Riwayat dari Sahabat Nabi Tentang Tarawih

Riwayat dari Sahabat Nabi Tentang Tarawih: Yazid Bin Abdullah Bin Khushaifah & Muhammad Bin Yusuf Bin Abdullah Bin Yazid

(“pertarungan” dua sepupu, mana yang lebih hafal dalam menyampaikan hadits paman mereka tentang shalat tarawih di masa Umar)

Bismillaah, walhamdulillah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa Rasulillah wa ba’d.

Langsung ke point:

Ada dua versi riwayat tentang berapa rakaat shalat tarawih dijalankan atas perintah Umar dengan imam Ubay bin Ka’b ra:

  1. Riwayat Muhammad bin Yusuf:

Riwayat ini terdapat dalam kitab Al-Muwaththa` Imam Malik 2/158-159, no. 379,

  379 – و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ: أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ.

Riwayat Yahya bin Yahya, Malik mengabarkan kepadaku, dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Sa`ib bin Yazid bahwa dia berkata, “Umar bin Khaththab memerintahkan kepada Ubay bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami shalat orang-orang sejumlah sebelas rakaat. Sang imam waktu itu membaca ayat-ayat yang berjumlah seratusan sampai kami bersandar pada tiang saking lamanya berdiri dan kami tidak selesai dari shalat kecuali hampir tiba waktu Fajar.”

  1. Riwayat Yazid bin Khushaifah:

Terdapat dalam sunan Al Baihaqi:

  4288 –  وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ فَنْجَوَيْهِ الدَّيْنَوَرِيُّ بِالدَّامَغَانِ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ السُّنِّيُّ، أنبأ عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْبَغَوِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنبأ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: ” كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.” قَالَ: “وَكَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمَئِينِ، وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ.”

Abu Abdullah bin Husain bin Muhammad bin Husain bin Fanjawaih Ad-Dainawari telah mengabarkan kepada kami di Damaghan, Ahmad bin Muhammad bin Ishaq As-Sunni menceritakan kepada kami, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz Al Baghawi mengabarkan kepada kami, Ali bin Al Ja’d menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Dzi’b mengabarkan kepada kami, dari Yazid bin Khushaifah, dari As-Sa’ib bin Yazid yang berkata,

“Mereka di masa Umar bin Khaththab ra biasa melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat di bulan Ramadhan.”

Dia berkata, “Mereka juga biasa membaca surah-surah yang berjumlah seratusan ayat dan mereka bersandar dengan tongkat mereka di masa Utsman bin Affan lantaran lamanya berdiri.”

Isnad ini shahih sampai kepada Yazid bin Khushaifah.

  • Abu Abdullah Ibnu Fanjawaih Ad-Dainawari disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala` (17/383-384) dengan menyatakan: “syaikh imam, al muhaddits al-mufid, baqiyyatul masyayikh” ini jelas bentuk ta’dil yang tinggi sebagai seorang imam dalam bidang hadits. Lalu Adz-Dzahabi menukil penjelasan Asy-Syirawaih dalam tarikhnya bahwa Ibnu Fanjawaih ini adalah seorang tsiqah yang shaduq banyak meriwayatkan hal-hal yang tersendiri. Meriwayatkan hal yang tersendiri sebenarnya bukan hal yang menggugurkan kedhabitan seorang rawi bila dia memang seorang hafizh. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani sempat menyinggung nama Ibnu Fanjawaih ini dalam kitab Lisan Al-Mizan[1] ketika menjelaskan biografi Al-Hasan bin Mahmud. Di sana sempat disebutkan sebuah riwayat yang melalui jalur Ibnu Fanjawaih ini dan Al-Hafizh berkomentar: “Dia adalah seorang hafizh besar, seorang penulis”. Juga disebut oleh Ibnu Nuqthah dalam kitab Al-Ikmal[2] sebagai orang yang tsiqah shalih.
  • Ahmad bin Muhammad bin Ishaq As-Sunni adalah Ibnu Sunni yang terkenal dengan kitab Amal Al-Yaum wa Al-Lailah-nya seorang hafizh terkenal tak lagi perlu dibahas.
  • Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz Al-Baghawi seorang imam hafizh penulis kitab Ma’rifatus Shahabah yang terkenal, tak lagi perlu dibahas, begitu pula gurunya Ali bin Al-Ja’d, sudah sangat terkenal sebagai penulis sunan, juga gurunya yaitu Ibnu Abi Dzi`b.

Selain itu ada mutabi’ bagi Ibnu Al-Ja’d yaitu Yazid bin Harun yang juga meriwayatkannya dari Ibnu Abi Dzi’b dari Ibnu Khushaifah sebagaimana dalam kitab Ash-Shiyam karya Al-Firyabi[3] dengan sanad yang shahih.

Lalu Ibnu Abi Dzi’b juga tidak sendirian meriwayatkannya dari Ibnu Khushaifah, dia dikuatkan oleh Muhammad bin Ja’far sebagaimana dalam As-Sunan Ash-Shughra dan kitab Ma’rifatus Sunan wa Al-Atsar keduanya karya Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.

###

Dalam kedua riwayat ini terdapat perbedaan antara Yazid bin Khushaifah dengan Muhammad bin Yusuf dalam menyampaikan berapa jumlah rakaat shalat tarawih di masa Umar. Muhammad bin Yusuf menyampaikan 11 rakaat, sedangkan Yazid bin Khushaifah menyampaikan 20 rakaat ditambah witir tentunya. Padahal keduanya sama-sama menyampaikan dari sumber yang sama yang menyaksikan kejadian tersebut yaitu paman mereka bernama Sa’ib bin Yazid. Tambahan lagi keduanya adalah perawi yang tsiqah dan sama-sama dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka dan sama-sama guru dari Imam Malik bin Anas.

Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam risalahnya yang terkenal “Qiyam Ramadhan” memastikan bahwa riwayat Yazid bin Khushaifah ini salah, karena bertentangan dengan orang yang lebih kuat darinya yaitu Muhammad bin Yusuf. Sehingga menurut beliau riwayat yang benar adalah riwayat Muhammad bin Yusuf.

Alasan ini belum bisa kita terima lantaran dua hal:

  1. Kita belum menerima bahwa Muhammad bin Yusuf lebih kuat daripada Yazid bin Khushaifah.
  2. Andai pun benar Muhammad bin Yusuf lebih kuat maka tidak otomatis riwayatnya diunggulkan dalam hal ini karena harus melihat dulu apakah ada qarinah (indikasi) lain yang malah menguatkan riwayat Yazid.
Baca Juga:  Tidak Selalu Rakyat Yang Dikecam

Mari kita simak pernyataan para ulama jarh wa ta’dil tentang kedua orang ini:

Syekh Al-Albani memastikan bahwa Muhammad bin Yusuf lebih kuat karena Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib memberi predikat kepadanya ”tsiqah tsabat” sedangkan kepada Yazid bin Khushaifah hanya predikat ”tsiqah”. Memang bila hanya berpegang pada predikat yang diberikan oleh Al-Hafizh tentu kita akan segera menyatakan bahwa Muhammad bin Yusuf lah yang lebih kuat. Tapi ini terlalu dini, seharusnya ditinjau dulu semua pendapat ulama tentang kedua rawi ini.

Sebut saja Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kasyif yang metodenya sama dengan kitab At-Taqrib memberikan predikat kepada Muhammad bin Yusuf ”shaduq muqill”[4] (jujur tapi sedikit riwayatnya), sedangkan untuk Yazid bin Abdullah bin Khushaifah[5] Adz-Dzahabi memberi predikat, ”tsiqah nasik” (tsiqah ahli ibadah), meski selanjutnya Ad-Dzahabi menukil pendapat Ahmad yang menyatakan Yazid ini munkarul hadits, tapi makna munkarul hadits kalau diucapkan oleh Ahmad bin Hanbal bukan berarti orang itu lemah, melainkan suka meriwayatkan hal yang hanya diperoleh dari jalurnya dia saja. Artinya, berdasarkan penilaian Adz-Dzahabi Yazid sedikit lebih tinggi daripada Ibnu Yusuf.

Mari kita bandingkan penilaian beberapa ulama jarh wa ta’dil terhadap kedua orang ini.

Muhammad bin Yusuf[6]:

  • Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakannya, ”tsiqah tsabat”.
  • Adz-Dzahabi: ”shaduq sedikit riwayatnya”.
  • Yahya bin Ma’in menyatakannya, “tsiqah”.
  • Ahmad bin Hanbal: “tsiqah”.
  • Ali bin Al-Madini: ”tsiqah” berdasarkan nukilan Ibnu Syahin dalam kitab Tarikh Asma’ Ats-Tsiqaat no. 1198.
  • Yahya bin Sa’id Al-Qaththan menyatakannya “tsabat” dan mengunggulkannya daripada Abdurrahman bin Umair, Abdurrahman bin Abi Ammar dan Muhammad bin Abi Yahya, dia juga menyatakan tidak pernah melihat syekh yang lebih “tsiqah” darinya.
  • An-Nasa’iy menyatakannya “tsiqah”.
  • Ibnu Syahin menukil “tautsiq” dari Ibnu Al-Madini dan Yahya bin Sa’id tanpa komentar.
  • Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqat.

Yazid bin Abdullah bin Khushaifah[7]:

  • Al-Hafiz Ibnu Hajar: “tsiqah”.
  • Ad-Dzahabi: tsiqah ahli ibadah.
  • Yahya bin Ma’in: “tsiqah” sementara dalam riwayat Ahmad bin Sa’d bin Abu Maryam dari Yahya menyatakan, “tsiqah hujjah”.
  • Ahmad bin Hanbal: “tsiqah (berdasarkan riwayat Al-Atsram), aku tidak melihatnya kecuali kebaikan (berdasarkan riwayat puteranya Abdullah), munkarul hadits (berdasarkan riwayat Abu Daud)”. Tapi sebagaimana diketahui bahwa munkarul hadits menurut Ahmad bin Hanbal bukanlah jarh yang menyebabkan seorang perawi menjadi lemah.
  • Abu Hatim: “tsiqah”.
  • An-Nasa’iy: “tsiqah”.
  • Ibnu Syahin: “tsiqah”.
  • Ibnu Sa’d: “Dia seorang ahli ibadah yang banyak haditsnya dan tsabat”.

Dari sini kita lihat cukup sulit untuk menentukan siapa yang lebih kuat bila harus ditandingkan dan tidak cukup hanya berdasarkan penilaian Al-Asqalani dengan melupakan penilaian Adz-Dzahabi, Ibnu Ma’in dan Ibnu Sa’d.

Ibnu Ma’in menambahkan kata hujjah setelah tsiqah berdasarkan riwayat Ibnu Abi Maryam, sedangkan Ibnu Sa’d memastikan bahwa Yazid ini juga tsabat lalu dalam salah satu manuskrip Al Jarh wa At-Ta’dil tertulis bahwa berdasarkan riwayat Al Atsram, Ahmad bin Hanbal memberinya predikat “tsiqah tsiqah” menyebut kata tsiqah dua kali dan itu merupakan penilaian yang sama dengan tsiqah tsabat sedangkan ketika menilai Muhammad bin Yusuf kata tsiqah dari Ahmad hanya sekali.

Intinya, susah menentukan siapa yang lebih kuat bila hanya berdasarkan predikat mereka masing-masing. Jadi, kita harus menggunakan qarinah lain untuk menentukan riwayat mana yang lebih kuat.

Bila Syekh Al-Albani menjadikan hubungan keluarga sebagai indikasi lebih kuatnya riwayat Muhammad bin Yusuf karena dia adalah cucu dari As-Sa’ib bin Yazid, maka kita katakan bahwa Yazid bin Abdullah bin Khushaifah pun punya hubungan kekeluargaan dimana Khushaifah adalah saudara As-Sa’ib, jadi Yazid adalah cucu keponakan dari As-Sa`ib.

Beberapa indikasi bahwa riwayat Yazid lebih kuat daripada riwayat Muhammad bin Yusuf.

Riwayat Muhammad bin Yusuf ini tidak ada pendukungnya selain riwayat ini sendiri. Sedangkan riwayat Yazid bin Abdullah bin Khushaifah didukung beberapa riwayat lain yang meskipun lemah tapi bisa dijadikan penguat, antara lain:

  • Riwayat Yazid bin Abi Ruman sebagaimana dalam Al-Muwaththa’ yang juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam sunannya bahwa shalat qiyam Ramadhan sebanyak 23 rakaat. Riwayat ini shahih sampai kepada Yazid bin Abi Ruman, hanya saja Yazid bin Abi Ruman tidak mendapati masa Umar sehingga riwayat ini munqathi’ (terputus) dan itu berarti dhaif tapi riwayat munqathi’ seperti ini bisa dijadikan penguat riwayat lain atau dikuatkan oleh riwayat lain[8].
  • Riwayat Yahya bin Sa’id Al-Anshari yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya no 7764: Waki’ menceritakan kepada kami, dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id bahwa Umar bin Khaththab menyuruh seseorang mengimami shalat dua puluh rakaat[9].
  • Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dalam mushannafnya no. 7766 dari Abdul Aziz bin Rufai’ bahwa Ubay bin Ka’b melaksanakan shalat dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat di bulan Ramadhan di Madinah. Para perawinya tsiqah dan Abdul Aziz bin Rufai’ tsiqah tapi dia tidak bertemu dengan Ubay, sehingga statusnya terputus, tapi tetap bisa menguatkan riwayat Yazid bin Khushaifah di atas.
  • Riwayat Abu Al-Aliyah dari Ubay bin Ka’b sebagaimana dikeluarkan oleh Dhiya’ Al-Maqdisi dan dia menganggapnya hasan[10]. Di dalamnya disebutkan bahwa Umar memerintahkan Ubay mengimami manusia di bulan Ramadhan lalu dia shalat dua puluh rakaat. Juga disebutkan oleh Al-Bushiri dalam Ithaf Al-Khairah sebagai riwayat Ibnu Mani’ dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubra, tapi saya belum menemukannya dalam Sunan An-Nasa’iy Al-Kubra. Syekh Al-Albani menganggapnya dhaif lantaran dalam sanadnya ada Abu Ja’far Ar-Razi, tapi sebenarnya riwayat Abu Ja’far Ar-Razi ini bisa naik ke derajat hasan, apalagi bila ada yang mendukungnya[11].
Baca Juga:  Rasionalitas Al-Qur'an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah - Bagian Kedua

Demikian empat riwayat yang bisa menjadi pendukung riwayat Yazid bin Khushaifah, ada lagi riwayat Abdurrazzaq dari Al Aslami dari Ibnu Abi Dzubab, tapi Al Aslami ini pendusta jadi tidak bisa dipakai sama sekali, lalu ada pula riwayat Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi sebagaimana yang disinggung dalam kitab Mukhtashar Qiyam Al-Lail, tapi kami belum menemukan sanadnya sampai ke Ibnu Ka’b sehingga tidak bisa memberikan penilaian.

Lain halnya dengan riwayat Muhammad bin Yusuf yang sama sekali tidak ada penguatnya sepanjang pengetahuan kami. Yang ada malah riwayat berlawanan dimana Qais bin Daud malah meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf bahwa pelaksanaan tarawih di masa Umar adalah 21 rakaat.

Para ulama terdahulu tidak ada yang mencacat riwayat Yazid bin Khushaifah bahkan mengakuinya shahih. antara lain:

  • Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Khulashatul Ahkam (1/576), no. 1961: ”Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan isnad yang shahih.”
  • Ibnu Al-Qaththan Al-Fasi dalam Al-Iqna’ fii Masa`il Al-Ijmaa’ 1/256: ”Diriwayatkan dua puluh rakaat dari Ali dan Syittir bin Syakl dan inilah yang shahih dari Ubay bin Ka’b tanpa adanya perbedaan di kalangan para sahabat serta menjadi pendapat jumhur.”
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 23/112: ”Telah tsabit bahwa Ubay bin Ka’b mengimami shalat di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama melihat itulah sunnah karena didirikan di hadapan para muhajirin dan Anshar tapi tidak satupun dari mereka yang mengingkari.”
  • Al-Aini dalam Umdatul Qari juga menyatakan sanad hadits Al-Baihaqi dari Yazid bin Khushaifah ini shahih. (Lihat Umdatul Qari 7/178).
  • Juga Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Tharh At-Tatsrib 3/88.

Tidak ada dari mereka yang mempersoalkan perbedaan riwayat Yazid dengan Muhammad bin Yusuf padahal mereka tahu itu karena mereka juga menukil riwayat Yazid bin Ruman dalam Al-Muwaththa’ dan riwayat itu adanya setelah riwayat Muhammad bin Yusuf.

Anshari Taslim, Lc.


  1. Juz 3/hal 122, terbitan Dar Al-Basya’ir Al-Islamiyyah, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, atau juz 2 hal. 255-256 pada cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut tahun 1971.
  2. Ikmal Al-Kamal, juz 4, hal. 495-497, no. 4726.
  3. Hal. 131, nomor hadits 176.
  4. Al-Kasyif 2/232, no. 5233.
  5. Al-Kasyif 2/385, no. 6326.
  6. Lihat: Al-Jarh wa At-Ta’dil 8/118-119, Tahdzib Al-Kamal 27/50, Taqrib At-Tahdzib 2/101, no. 7227. Tarikh Asma’ Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Syahin, hal. 199, no. 1198. Al-Kasyif oleh Adz-Dzahabi 2/232.
  7. Al-Jarh wa At-Ta’dil 9/274, Tahdzib Al-Kamal 32/172-173, no. 7012, Taqrib At-Tahdzib 2/217, no. 8717, Tarikh Asma’ Ats-Tsiqat oleh Ibnu Syahin hal. 256, no. 1558, Mausu’at Aqwal Ahmad bin Hanbal 4/152. Al-Kasyif oleh Adz-Dzahabi 2/385, no. 6326.
  8. Yazid bin Ruman sendiri tsiqah tabi’in periode kelima atau satu thabaqah dengan Yazid bin Khushaifah dan Muhammad bin Yusuf dan dia juga orang Madinah. Dia bukan murid Yazid bin Khushaifah sehingga bisa dituduhkan bahwa dia mendengar informasi itu dari Yazid, bahkan dia tidak tercatat sebagai murid As-Sa’ib bin Yazid sehingga ada kemungkinan dia mendengar dari sumber lain.
  9. Sanad ini jelas shahih dan Yahya bin Sa’id Al-Anshari tapi dia juga terputus karena Yahya bin Sa’id ini tidak mendapati masa Umar. Dia juga bukan murid Yazid bin Khushaifah dan juga di thabaqah kelima sama dengan Yazid bin Khushaifah. Dia tidak tercatat pernah meriwayatkan dari Yazid bin Khushaifah tapi dia memang murid As-Sa’ib bin Yazid. Ini malah menguatkan riwayat Yazid bin Khushaifah karena bisa jadi dia juga mendengar dari As-Sa’ib. Andaipun tidak berarti statusnya sama dengan riwayat Yazid bin Ruman yang juga bisa menguatkan riwayat Yazid bin Khushaifah.
  10. Al-Ahadits Al-Mukhtarah oleh Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi 3/367, no. 1161.
  11. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa Abu Ja’far Ar-Razi yang bernama asli Isa bin Abdullah bin Mahan ini sebagai orang yang shaduq (sangat jujur) buruk hafalan khususnya bila meriwayatkan dari Mugirah. Tapi di sini dia tidak meriwayatkan dari Mugirá jadi keburukan hafalannya tidak terlalu parah bisa naik ke derajat hasan. Ibnu Adi mengatakan, “Abu Ja’far Ar-Razi ini punya beberapa hadits yang shalih, orang-orang meriwayatkan darinya. Aku harap dia tidak ada masalah.” (Al-Kamil oleh Ibnu Adi 6/449). Dia dianggap tsiqah hanya suka salah kalau meriwayatkan dari Al-Mughirah. oleh Abu Hatim dan Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat. Sementara di riwayat lain Ibnu Ma’in menganggapnya shalih, sedangkan Ahmad bin Hanbal mengatakannya tidak kuat dalam hadits. (Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/280-281). Tapi dalam riwayat Hanbal, Ahmad mengatakannya Shalihul hadits (Lihat Tarikh Bagdad 11/146). Ali bin Al-Madini juga menganggapnya tsiqah, suka salah kalau meriwayatkan dari Mughirah, An-Nasa’iy menganggapnya tidak kuat, Abu Zur’ah mengatakannya suka keliru, Ibnu Sa’d menganggapnya tsiqah. Amr bin Ali menganggapnya punya kelemahan tapi dia sendiri orang yang sangat jujur. Yahya As-Saji menganggapnya shaduq tidak terlalu kuat (dalam hafalan). (Lihat Tahdzib Al-Kamal 33/192-196, no. 7284). Dengan demikian derajat haditsnya adalah lemah yang ringan sehingga kalau ada yang menguatkan bisa jadi haditsnya hasan, apalagi dia dipakai sebagai hujjah oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Adh-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtaaraah, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (lihat hadits nomor 998 dan 1479 dalam shahih Ibnu Khuzaimah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *