Belajar MBG dari India

Belajar MBG dari India? Why Not But…

Ada kabar bahwa MenLu hendak belajar tentang MBG dari India. Mungkin pada mencela, “India? Yang bener aja!” karena yang terbayang adalah joroknya jajanan kaki lima di sana. Namun bagi orang yang pernah mendalami Supply-Chain Management, maka pasti tidak akan menanggapi begitu…

Kenapa?

Karena di India itu ada sistem pengantaran katering makan siang dari rumah ke kantoor yang telah bekerja lebih dari satu abad dengan mulus mengantarkan makanan ke lebih 200.000 setiap harinya secara flawless…!

Namanya: “Dabbawalla”.

Jadi di tengah hiruk pikuk Mumbai —kota dengan lebih dari 20juta jiwa— ada sistem logistik yang menjadi legenda dunia. Bukan karena teknologinya canggih, bukan pula karena didukung investari milyaran USD, tetapi justru sebaliknya: sederhana, manual, dan berbasis kepercayaan.

Itulah para “Dabbawalla” — sekelompok pria dengan seragam putih dan memakai topi Gandhi khas India, yang setiap hari mengantarkan lebih dari 200.000 tiffin (rantang) makan siang dari rumah ke kantor dan kembali lagi, dengan tingkat kesalahan kurang dari 1 banding 16juta – ini bahkan lebih rendah dari 6Σ yang menjadi standar manufacturing kelas dunia!

Sistem Dabbawalla ini lahir di akhir Abad XIX dikarenakan semakin banyak pekerja migran yang pindah ke Bombay (kini Mumbai) dari berbagai wilayah India, sementara saat itu makanan cepat saji dan kantin belum umum. Semua pekerja ini harus berangkat pagi-pagi ke kantoor dan sering kali harus menahan lapar di waktu makan siang. Mereka berasal dari berbagai komunitas dengan selera makannya yang berbeda-beda, dan hanya bisa dipuaskan oleh masakan rumahan mereka sendiri. Melihat itu, Mahadeo Havaji Bachche di tahun 1890 memulai layanan jasa sederhana, yaitu: mengambil makanan dari rumah dan mengantarkannya ke kantoor, dengan sekitar 100 orang pekerja.

Seiring waktu, jasa sederhana ini berkembang menjadi organisasi kolektif tanpa manajer formal, tapi dengan disiplin kerja yang luar biasa. Setiap Dabbawala tahu rutenya, tahu jam keberangkatan kereta yang harus ia kejar, dan tahu ke mana setiap tiffin (rantang) makan siang harus sampai — tanpa GPS, tanpa aplikasi, tanpa komputer. Pada tahun 1930, Mahadeo sempat berusaha membentuk semacam serikat bagi para Dabbawala secara informal. Kemudian, pada tahun 1956, didaftarkanlah sebuah lembaga amal bernama “Nutan Mumbai Tiffin Box Suppliers Trust” yang kemudian membentuk sayap komersial pada tahun 1968 dengan nama “Mumbai Tiffin Box Suppliers Association” (MTBSA) — organisasi yang hingga kini menaungi jaringan Dabbawala di Mumbai.

Baca Juga:  Central Bank Digital Currency (Bagian V): Ledger Money

Apa hebatnya sistem Dabbawalla ini?

Hebatnya sistem yang terus berjalan selama 130 tahun ini hanya menggunakan sistem kode:

  1. Abbreviasi untuk collection point
  2. Warna untuk starting station.
  3. Angka untuk destination station.
  4. Penandaan untuk handling Dabbawalla di destinasi, gendung, lantai.

Kode sederhana menunjukkan stasiun kereta asal, stasiun kereta tujuan, dan alamat penerima. Kombinasi sederhana ini sudah berjalan lebih dari 130 tahun tanpa berubah banyak, dan seperti dinyatakan sebelumnya dengan error level hanya 1 dari 16juta pengantaran – sehingga para pakar Supply-Chain menyebutnya sebagai “low-tech, very high-precision system” yang bekerja layaknya modern Supply-Chain —dengan proses collection, sorting, transit, re-sorting, dan delivery— namun dilakukan sepenuhnya oleh manusia dengan efisiensi yang menakjubkan.

Sederhananya: setiap pagi, para Dabbawalla mengumpulkan makanan dari rumah-rumah pelanggan di berbagai penjuru (suburb) kota. Kotak-kotak itu dikumpulkan di titik-titik tertentu, disortir berdasarkan stasiun tujuan, dan diangkut menggunakan sepeda atau kereta rel lokal Mumbai. Sesampainya di stasiun tujuan, kotak kembali disortir sesuai alamat penerima, lalu diantarkan langsung oleh Dabbawala ke meja kerja pelanggan — tepat sebelum jam makan siang. Lalu pada sore hari, para Dabbawalla itu mengulang proses yang sama untuk mengembalikan tiffin kosong ke rumah pemiliknya.

Semua itu dilakukan tanpa formulir, tanpa barcode, tanpa server cloud, tanpa pengawasan ketat dengan kamera CCTV, hanya dengan otak manusia, budaya kerja yang solid yang didasari rasa persaudaraan dan tanggung jawab bersama (trust based) di mana setiap anggota memiliki peran yang jelas dalam rantai pengantaran, sehingga kesalahan satu orang berarti beban moral bagi kelompok.

Salah satu hal yang paling menarik adalah motivasi kerja para Dabbawalla adalah dari bukan uang, tapi nilai sosial dan spiritual – mereka tak hanya pekerja logistik, tetapi juga menjaga nilai: bahwa memberi makan orang lain adalah àmal, dan menepati waktu adalah amanah. Ini dikarenakan aslinya para Dabbawalla ini adalah dari etnis Vārkārī di wilayah Maharashtra, dan kebanyakan berasal dari satu desa kecil yang sama di dekat kota Pune. Pengantaran tiffin ini akan dihentikan selama 5 hari setiap bulan Maret, dikarenakan para Dabbawalla pulang ke kampung halaman mereka untuk menghadiri festival tahunan desa.

Banyak institusi dan universitas ternama —termasuk Harvard Business School dan Forbes— meneliti sistem ini sebagai contoh manajemen rantai pasok yang efisien tanpa ketergantungan teknologi.

Baca Juga:  Tactical vs. Strategic Victory

Ada beberapa prinsip penting yang ditemukan dalam sistem Dabbawalla ini, yaitu:

  • Decentralized decision-making, di mana setiap Dabbawalla berwenang mengambil keputusan di lapangan. Tak perlu menunggu perintah atasan, sehingga sistem mereka sangat tangguh terhadap gangguan atau perubahan kondisi.
  • Human-centered efficiency, Dabbawalla tidak mengandalkan algoritma, tapi pengetahuan lokal, hafalan jalur, dan intuisi terhadap ritme kota. Faktor manusia adalah inti, bukan variabel pendukung.
  • Cost sustainability, sistem ini sangat murah — tidak ada bensin untuk truk, tidak ada biaya server, tidak ada limbah berlebih. Mereka mengandalkan sepeda, troli, dan jaringan kereta rel umum.
  • Cultural consistency, setiap anggota terikat oleh nilai kerja keras, tanggung jawab, dan spiritualitas yang sama. Bagi mereka, ketepatan waktu bukan sekadar target kinerja, tapi amanah.

Ketika teknologi diadu dengan kearifan lokal, maka siapa yang lebih andal?

Well, Dabbawalla menjadi ironi menarik di era big data dan AI. Ketika Dunia berlomba membuat aplikasi logistik dengan algoritma rumit, sistem Dabbawalla menunjukkan bahwa kesederhanaan bisa lebih tangguh daripada kompleksitas. Kunci mereka bukan inovasi dan alat, tetapi stabilitas manusia dan budaya kerja. Teknologi itu berguna, akan tetapi tanpa fondasi manusia, proses, dan budaya yang kuat, hasilnya takkan maksimal.

Sistem Dabbawalla membuktikan bahwa teknologi hanyalah alat bantu — bukan pengganti àqal sehat, tanggung jawab, dan nilai kerja yang tertanam dalam jiwa.

Lebih dari 100 tahun berlalu, sistem ini masih hidup di tengah gempuran start-up logistik dan ekonomi digital. Mereka tak punya venture capital, tak punya aplikasi mobile, bahkan banyak yang tidak memiliki smartphone. Tetapi sistem ini tetap berjalan, tetap dipercaya oleh ratusan ribu pelanggan, dan tetap menjadi simbol disiplin, kesederhanaan, dan ketepatan. Dabbawalla mengajarkan satu hal penting bagi dunia modern, yaitu: “Efisiensi sejati tak lahir dari mesin, tetapi dari manusia yang bekerja dengan niyyat, disiplin, dan rasa saling percaya.”

Pertanyaannya, mampukah Bani 58 IQ<78 meng-copy ini? Ketika budaya di sini adalah “Asal Bapak Senang” yang jargonnya “oke gas oke gas”…?

Silakan kalau mau diskusi

M. Arsyad Syahrial SE, MF
Pengamat Ekonomi dan Pergerakan Islam
Alumni RMIT University, Melbourne, Australia

Bagikan Artikel:

==========================================

Yuks!, perbanyak amal jariyah dengan ikut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kualitas dakwah islamiyah bersama Pesantren Bina Insan Kamil, salurkan donasi terbaik Antum melalui rekening:

Bank Syariah Indonesia
7000 7555 00
a/n Bina Insan Kamil Pramuka

Kode Bank: 451

Konfirmasi Transfer:
https://wa.me/6282298441075 (Gita)

Ikuti juga konten lainnya di sosial media Pesantren Bina Insan Kamil:
Instagram: https://www.instagram.com/pesantrenbik
Fanspage: https://www.facebook.com/pesantrenbik
YouTube: https://www.youtube.com/c/PesantrenBIK

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *