Prof Dr Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah menulis dalam memoarnya:
Pada tahun 1984 M, saya diundang untuk bepergian ke Khartoum guna berpartisipasi dalam “pawai sejuta umat (al-masīrah al-malyūniyyah)” yang diserukan oleh Presiden Sudan, Ja‘far an-Numairi.
Dalam pawai itu turut serta dengan penuh semangat para aktivis Islam, serta seluruh lapisan rakyat. Banyak pula ulama dari berbagai negeri Arab dan Islam yang hadir. Saya masih ingat di antara mereka: guru kami Syaikh Muhammad al-Ghazali, dan saudara kami, da‘i besar Syaikh Shalah Abu Isma‘il, serta banyak lagi ulama dunia Islam yang kini tak semuanya dapat saya ingat namanya.
Pada masa-masa akhir pemerintahannya, an-Numairi memilih jalan penerapan syariat Islam, setelah ia melihat bahwa inilah satu-satunya jalan yang mampu menyelesaikan masalah dari akarnya, memberantas kejahatan hingga tuntas, mewujudkan solidaritas sosial sejati di antara lapisan rakyat, menegakkan moralitas dan ketulusan dalam masyarakat, serta melawan penyimpangan dan kemaksiatan, terutama di kalangan para pemimpin dan pejabat.
Ia meyakini bahwa inilah “hukum Allah” yang diperintahkan kepada hamba-hamba-Nya, bukan “hukum jahiliah” yang diimpor dari Barat atau Timur. Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” — QS. Al-Mā’idah:50
Para tamu undangan disediakan tenda besar di tempat yang istimewa di Khartoum, dari mana mereka bisa menyaksikan jalannya pawai ketika melintas di depan mereka. Pawai itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat dan profesi: mulai dari lembaga sosial, tarekat sufi, serikat profesi, kelompok suku, partai politik, dan berbagai unsur lain — singkatnya, seluruh rakyat Sudan ikut serta.
Semua mereka berseru dengan penuh semangat dari lubuk hati mereka demi syariat Islam dan dakwah Islam, dengan wajah-wajah yang berseri penuh keyakinan dan kebahagiaan. Itu merupakan referendum sejati dari rakyat tentang dukungan mereka terhadap syariat Allah.
Cuaca saat itu sangat panas, dan jarak pawai sangat jauh, dari awal pawai di Khartoum hingga akhirnya di Omdurman. Namun rakyat lebih kuat dari panas, dan lebih sabar dari panjangnya jarak.
Sesungguhnya, hari itu adalah hari yang penuh makna, hari yang agung, dan hari dari hari-hari Allah. Banyak di antara para undangan — dan saya termasuk di antaranya — meneteskan air mata setiap kali menyaksikan pemandangan rakyat yang spontan, tulus mendukung hukum dan syariat Allah.
Saudara kami Syaikh Shalah Abu Isma‘il saat itu berkata dengan penuh semangat dan rasa haru, “Kapan aku akan melihat pawai seperti ini di Kairo?
Aku memohon kepada Allah agar tidak mematikan kami sebelum Dia menyejukkan mata kami dengan melihat pawai semacam ini.”
Namun, beliau wafat sebelum sempat menyaksikan pawai seperti itu.
Masalah Kebebasan
Sesungguhnya, pawai (seperti di Khartoum) itu ada juga di Kairo, hanya saja masih tersembunyi dan terpendam. Ia tidak memerlukan apa pun kecuali kebebasan, agar bisa bangkit dan bergerak — bahkan dengan kekuatan berlipat ganda dibanding pawai di Khartoum. Masalah utamanya adalah masalah kebebasan. Karena itu, saya telah sering menyerukan:
“Kita harus menuntut ditegakkannya kebebasan sebelum menuntut penerapan syariat Islam.”
Apa makna dari pawai itu?
Maknanya menunjukkan bahwa rakyat kita bersama syariat Islam.
Sudan hanyalah contoh dari semua bangsa Arab dan Islam.
Lalu mengapa pemerintah-pemerintah kita tidak menanggapi keinginan rakyatnya, untuk mewujudkan cita-cita dan aspirasi mereka?
Bukankah hakikat demokrasi itu adalah mengikuti kehendak rakyat dan suara rakyat?
Ketika saya berada di Khartoum, beberapa wartawan bertanya kepada saya:
“Apa pendapat Anda tentang pawai ini dan maknanya? Apakah Anda mendukungnya?”
Saya menjawab:
“Kalau saya tidak mendukungnya, tentu saya tidak akan datang dari Doha ke Khartoum!
Apakah masuk akal kalau saya tidak berpihak kepada syariat?
Saya mendukung syariat karena dua alasan:
Pertama, karena itu adalah kehendak Allah;
Kedua, karena itu adalah kehendak rakyat.”
Apa yang dimaksud dengan “Syariat”?
Sayangnya, kebanyakan orang memahami syariat hanya sebagai penerapan hukuman dan sanksi pidana (hudūd) dalam Islam. Padahal, itu hanyalah sebagian dari syariat, bukan keseluruhannya. Hukum-hukum pidana itu bahkan turun pada akhir masa kenabian, di antara ayat-ayat terakhir dalam Al-Qur’an, yaitu dalam Surah al-Mā’idah.
Sesungguhnya syariat mencakup ibadah, muamalah, nilai-nilai moral, akhlak, dan adab, bukan hanya aspek hukum formal, apalagi sekadar bagian hukum pidananya. Sebab, undang-undang saja tidak bisa membangun masyarakat. Masyarakat dibangun oleh pendidikan, kebudayaan, bimbingan, dakwah, dan media. Semua inilah yang melahirkan akal yang tercerahkan, hati nurani yang hidup, dan kemauan yang kuat untuk berbuat baik serta menjauhi kejahatan.
Kesalahan Penerapan Syariat di Sudan pada Masa Numairi
Saya ingin menegaskan bahwa gerakan penerapan syariat di masa pemerintahan Ja‘far an-Numairi tidak berhasil berjalan di jalur yang benar, karena pemahaman terhadap makna syariat tidak sepenuhnya jelas bagi pihak pemerintah (eksekutif). Mereka mengira bahwa sekadar mencambuk, memotong tangan, dan menghukum mati berarti sudah menegakkan syariat Islam.
Padahal, itu bukanlah keseluruhan syariat. Sebelum kita memotong tangan pencuri, kita harus memberi makan orang yang lapar, menyediakan pekerjaan bagi penganggur, memberi tempat tinggal bagi tunawisma, menanggung anak yatim, dan merawat orang yang membutuhkan. Kita harus menegakkan solidaritas sosial di tengah rakyat.
Sebab, sebelum Allah menurunkan ayat tentang potong tangan pencuri, Allah telah lebih dahulu menurunkan ayat-ayat tentang zakat dan tanggung jawab sosial, seperti:
“Dan tunaikanlah zakat.” — QS. Al-Baqarah:43
“Kecelakaanlah bagi orang-orang musyrik, yaitu mereka yang tidak menunaikan zakat.” — QS. Fussilat:6–7
“Janganlah orang-orang yang kikir dengan karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka menyangka bahwa itu baik bagi mereka. Sebenarnya itu buruk bagi mereka.” — QS. Ali Imran:180
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” — QS. Al-Ma‘un:1–3
Oleh karena itu, kita harus lebih dulu menjamin kebutuhan manusia, menutup kekurangan dalam kehidupan mereka, mendidik dan mencukupi mereka, baru setelah itu menerapkan hukuman yang disyariatkan Allah.
Selain itu, hukuman-hukuman pidana dalam Islam sebenarnya ditujukan bagi orang-orang yang menyimpang dari norma umum, bukan untuk masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan tujuan utama syariat adalah menjadikan manusia lurus dan seimbang (aswiyā’).
Di antara kesalahan penerapan syariat di Sudan pada masa Numairi adalah:
Pemerintah saat itu membebaskan para narapidana yang telah divonis bersalah oleh pengadilan Sudan karena kasus pencurian dan sejenisnya — jumlah mereka ribuan orang. Ketika mereka semua dibebaskan sekaligus, banyak di antara mereka yang kembali mencuri dan berbuat kerusakan di bumi.
Mereka tidak percaya bahwa tangan mereka benar-benar akan dipotong, hingga akhirnya tangan banyak orang benar-benar dipotong dalam waktu singkat, sesuatu yang tidak lazim bahkan di negeri yang telah lama menerapkan syariat seperti Arab Saudi.
Pembebasan massal dan mendadak terhadap jumlah besar narapidana yang telah terbiasa dengan kejahatan merupakan kesalahan yang nyata, terutama pada awal masa penerapan syariat Islam. Mereka seharusnya ditempatkan di bawah pengawasan dan pembinaan Islami untuk jangka waktu tertentu, dan tidak dibebaskan sampai mereka menunjukkan tanda-tanda tobat yang jelas.
Selain itu, harus disiapkan pekerjaan yang sesuai bagi mereka untuk mereka jalani, serta diambil pernyataan janji (komitmen) dari mereka untuk hidup lurus dan menjauhi teman-teman buruk. Mereka juga seharusnya ditempatkan di bawah pengawasan sementara waktu, agar kita bisa membantu mereka mengatasi hawa nafsu dan kecenderungan jahat dalam diri mereka. Namun, hal itu tidak dilakukan.
Penerapan Syariat Islam Harus Dilakukan Kalangan Islamis.
Dari sisi lain, pengalaman telah membuktikan bahwa Islam tidak mungkin diterapkan dengan benar kecuali oleh orang-orang yang benar-benar beriman, memahami, dan mengamalkannya — baik dalam keyakinan, pemikiran, maupun perilaku.
Sebagaimana dikatakan oleh kaum Marxis, “Tidak ada sosialisme tanpa kaum sosialis”, maka kami pun mengatakan, “Tidak ada Islam tanpa kaum Islamis.”
Karena itulah, gerakan penerapan syariat (di Sudan) itu tidak ditakdirkan mencapai keberhasilan sepenuhnya, dan sangat disayangkan bahwa kaum sekularis, Marxis, dan yang sejenis mereka menganggap kegagalan itu sebagai kesalahan Islam itu sendiri. Padahal, Islam sama sekali tidak bersalah; yang bersalah adalah mereka yang salah memahami dan salah menerapkannya.
Dan segala urusan — sebelum dan sesudahnya — hanyalah milik Allah semata.


