Menikahi Pria atau Wanita Murtad

Menikahi Pria atau Wanita Murtad

Murtad artinya orang yang tadinya sudah beragama Islam baik sedari lahir maupun masuk Islam ketika dewasa, kemudian berpindah agama ke selain Islam, apapun agama itu. Termasuk di dalamnya orang yang masuk Kristen dan itu paling banyak di negeri ini.

Dalam Islam orang murtad tidak dikatakan beragama dengan agama yang baru dianutnya, sehingga status mereka hanya satu yaitu murtad. Akibatnya, tidak berlaku bagi mereka status hukum yang diberikan kepada ahli kitab seperti halnya wanita yang memang sedari lahir dalam keadaan Nashrani dan belum pernah masuk Islam.

Para ulama sepakat bahwa pernikahan wanita murtad tidak sah karena dia tidak memiliki agama1. Demikian pula lelaki murtad maka pernikahannya tidak sah dengan siapapun. Bila dia masuk Kristen misalnya maka dalam hukum Islam dia tidaklah dianggap Kristen dan tidak termasuk ahli dzimmah, sehingga pernikahannya dengan orang Kristen asli dianggap tidak sah. Semua hak perwaliannya juga dihapus sehingga dia tidak boleh menikahkan anaknya yang masih muslim, dan kalau dia yang menikahkan maka pernikahan itu tidak sah karena dinikahkan oleh wali yang tidak sah.

Al-Imam Asy-Syafi’i menegaskan dalam kitab Al-Umm:

وَلاَ يَجُوزُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يَنْكِحَ قَبْلَ الْحَجْرِ وَلاَ بَعْدَهُ مُسْلِمَةً لِأَنَّهُ مُشْرِكٌ وَلاَ وَثَنِيَّةً لِأَنَّهُ لاَ يَحِلُّ لَهُ إلَّا مَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِينَ وَلاَ كِتَابِيَّةً لِأَنَّهُ لاَ يُقِرُّ عَلَى دِينِهِ فَإِنْ نَكَحَ فَأَصَابَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ وَلاَ يَكُونُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَتَهُ وَلاَ أَمَتَهُ وَلاَ امْرَأَةً هُوَ وَلِيُّهَا مُسْلِمَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَلاَ مُسْلِمًا وَلاَ مُشْرِكًا وَإِذَا أَنْكَحَ فَإِنْكَاحُهُ بَاطِلٌ وَاَللَّهُ الْمُوَفِّقُ

”Orang murtad tidak boleh menikah baik sebelum ditahan maupun setelahnya. Baik dengan wanita muslimah karena dia sudah berubah jadi musyrik, tidak pula boleh menikah dengan penyembah berhala karena tidak halal baginya kecuali apa yang halal bagi kaum muslimin, tidak pula mereka boleh menikahi wanita ahli kitab karena dia tidak tetap dalam agamanya. Kalau dia terlanjur menikah dan sempat menyetubuhi salah satu dari para wanita jenis tersebut maka para wanita itu berhak mendapatkan mahar mitsl, tapi pernikahannya mafsukh (dibatalkan). Orang murtad juga tidak boleh menikahkan putrinya atau budaknya atau wanita-wanita lain yang berada di bawah perwaliannya baik yang muslimah maupun yang musyrikah, baik kepada sesama muslim maupun kepada orang musyrik pula. Kalau dia menikahkan (menjadi wali nikah) maka pernikahan itu batil. Wallahu muwaffiq.”2

Baca Juga:  Masih Makan Atau Minum Sahur Saat Adzan Berkumandang

As-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsuth:

وَلَا يَجُوزُ لِلْمُرْتَدِّ أَنْ يَتَزَوَّجَ مُرْتَدَّةً، وَلَا مُسْلِمَةً، وَلَا كَافِرَةً أَصْلِيَّةً؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ يَعْتَمِدُ الْمِلَّةَ، وَلَا مِلَّةَ لِلْمُرْتَدِّ، فَإِنَّهُ تَرَكَ مَا كَانَ عَلَيْهِ، وَهُوَ غَيْرُ مُقَرٍّ عَلَى مَا اعْتَقَدَهُ

”Orang murtad tidak boleh menikahi wanita murtad, muslimah, atau yang kafir asli, karena nikah itu berpatokan pada agama dan tidak ada agama bagi orang murtad.”3

Dalam kitab Al-Mudawwanah Sahnun berkata,

قُلْتُ: أَرَأَيْت الْمُرْتَدَّ إذَا تَزَوَّجَ يَهُودِيَّةً أَوْ نَصْرَانِيَّةً وَهُوَ مُرْتَدٌّ ثُمَّ رَجَعَ إلَى الْإِسْلَامِ، أَيُقِيمُ عَلَى هَذَا النِّكَاحِ أَمْ لَا؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: إذَا ارْتَدَّ وَقَعَتْ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَزْوَاجِهِ إذَا كُنَّ مُسْلِمَاتٍ.
قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: وَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَزْوَاجِهِ إذَا كُنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ نِكَاحَهُ إيَّاهُنَّ فِي حَالِ ارْتِدَادِهِ لَا يَجُوزُ، رَجَعَ إلَى الْإِسْلَامِ أَوْ لَمْ يَرْجِعْ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى امْرَأَتِهِ الْيَهُودِيَّةِ أَوْ النَّصْرَانِيَّةِ حِينَ ارْتَدَّ وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ نِكَاحُهُ إيَّاهُنَّ فِي حَالِ ارْتِدَادِهِ.
قُلْتُ: أَرَأَيْتَ الْمُسْلِمَ يَكُونُ تَحْتَهُ الْيَهُودِيَّةُ فَيَرْتَدُّ الْمُسْلِمُ إلَى الْيَهُودِيَّةِ أَيَفْسُدُ نِكَاحُهُ أَمْ لَا؟ قَالَ: لَمْ أَسْمَعْ مِنْ مَالِكٍ فِي هَذَا شَيْئًا إلَّا أَنَّهُ قَالَ فِي الْمُرْتَدِّ تَحْرُمُ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ وَأَنَا أَرَى فِي هَذَا أَنْ تَحْرُمَ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ يَهُودِيَّةً كَانَتْ أَوْ نَصْرَانِيَّةً أَوْ مَا كَانَتْ.

Aku (Sahnun) bertanya, “Menurut anda jika lelaki murtad menikahi wanita Nashrani atau Yahudi dalam keadaan murtadnya lalu setelah itu dia kembali ke Islam apakah pernikahan ini ditetapkan?”

Dia (Ibnu Al-Qasim) menjawab, “Malik mengatakan bahwa jika dia murtad maka terjadi perpisahan antara dia dengan istrinya jika istrinya itu Muslimah.

Lalu Ibnu Al-Qasim mengatakan, akan terjadi perpisahan (batalnya nikah) bila wanita ini bukan ahli kitab. Ini menunjukkan padamu bahwa pernikahan mereka pada saat murtad tidak diperbolehkan, baik nantinya dia kembali ke Islam ataupun tidak. Bukankah kamu tahu tidak pernikahannya dengan wanita Yahudi atau Nashrani akan dibatalkan bila dia murtad, begitulah halnya kalau dia masih murtad maka tak boleh dinikahkan dengan wanita Yahudi atau Nashrani.”

Baca Juga:  Pengemis Kaya

Aku (Sahnun) bertanya lagi, “Kalau seorang muslim punya istri Yahudi, lalu si muslim ini masuk agama Yahudi, apakah pernikahan mereka tetap dibiarkan?”

Dia (Ibnu Al-Qasim) menjawab, “Aku belum pernah mendengar fatwa dari Malik tentang hal ini. Hanya saja dia mengatakan orang murtad maka istrinya menjadi haram baginya. Maka dalam hal ini akupun mengatakan kalau lelaki itu murtad maka istrinya jadi haram baginya baik istrinya itu Yahudi, Nashrani atau agama apapun.”

Selesai dari Al-Mudawwanah.4

Ibnu Qudamah mengatakan,

الْمُرْتَدَّةُ يَحْرُمُ نِكَاحُهَا عَلَى أَيِّ دِينٍ كَانَتْ ; لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ لَهَا حُكْمُ أَهْلِ الدِّينِ الَّذِي انْتَقَلَتْ إلَيْهِ فِي إقْرَارِهَا عَلَيْهِ، فَفِي حِلِّهَا أَوْلَى.

”Wanita murtad itu haram dinikahi apapun agama yang dimasukinya. Sebab, tidak berlaku padanya hukum-hukum penganut agama yang dimasukinya itu.”5

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta


  1. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 22/198 entri kata (ردة).
  2. Al-Umm 7/410.
  3. Al-Mabsuth oleh As-Sarakhsi 5/48.
  4. Al-Mudawwanah Al-Kubra 2/227.
  5. Al-Mughni 9/548.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.