Kisah Rujuknya Syekh Al-Albani dalam Penghukuman Terhadap Hadits

Kisah Rujuknya Syekh Al-Albani dalam Penghukuman Terhadap Hadits

Syekh Abu Shuhaib Muhammad bin Ahmad Al-Minsyawi menuturkan:

Pada tanggal 14-4-1997 saya dan ustadz Muhammad Ra`fat berangkat menuju rumah guru kami Al-Albani Rahimahullah untuk menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan pengumpulan fatwa beliau yang kami kerjakan proyeknya bersama pemilik penerbit Al-Maktabah Al-Islamiyyah yaitu saudara Sa’d Ar-Rasyid.

Ketika kami selesai minta penjelasan dari beliau dalam topic yang sama. Maka saya bertanya kepada beliau, ”Wahai syaikhuna, semoga Allah menjaga anda, kami punya sebuah risalah saya dan ustadz Muhammad Rafat berjudul, ”Siapa yang diterima dan ditolak persaksiannya” dari kitab Sunan Al-Baihaqi. Tatkala saya sedang mentahrij beberapa hadits dan meneliti beberapa sanadnya saya menggunakan kesimpulan antum dalam menentukan kredibilitas rawi, terutama untuk rawi yang masih diperselisihkan. Kemudian pandangan saya tertuju kepada sebuah hadits dalam kitab As-Silsilah Ash-Shahihah yang dalam sanadnya ada inqitha (keterputusan).”

Syekh bertanya, ”Apa itu? Di nomor berapa?”

Saya katakan, ”yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

تكفير كل لحاء ركعتان..

“Penghapus dosa pertengkaran itu adalah shalat dua rakaat.”

Saya katakan kepada beliau, “Sanad hadits ini dari jalan Abdul Wahid bin Qais dari Abu Hurairah secara marfu’, padahal Abdul Wahid bin Qais ini tidak bertemu dengan Abu Hurairah. Al Hafizh Al-Mizzi mengatakan, “Dia biasa meriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal.”

Artinya, riwayatnya dari Abu Hurairah adalah riwayat yang mursal.

Shalih bin Muhammad Al-Baghdadi berkata, “Dia biasa meriwayatkan dari Abu Hurairah tapi dia sendiri tidak pernah mendengar langsung darinya.”

Kemudian anda menyebutkan syahid (penguat) bagi hadits ini yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Ibnu Asakir dari Maslamah bin Ali, dari Khalid bin Dihqan, dari Kuhail bin Harmalahm dari Abu Umamah Al-Bahili secara marfu’. Anda sendiri yang mengatakan bahwa Maslamah bin Ali (dia adalah Al-Khusyani) itu matruk dan itulah yang dijadikan Al-Haitsami untuk menganggap cacat hadits ini. Sehingga, riwayat yang terpakai hanya riwayat Abu Hurairah ra.”

Baca Juga:  Menuju Masyarakat Taat Hukum

Tapi hadits ini tetaplah munqathi’ (terputus).”

Kemudian Syekh berdiri dan membawa catatan Shahih Al-Jami’, kemudian beliau membuka hadits tersebut dan berkata, “Coba kamu baca ini.” Ternyata Syekh telah menulisnya di situ “dhai’f”, sayapun membacanya: “Dhaif”. Kemudian berkatalah Ustadz Muhammad Ra’fat kepada beliau, “Sekarang tinggal lagi yang di kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah.”

Maka Al-Allamah Al-Bani rahimahullah pun berkata, “Kalau begitu pindahkan dia dari Ash-Shahihah ke Adh-Dha’ifah (maksudnya ke As-Silsilah Adh-Dha’ifah).

Pembicaraan ini terekam dalam kaset yang saya simpan.

Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/sh…DF%DA%CA%C7%E4

Selesai nukilan dari Syekh Abu Shuhaib.

Hadits yang dibahas di atas terdapat dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 4 hal. 397, nomor 1789.

Hadits dari riwayat Abu Umamah Al-Bahili diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan Musnad Syamiyyin, juga disebut oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id 2/519, no. 3516 dan Al-Haitsami mengatakan, ”Di dalamnya ada Maslamah bin Ali dan dia itu matruk.”

Saya katakan, Maslamah bin Ali ini disebutkan dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil Ibnu Abi Hatim jilid 8 halaman 268 dan menukil pernyataan Duhaim yang mengatakannya, ”laisa bi syai” (tidak teranggap), Abu Hatim mengatakannya lemah haditsnya, tidak perlu menyibukkan diri dengannya. Abu Zur’ah mengatakan, ”munkarul hadits”. Al-Bukhari juga menyebutkannya dalam At-Tarikh Al-Kabir 7/388-389: ”munkarul hadits”. An-Nasaiy, Ad-Daraquthni dan Al-Burqani mengatakannya matrukul hadits (Tahdzib Al-Kamal 27/570). Akhirnya Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib 2/122, no. 7509 memberinya predikat: ”matruk”.

Sementara riwayat Abu Hurairah juga lemah seperti yang dikemukakan oleh Syekh Abu Shuhaib di atas. Dimana Abdul Wahid bin Qais tidak bertemu Abu Hurairah sehingga haditsnya munqathi’. Bahkan Abdul Wahid ini sendiri masih diperselisihkan kredibilitasnya dan itu diakui oleh Syekh Al-Albani sendiri ketika sempat menyinggungnya dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah jilid 13 hal. 394-395. Bahkan Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif mengatakannya, ”munkarul hadits”.

Baca Juga:  Kemenangan Kadang Memerlukan Kesabaran yang Melebihi Usia

Anshari Taslim

26 Maret 2012.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *