Hadits Lemah & Palsu Seputar Puasa Di Bulan Ramadhan

Hadits Lemah & Palsu Seputar Puasa Di Bulan Ramadhan – Bagian 4

  1. Yang Sengaja Tidak Puasa Sehari Maka Wajib Ganti Sebulan

Ad-Daraqtuhni meriwayatkan dalam Sunannya,

2310 – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ , ثنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شَبِيبٍ , ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ بْنِ أَبِي خِدَاشٍ , ثنا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ صُبَيْحٍ , عَنْ عُمَرَ بْنِ أَيُّوبَ الْمَوْصِلِيِّ , عَنْ مُصَادِ بْنِ عُقْبَةَ , عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ , عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ , عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ الْأَنْصَارِيِّ , قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ , يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا عُذْرٍ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا , وَمَنْ أَفْطَرَ يَوْمَيْنِ كَانَ عَلَيْهِ سِتُّونَ , وَمَنْ أَفْطَرَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ كَانَ عَلَيْهِ تِسْعُونَ يَوْمًا»

“Dari Abdul Warits Al-Anshari, dia berkata, Aku mendengar Anas bin Malik RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,

“Siapa yang tak puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa ada rukhshah (keringanan yang ditetapkan syariat) dan udzur maka dia wajib mengganti dengan puasa 30 hari. Siapa yang tidak puasa 2 hari maka dia harus mengganti 60 hari. Siapa yang tidak puasa 3 hari maka dia harus mengganti 90 hari.”

Setelah itu Ad-Daraquthni mengomentari riwayat ini,

وَلَا يُثْبَتُ هَذَا الْإِسْنَادُ وَلَا يَصِحُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ

“Isnad ini tidak tsabit dan tidak shahih dari Amr bin Murrah.”

Selanjutnya dia mengeluarkan riwayat lain:

2311 – حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِيُّ , ثنا أَبُو أُمَيَّةَ الطَّرَسُوسِيُّ , ح وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ , حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ سَالِمٍ أَبُو الْحُسَيْنِ , قَالَا: نا أَبُو نُعَيْمٍ , ثنا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ , عَنْ أَبِي هَاشِمٍ , عَنْ عَبْدِ الْوَارِثِ , عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ»

Dan dia mengomentarinya, “Mindal dhaif.”

Hadits ini statusnya munkar. Sanadnya sangat lemah meski ada beberapa jalur.

Muaranya ada pada Abdul Warits, dan perawi di bawahnya statusnya lebih parah, sehingga biarpun ada beberapa jalur tetap tidak bisa saling menguatkan bahkan teranggap munkar matannya karena bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat bahwa yang sengaja membatalkan puasa di bulan Ramadhan tanpa uzur maka tak bisa diganti dengan puasa setahun penuh pun.

Abdul Warits ini disebutkan biografinya oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal (2/678), menukil bahwa Ad-Daraquthni men-dha’if-kannya, At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Al-Bukhari menganggapnya munkarul hadits dan Ibnu Ma’in menganggapnya majhul.

Juga disebut oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (6/74) dan meriwayatkan dari ayahnya yang memberi predikat “syekh” kepada Abdul Warits ini. Predikat “syekh” kalau diucapkan oleh Abu Hatim maka maksudnya antara jarh dengan ta’dil atau dalam artian bisa ditulis haditsnya tapi tak bisa dijadikan hujjah yang kuat. Apalagi dalam hal ini bersendirian untuk tema tertentu bahkan aneh karena penetapan hukum seperti itu tidak didapati oleh perawi yang lain.

Kemudian, jalur kepada Abdul Warits sendiri semua bermasalah. Seperti pada jalur pertama riwayat Ad-Daraquthni ini ada nama Muhammad bin Shubaih dan Amr bin Ayyub, di mana As-Suyuthi dalam kitab Al-Laali Al-Mashnu’ah (2/90) menukil dari Ad-Daraquthni entah dari kitabnya yang mana, “Umar bin Ayyub tidak bisa dijadikan hujjah dan Muhammad bin Shubaih bukan apa-apa.”

Sementara yang tertulis dalam Sunan Ad-Daraquthni adalah seperti di atas, dia tidak menyinggung kedua nama itu. Sementara Adz-Dzahabi menukil dalam Al Mizan (3/585) dari Ad-Daraquthni tentang Muhammad bin Shubaih yang meriwayatkan dari Umar bin Ayyub al-Maushili: “dhaiful hadits”.

Sedangkan jalur kedua ada nama Mindal yang mana Ad-Daraquthni di sini sudah mengatakannya dhaif.

Ada lagi jalur ketiga yang disebutkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam tarikhnya sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-La’ali’, dengan jalur sanad sampai kepada Qais dari Abu Hasyim, dari Abdul Warits.

Qais di sini adalah Qais bin Rabi’ Al Asadi Abu Muhammad Al-Kufi, biografinya ada dalam Tahdzib Al-Kamal (24/25, no. 4903) salah satu gurunya adalah Abu Hasyim Ar-Rummani dan salah satu perawinya adalah Bakr bin Abdurrahman. Jadi klop dialah orangnya. Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal juga menukil banyak yang men-jarhnya seperti Ibnu Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Lihat juga dalam Mizan Al-I’tidal dia ini kontroversial ada yang mendhaifkan ada pula yang menganggap tsiqah. An-Nasa’iy mengatakannya, matruk, Ad-Daraquthni mengatakannya “dha’if”, Ahmad bin Hanbal mengatakan, sering salah, makanya Adz-Dzahabi menyimpulkan dia orang jujur tapi hafalannya buruk. Rawi seperti ini masuk kategori dha’if. Kemudian, secara matan hadits ini jelas munkar karena hukum fikih seperti ini didapatkan dari Anas bin Malik dari hanya seorang Abdul Warits yang tidak popular apalagi dianggap dhaif. Ibnu Al-Jauzi sampai memasukkannya ke dalam kitab Al-Maudhu’aat dan disetujui oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah.

  1. Yang puasa ketika safar, sama dengan yang berbuka ketika hadhar (ada di rumah)

Ibnu Majah meriwayatkan dalam sunannya,

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِي، حَدّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى التَّيْمِي، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ أَبِيهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
صَائِمُ رَمَضَانَ فِي السَّفَرِ كَالْمُفْطِرِ فِي الْحَضَرِ

“Yang puasa Ramadhan saat safar sama dengan orang yang tidak puasa saat hadhar (ada di rumahnya, tidak safar).”

Kelemahan utama isnad ini adalah keterputusan antara Abu Salamah dengan ayahnya yaitu Abdurrahman bin Auf RA. Hampir semua ulama rijal mengatakan bahwa dia tidak mendengar dari ayahnya sedikitpun. Ini terungkap dalam kitab-kitab khusus tentang kemursalan seperti Ibnu Abi Hatim dalam Al-Marasil, hal. 255, menukil dari Yahya bin Ma’in. Lalu disetujui oleh Al-‘Ala`iy dalam Jami’ Al-Marasil hal. 213, Abu Zur’ah Al-Iraqi dalam Tuhfat At-Tahshil hal. 180.

Jadi, biarpun Ad-Daraquthni dalam Al-Ilal mengatakan yang benar riwayat ini adalah mauquf hanya perkataan Abdurrahman bin ‘Auf maka tetap mengandung kelemahan akibat keterputusan itu tadi. Selain itu isinya juga munkar karena jelas ijma’ para sahabat dan juga telah tsabit hadits bolehnya tetap berpuasa bagi musafir bila dia merasa kuat.

Hadits ini dinyatakan munkar oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 498.

  1. Ramadhan adalah nama Allah.

Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra dan Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kamilnya mengeluarkan riwayat dari Abu Ma’syar, Najih Al-Madani dari Abu Sa’id Al-Maqburi, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,

لَا تَقُولُوا رَمَضَانُ فَإِنَّ رَمَضَانَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ وَلَكِنْ قُولُوا شَهْرُ رَمَضَانَ

“Jangan kalian ucapkan “Ramadhan” karena Ramadhan itu adalah salah satu dari nama Allah. Tapi ucapkanlah, “bulan Ramadhan”.”

Lalu Al-Baihaqi mengatakan, “Demikianlah diriwayatkan oleh Harits bin Abdullah Al-Khazin dari Abu Ma’syar. Abu Ma’syar adalah Najih As-Sindi yang dianggap dhaif oleh Yahya bin Ma’in, Yahya Al-Qaththan tidak mau meriwayatkan darinya, tapi Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan darinya wallahu a’lam.

Ada pula versi lain yaitu dari Abu Ma’syar dari Muhammad bin Ka’b berupa perkataan Muhammad bin Ka’b saja (bukan hadits Rasulullah -penerj) dan inilah yang lebih benar.”

Maksud Al-Baihaqi yang benar ini hanyalah perkataan Muhammad bin Ka’b dan bukan hadits dari Rasulullah.

Hadits ini bisa digolongkan munkar, karena hanya bersumber dari seorang yang dha’if yaitu Abu Ma’syar Najih ini padahal dia mengandung perkara akidah yaitu menyebutkan salah satu nama Allah. Untuk menentukan nama Allah harus menggunakan hadits yang shahih, serta tidak mungkin perkara akidah tersembunyi dari orang-orang yang tsiqah lalu hanya ditemukan dalam jalur yang dha’if.
Bahkan Ibnu Al-Jauzi memasukkan hadits ini ke dalam kitab Al-Maudhu’at.

Bersambung….

Anshari Taslim, 22 Februari 2024
Pimpinan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *