Zakat Modal Perdagangan Kewajiban Pemodal ataukah Pengelola?

Zakat Modal Perdagangan Kewajiban Pemodal ataukah Pengelola?

Tanya:

Assalamualaikum. Afwan Ustadz, ijin bertanya. Jika kita diberikan kepercayaan mengelola modal perdagangan oleh seseorang, dan apabila sudah sampai haulnya apakah barang² dagangan tersebut wajib saya keluarkan zakatnya?

Asa H. Balikpapan.

Jawab:

Wa alaikum salam warahmatullah

Zakat perdagangan wajib dikeluarkan setelah satu tahun berlalu sejak mulai berdagang, meski sejak awal belum masuk nishab. Demikian pendapat keempat madzhab. Maka setelah satu tahun hijriyyah berlalu dihitung semua barang dagangan yang masih tersisa dan hasil penjualan lalu dikonversi dengan harga nishab emas saat itu, lalu dikeluarkan 2,5% setelah pengeluaran biaya rutin dan pembayaran hutang.

Bila kebetulan modalnya punya orang lain (mudharabah) maka zakatnya dikeluarkan oleh masing-masing. Pemilik modal mengeluarkan zakat dari jumlah modal + bagiannya setelah dihitung bagi hasil bila ada.

Lalu pengelola atau mudharib mengeluarkan zakat dari bagi hasil yang dia terima bila telah sampai nishab dan masih sejumlah nishab atau lebih sampai masuk satu haul (perputaran satu tahun hijriyyah).

Ilustrasinya begini, A memberikan modal kepada B untuk dagang sejumlah 50 juta rupiah pada bulan Rajab dengan perjanjian bagi hasil 50 %. Bila nishab zakat adalah 85 gram emas senilai 85 juta maka modal itu belum kena nishab, tapi karena sudah direncakan buat dagang maka hitungan haulnya sudah berjalan, sehingga pemilik modal harus melihat akhir haul yaitu bulan Rajab tahun depan apakah modal plus keuntungan plus barang yang belum terjual akan senilai dengan nishab atau lebih.

Ini adalah pendapat madzhab Maliki dan Syafi’I yang merupakan nash Imam Syafi’I dalam kitab Al-Umm. Di mana khusus untuk zakat perdagangan maka nishabnya hanya diperhatikan di akhir haul, sehingga biarpun di awal dagang yang merupakan awal haul tidak tercapai nishab tapi di akhir haul tercapai nishab maka wajiblah dikeluarkan zakatnya. Ini juga yang dipilih oleh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitab Fiqhuz Zakaah (1/275-276).

Lalu ketika diperdagangkan sampai akhir tahun yaitu bulan Rajab tahun berikutnya memperoleh keuntungan sebesar senilai 200 juta. Berarti ada bagi hasil masing-masing 100 juta. Bila masih ada barang dagangan yang belum terjual maka itu dihitung harganya sebagai hasil dari modal. Misalnya barang yang belum terjual nilainya 50 juta. Maka milik pemodal adalah: modal + hasil bagiannya + nilai barang yang belum terjual (50 + 100 + 50) sehingga total miliknya adalah 200 juta, dan itu sudah di atas nishab dan sudah masuk haul dagang sehingga dia berkewajiban membayar zakat 2,5 % dari uangnya itu yaitu 2,5% dari 200 juta.

Baca Juga:  Menemukan Barang di Jalan

Sedangkan pengelola menadpat hasil 100 juta dan itu juga sudah di atas nishab maka kena kewajiban zakat pada saat menerima uang itu tapi baru wajib dikeluarkan pada haul berikutnya, alias menunggu satu tahun hijriyyah ke depan, belum wajib mengeluarkan saat itu, kecuali kalau dia mau menyegerakannya sebelum haul.
Inilah pendapat yang kami pilih dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali.

Referensi:

  1. Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah 23/277:

مَنْ أَعْطَى مَالَهُ مُضَارَبَةً لإِنْسَانٍ فَرَبِحَ فَزَكَاةُ رَأْسِ الْمَال عَلَى رَبِّ الْمَال اتِّفَاقًا، أَمَّا الرِّبْحُ فَقَدِ اخْتُلِفَ فِيهِ فَظَاهِرُ كَلاَمِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عَلَى الْمُضَارِبِ زَكَاةَ حِصَّتِهِ مِنَ الرِّبْحِ إِنْ ظَهَرَ فِي الْمَال رِبْحٌ وَتَمَّ نَصِيبُهُ نِصَابًا

“Siapa yang memberikan uangnya untuk modal dalam bentuk mudharabah ke seseorang lalu mendapatkan keuntungan maka zakat bagi harta modal menjadi beban pemilik modal berdasarkan kesepakatan para ulama. Sedangkan keuntungan usaha maka para ulama beda pendapat. Menurut madzhab Hanafi pengelola hanya mengeluarkan zakat setelah dia mendapat bagi hasil sejak kemunculan hasil itu dan dia menzakatinya setelah satu haul berlalu.”

  1. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (4/260):

فَصْلٌ : وَإِنْ دَفَعَ إلَى رَجُلٍ أَلْفًا مُضَارَبَةً ، عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ ، فَحَالَ الْحَوْلُ وَقَدْ صَارَ ثَلَاثَةَ آلَافٍ ، فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ زَكَاةُ أَلْفَيْنِ ؛ لِأَنَّ رِبْحَ التِّجَارَةِ حَوْلُهُ حَوْلُ أَصْلِهِ

“Jika diamemberikan seribu kepada seseorang untuk kerjasama dan bagi hasilnya 50 % lalu sudah berlalu satu haul dan harta itu menjadi 3000 maka pemilik modal mengeluarkan zakat dari uang yang 2000, karena keuntungan dari perdagangan mengikuti haul harta modal.”

وَأَمَّا الْعَامِلُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ زَكَاةٌ فِي حِصَّتِهِ حَتَّى يَقْتَسِمَا ، وَيَسْتَأْنِفُ حَوْلًا مِنْ حِينَئِذٍ

“Adapun pengelola maka dia hanya berkewajiban membayar zakat dari hasil bagiannya yang telah dia peroleh, itupun setelah berlalu satu haul di tangannya.”

  1. An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab jilid 6 hal. 55:
Baca Juga:  Menjual Kulit Hewan Kurban

النِّصَابُ وَالْحَوْلُ مُعْتَبَرَانِ فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ بِلَا خِلَافٍ لَكِنَّ فِي وَقْتِ اعْتِبَارِهِ النِّصَابَ ثَلَاثَةَ أَوْجُهٍ وَسَمَّاهَا إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَقْوَالًا وَالصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ أَوْجَهُ لَكِنَّ الصَّحِيحَ مِنْهَا مَنْصُوصٌ وَالْآخَرَانِ مُخْرَجَانِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ جَمِيعِ الْأَصْحَابِ وَهُوَ نَصُّهُ فِي الْأُمِّ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي آخِرِ الْحَوْلِ فَقَطْ لِأَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِالْقِيمَةِ وَتَقْوِيمُ الْعَرْضِ فِي كُلِّ وَقْتٍ يَشُقُّ فَاعْتُبِرَ حَالُ الْوُجُوبِ وَهُوَ آخِرُ الْحَوْلِ بِخِلَافِ سَائِرِ الزَّكَوَاتِ لِأَنَّ نِصَابَهَا مِنْ عَيْنِهَا فَلَا يَشُقُّ اعْتِبَارُهُ

“Nishab dan haul diperhitungkan dalam zakat perdagangan tanpa adanya perbedaan pendapat, tapi kapankah waktu nishab dianggap, maka ada tiga wajh dalam madzhab Syafi’I yang mana Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali menyebutnya aqwal. Yang benar dia adalah awjuh (bukan aqwal). Yang shahih dari ketiga wajh itu adalah yang disebutkan secara nash, sementara dua lagi adalah bentuk takhrij. Salah satunya dan ini adalah pendapat yang shahih di semua ulama madzhab (ash-haab) dan merupakan nash dalam Al-Um bahwa nishab zakat perdagangan hanya teranggap di akhir haul saja, karena dia berhubungan dengan nilai, sementara menghitung nilai komoditas di setiap waktu akan menyulitkan. Maka cukup dipakai nilai saat waktu wajib yaitu akhir haul saja, berbeda dengan benda zakat lainnya, karena nishab pada benda zakat non perdagangan adalah dari jumlah bendanya sehingga menghitungnya tidaklah sulit.”

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
9 September 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *