riba yang dilarang. Karena hadiah sembako tersebut sama statusnya dengan bunga Tabungan hanya bentuknya bukan uang, tapi barang.
Status Tabungan seperti di atas dalam fikih Islam termasuk akad qardh, artinya akad pinjam uang untuk dikembalikan dengan uang senilai. Dalam ketentuan fikih Islam pula bahwa qardh tidak boleh menghasilkan keuntungan bagi kreditur (penabung), sebagaimana terkenal dalam kaidah fikih “Setiap pinjaman uang yang menyeret keuntungan dalah riba.” Maksudnya keuntungan untuk kreditur lantaran hutang tersebut.
Orang yang menampung Tabungan itu dianggap sebagai debitur atau orang yang berhutang uang, karena sejatinya dia seakan meminjam uang untuk dia Kelola dan akan mengembalikannya lagi pada saatnya nanti. Mirip dengan system kerja bank.
Para ulama sepakat bahwa hadiah yang diberikan lantaran hutang adalah riba, karena itu berarti keuntungan materil yang diperoleh kreditur dari piutangnya. Berbeda halnya kalau hadiah tersebut memang biasa diberikan oleh debitur kepada kreditur sebelum terjadi akad qardh antar keduanya, atau yang dipastikan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pinjaman uang tersebut maka itu dibolehkan.
Tapi dalam pertanyaan di atas jelas sekali bahwa hadiah itu lantaran adanya tabungan (qardh) agar makin banyak orang yang menabung di situ sehingga mereka bisa mendapatkan dana segar.
Dalil untuk hal ini antara lain Riwayat Abdullah bin Salam pernah berkata kepada Abu Burdah bin Abu Musa,
إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
”Sesungguhnya kamu sedang berada di negeri yang riba merajalela di dalamnya. Maka jika kamu punya piutang atas diri seseorang, lalu orang itu menghadiahkan kepadamu setumpuk jerami, atau gandum, atau alas kendaraan maka jangan kamu terima, karena itu adalah riba.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 3814).
Referensi:
- Dalam kitab Al-Mudawwanah (3/179-180, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1994) disebutkan:
[هَدِيَّةُ الْمِدْيَانِ]
ِ قُلْتُ: مَا يَقُولُ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ لَهُ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ أَيَصْلُحُ لَهُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ هَدِيَّتَهُ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: لَا يَصْلُحُ أَنْ يَقْبَلَ مِنْهُ هَدِيَّتَهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلًا كَانَ ذَلِكَ بَيْنَهُمَا مَعْرُوفًا، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ هَدِيَّتَهُ لَيْسَ لِمَكَانِ دَيْنِهِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ.
قَالَ ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ قَالَ لَهُ رَجُلٌ: إنِّي أَسْلَفْتُ رَجُلًا فَأَهْدَى إلَيَّ قَالَ: لَا تَأْخُذْهُ، قَالَ: قَدْ كَانَ يُهْدِي إلَيَّ قَبْلَ سَلَفِي، قَالَ: فَخُذْ مِنْهُ قَالَ الرَّجُلُ: فَقُلْتُ: قَارَضْتُ رَجُلًا مَالًا، قَالَ: مِثْلُ السَّلَفِ سَوَاءٌ.
وَقَالَ عَطَاءٌ فِيهِمَا: إلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلًا مِنْ خَاصَّةِ أَهْلِكَ أَوْ خَاصَّتِكَ لَا يُهْدِي لَكَ لِمَا تَظُنُّ فَخُذْ مِنْهُ
؛ وَعَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: أَمَّا مَنْ كَانَ يَتَهَادَى هُوَ وَصَاحِبُهُ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ سَلَفٌ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَتَقَابَحُهُ أَحَدٌ، قَالَ: وَأَمَّا مَنْ لَمْ يَكُنْ يَجْرِي ذَلِكَ بَيْنَهُمَا قَبْلَ الدَّيْنِ وَالسَّلَفِ هَدِيَّةٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِمَّا يَتَنَزَّهُ عَنْهُ أَهْلُ التَّنَزُّهِ. قَالَ الْحَارِثُ بْنُ نَبْهَانَ، عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ: إنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ اسْتَسْلَفَ مِنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَشْرَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَرَدَّهَا عُمَرُ، فَقَالَ أُبَيّ: قَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً، فَرَأَيْتُ إنَّمَا أَهْدَيْتُ إلَيْكَ مِنْ أَجَلِ مَالِكِ عِنْدِي اقْبَلْهَا فَلَا حَاجَةَ لَكَ فِيمَا مَنَعَكَ مِنْ طَعَامِنَا، فَقَبِلَ عُمَرُ الْهَدِيَّةَ.
Hadiah dari Debitur
Aku1 berkata, “Apa pendapat Malik tentang seorang yang punya piutang atas diri orang lain, apakah dia boleh menerima hadiah dari debiturnya itu? Dia2 menjawab, “Menurut Malik, dia tak boleh menerima hadiah itu kecuali kalau mereka berdua memang biasa saling memberi hadiah dan dia (debitur) tahu bahwa hadiah itu tidak ada hubungannya dengan hutang piutang mereka. Kalau demikian maka tak ada masalah dengan hadiah tersebut.
Ibnu Wahb berkata, dari Muhammad bin Amr dari Ibnu Juraij bahwa ‘Athabin Abi Rabah, seorang bertanya kepadanya, “Saya meminjamkan uang kepada orang lain lalu dia memberikan hadiah kepada saya.” Maka ‘Atha menjawab, “Jangan terima.” Orang itu berkata, “Tapi dia memang biasa memberi hadiah sebelum saya pinjamkan uang itu.” ‘Atha`pun berkata, “Kalau begitu boleh kamu ambil.”
Ada orang lain bertanya, “Saya memberikan modal usaha kepadanya (qiradh)?” ‘Atha` menjawab, “Sama dengan pinjaman (hukum hadiahnya –penerj).”
Atha` memberi komentar kepada kedua orang ini, “Kecuali kalau orang yang memberi hadiah itu memang saudaramu yang special, atau teman special yang tidak memberi hadiah hanya lantaran berutang padamu maka silahkan kamu ambil hadiahnya.”
Dari Yahya bin Sa’id yang berkata, “Siapa biasa yang saling memberi hadiah satu sama lain meski ada hubungan utang piutang antara mereka maka tak ada satupun yang menganggapnya terlarang. Tapi kalau itu bukanlah kebiasaan mereka memberi hadiah sebelum terjadinya utang piutang maka hal itu dianggap makruh oleh orang-orang yang menjaga kesucian diri.”
Al Harits bin Nabhan berkata, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, “Sesungguhnya Ubay bin Ka’b pernah berutang uang sesuatu dari Umar bin Khaththab sebesar sepuluh ribu dirham, lalu Ubay memberi Umar hadiah tapi Umar mengembalikannya. Ubaypun berkata, “Penduduk Madinah ini sudah tahu bahwa saya memiliki buah terbaik, apakah anda merasa saya memberi hadiah karena uang anda yang ada pada saya? Terimalah hadiah itu, karena anda tak perlu melarang diri dari makanan kami.”3
Maka Umar pun menerima hadiah itu.
Selesai dari Al-Mudawwanah.
- Al-Baihaqi meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572, no. 10930 dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa dia berfatwa tentang seorang yang punya piutang kepada orang lain sebesar 20 dirham, lalu yang berutang ini selalu memberinya hadiah dan setiap dia jual hadiah itu harganya mencapai total 13 dirham. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Jangan kamu ambil lagi (pelunasan hutangnya) darinya kecuali tujuh dirham.”
Maksudnya Ibnu Abbas menghitung hadiah itu sebagai pengembalian hutang dan tak boleh dianggap hadiah biasa.
Riwayat lain adalah dari Salim bin Abu Al-Ja’d (nomor 10931) yang berkata, “Kami punya tetangga seorang nelayan yang mana dia punya piutang atas orang lain sebesar 50 dirham. Orang yang berutang itu menghadiahkan ikan kepadanya, maka diapun mendatangi Ibnu Abbas menanyakan hal itu, lalu Ibnu Abbas menjawab, “Hitung itu sebagai pembayaran hutangnya kepadamu.”
- Asy-Syaukani dalam kitab Nail Al-Awthar:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لِأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلَا بَأْسَ
“Kesimpulannya, bahwa hadiah dan pinjaman dan semisalnya bila dilakukan lantaran berharap penundaan pembayaran hutang atau lantaran menyuap kreditur, atau agar kreditur mendapatkan manfaat dari piutangya maka diharamkan, karena termasuk riba atau sogokan. Tapi bila antar kreditur dan debitur memang biasa memberikan hadiah sebelum terjadinya akad utang piutang antar mereka maka tidak masalah.” — Nail Al-Awthar, juz 5, hal. 244
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
- Aku di sini adalah Sahnun, salah satu pembesar madzhab Maliki, nama aslinya adalah Abdussalam bin Sa’id bin Habib At-Tanukhi. Dia dijuluki Sahnun yang merupakan nama burung di Magrib karena kecerdasannya. Dialah yang menyusun kitab Al-Mudawwanah yang merupakan kumpulan fatwa Imam Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim.
- Dia di sini adalah Abdurrahman bin Qasim, murid langsung Imam Malik bin Anas.
- Riwayat ini disebutkan pula oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572, no. 10929 dan dia katakana munqathi’ (sanadnya terputus). Saya katakan, sebab terputusnya adalah Ibnu Sirin tidak bertemu baik dengan Ubay maupun Umar.


