Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami lalu bersabda,
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ:
لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا. وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ، وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا.
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ، إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ.
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Wahai para Muhajirin, ada lima perkara yang aku berlindung kepada Allah jangan sampai kalian mendapatkan kelimanya:
- Tidaklah zina merajalela di suatu kaum sampai mereka melakukannya terang-terangan kecuali akan merebak pula pada mereka wabah tha’un dan berbagai penyakit yang belum pernah ada di masa sebelum mereka.
- Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan ditimpa paceklik, kesulitan hidup dan aniaya penguasa atas diri mereka.
- Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka kecuali mereka juga akan ditahan hujan dari langit. Kalau bukan karena hewan yang berdoa minta hujan maka tidak akan diturunkan hujan.
- Ketika mereka tidak menerapkan perjanjian Allah dan Rasul-Nya maka mereka akan dikuasai musuh dari luar yang akan mengambil sebagian milik mereka.
- Ketika para pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah dan tidak memilih apa yang diturunkan Allah maka akan terjadi peperangan antar sesama mereka sendiri.
— HR. Ibnu Majah, no. 4019
Takhrij:
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya dengan sanad, Mahmud bin Khalid Ad-Dimasyqi menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Abdurrahman Abu Ayyub menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Malik, dari ayahnya, dari ‘Atha` bin Abi Rabah, dari Abdullah bin Umar yang berkata, …..”
Sanad ini ada kelemahan karena Ibnu Abi Malik yang di-jarh oleh beberapa ulama, meski ada juga yang men-ta’dil-nya. Berikut penilaian Al-Bushiri terhadap riwayat ini dalam Mishbah Az-Zujajah:
هَذَا حَدِيث صَالح للْعَمَل بِهِ وَقد اخْتلف فِي ابْن أبي مَالك وَأَبِيهِ فَأَما الْوَلَد فاسمه خَالِد بن يزِيد بن عبد الرَّحْمَن بن أبي مَالك الدِّمَشْقِي فوثقه أَبُو زرْعَة الدِّمَشْقِي وَأَبُو زرْعَة الرَّازِيّ وَأحمد بن صَالح الْمصْرِيّ وَضَعفه أَحْمد وَابْن معِين وَالنَّسَائِيّ وَالدَّارَقُطْنِيّ وَأما أَبوهُ فَهُوَ قَاضِي دمشق وَكَانَ من أشمة التَّابِعين وَثَّقَهُ ابْن معِين وَأَبُو زرْعَة الرَّازِيّ وَابْن حبَان وَالدَّارَقُطْنِيّ واليرقاني وَقَالَ يَعْقُوب بن سُفْيَان فِي حَدِيثهمَا لَيْث يَعْنِي خَالِد وَأَبوهُ
“Hadits ini boleh diamalkan. Ada perbedaan penilaian terhadap Ibnu Abi Malik dan ayahnya. Sang anak bernama Khalid bin Yazid bin Abdurrahman bin Abi Malik Ad-Dimasyqi, dianggap tsiqah oleh Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi dan Abu Zur’ah Ar-Razi, Ahmad bin Shalih Al-Mishri, tapi dianggap dhaif oleh Ibnu Ma’in, An-Nasa`iy dan Ad-Daraquthni.
Sedangkan sang ayah adalah hakim di Damaskus dan merupakan tokoh tabi’in. Dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in, abu Zur’ah Ar-Razi, Ibnu Hibban, Ad-Daraquthni dan Al-Burqani. Sementara Ya’qub bin Sufyan mengatakan dalam hadits mereka (ayah dan anak) ini ada kelemahan.”
Selesai dari Al-Bushiri.
Tapi ada jalur lain tanpa melalui ayah dan anak ini, sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak-nya dengan redaksi lebih panjang dengan sanad,
حدثنا علي بن حمشاد العدل ثنا أبو الجماهر محمد بن عثمان الدمشقي حدثني الهيثم بن حميد أخبرني أبو معبد حفص بن غيلان عن عطاء بن أبي رباح قال : كنت مع عبد الله بن عمر فأتاه فتى يسأله عن إسدال العمامة فقال ابن عمر
“Ali bin Hamasyad Al-‘Adl menceritakan kepada kami, Abu Jamahir Muhammad bin Utsman Ad-Dimasyqi menceritakan kepada kami, Haitsam bin Humaid menceritakan kepadaku, Abu Mu’aid Hafsh bin Ghailan mengabarkan kepadaku, dari ‘Atha` bin Abi Rabah yang berkata, Aku pernah bersama Abdullah bin Umar, lalu datang seorang pemuda bertanya kepadanya tentang menjulurkan surban, maka Ibnu Umar berkata…..”
Di ujung hadits disebutkan redaksi yang sama dengan Ibnu Majah di atas. Al-Hakim mengatakan hadits ini sanadnya shahih, dan Adz-Dzahabi mengatakannya shahih juga dalam ringkasannya terhadap kitab Al-Mustadrak ini.
Sanad Al-Hakim ini semua perawinya bagus. Hanya ada sedikit penilaian terhadap Hafsh bin Ghailan. Al-Hafizh Ibnu Hajar menilainya, “Shaduq, seorang ahli fiqh, tertuduh ada masalah dalam akidah taqdir.” Makanya Syekh Al-Albani menilai sanad Al-Hakim ini hasan dan dengan itu beliau menshahihkan hadits ini dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 106.
Ada jalur lain lagi yang menguatkan Atha’bin Abi Rabah yaitu Atha Al-Khurasani sebagaimana dikeluarkan oleh Ar-Ruyani dalam musnadnya:
نَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، نَا ابْنُ وَهْبٍ , حَدَّثَنِي عُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
“Ahmad bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, Ibnu Wahb menceritakan kepada kami, Utsman bin ‘Atha` menceritakan kepadaku, dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar ……” selanjutnya mirip dengan riwayat Al-Hakim.
Sanad ini lemah karena Utsman bin ‘Atha` dinilai dhaif meski ada pula yang menilai kelemahannya ringan seperti Abu Hatim yang mengatakan haditsnya boleh ditulis meski tak bisa dijadikan hujjah. Maka kesimpulan Al-Hafizh dalam At-Taqrib adalah, “dha’if”. Artinya haditsnya masih bisa dikuatkan bila ada penguat dan ini salah satunya.
Kesimpulannya hadits ini shahih lighairih.
Kandungan Hadits
Kelima point dalam hadits ini jelas terlihat di dunia nyata:
- Merebaknya perzinaan
Ini merupakan fenomena sejak lama bahkan dari jaman dahulu kala. Tapi di era sekularisasi dan makin canggihnya teknologi sekarang ini fenomena zina makin merajalela. Maka ancaman Allah berupa datangnya berbagai macam penyakit telah terbukti. Berbagai virus baru bermunculan yang salah satu penularannya akibat hubungan terlarang.
Kata (الفاحشة) (perbuatan keji) yang ada dalam hadits maupun ayat Al-Qur`an bisa bermakna semua yang mengarah pada perbuatan hubungan kemaluan terlarang. Tidak terbatas pada zina tapi juga mencakup pengantarnya seperti khalwat, pacaran atau juga turunannya seperti homoseks, LGBT dan seterusnya.
Di zaman ini benarlah orang sudah makin berani melakukannya terang-terangan, bahkan pada sebagian turunan fahisyah itu seperti halnya pacaran sudah dianggap biasa dan sebagian keluarga muslim tak tahu kalau itu diharamkan. Orang tua malah sedih kalau anaknya belum punya pacar dan bangga kalau tiap malam minggu anaknya diapeli.
Sungguh orang tua yang seperti ini terkena ancaman dosa dayyuts yang disabdakan Rasulullah saw,
ثَلَاثَةٌ قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ ، وَالدَّيُّوثُ “، الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ
“Tiga orang yang Allah haramkan surga untuknya: pecandu khamer (minuman keras), pendurhaka pada orang tua dan dayyuts yaitu yang membiarkan keluarganya berbuat dosa.” — HR. Ahmad dan An-Nasa`iy
Lebih parah lagi kumpul kebo pun dianggap hak asasi bahkan ada oknum artis yang tak malu memamerkan hubungan luar nikah mereka seperti oknum artis yang bangga memperlihatkan itu bahkan telah punya anak dari hasil hubungan terlarang mereka.
Sungguh itu semua terjadi di negeri ini, padahal Rasulullah telah mengancam,
مَا ظَهْرَ فِي قَوْمٍ الزِّنَى وَالرِّبَا إِلَّا أَحَلُوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ جَلَّا وَعَلَا
“Tidaklah muncul di suatu kaum zina dan riba melainkan artinya mereka telah membiarkan diri mereka tertimpa azab Allah Jalla wa ‘ala.” — HR. Ibnu Hibban
- Curang dalam Berbisnis
Point kedua di hadits ini yaitu mengurangi takaran dan timbangan adalah perwakilan dari kecurangan dalam bisnis. Karena pada masa Al-Qur`an turun Masyarakat jahiliyyah telah biasa melakukan hal ini dan seakan jadi rahasia umum. Sampai-sampai Allah Ta’ala menurunkan satu surah khusus mengancam perilaku ini yaitu pada surah Al-Muthaffifin yang berarti orang-orang yang curang.
Dalam hadits di atas bila curang dalam bisnis telah menjadi fenomena di suatu kaum atau negeri maka hukuman dunia yang akan Allah timpakan adalah paceklik, kesulitan hidup dan aniaya penguasa atas diri mereka. Makanya kita lihat, krisis yang terjadi di semua sektor perekonomian, kezaliman penguasa dengan regulasi yang mencekik dan memberatkan dan lain semisalnya bisa jadi hukuman dari Allah kepada kaum yang tak jujur dalam mu’amalahnya.
Maka untuk menanggulangi masalah ini, semua diri kita harus berusaha untuk tidak mengambil yang bukan haknya. Berbisnis dengan cara yang halal dan itu hanya akan diketahui dengan cara belajar fikih mu’amalah. Jangan sampai bisnis yang kita geluti selama ini diselimuti oleh praktik riba atau judi money game atau gharar yang dilarang dalam agama. Tak ada kata lain kecuali banyak-banyak hadir di majlis taklim, bertanya kepada para guru agama dan membaca buku tentang mana yang halal dan mana yang haram dalam transaksi mu’amalah.
- Tidak Bayar Zakat Harta
Ini termasuk pelanggaran yang banyak dilakukan kaum muslimin saat ini lantaran beberapa factor. Ada yang karena memang tidak peduli dengan ajaran agama, tapi ada pula karena ketidaktahuan dalam menghitung harta dan cara mengeluarkan zakatnya. Yang kedua ini cukup banyak, akibat kurangnya majlis taklim yang sampai membahas bab zakat dalam pengajian.
Meski belakangan negara sudah mengeluarkan beberapa peraturan yang kadang kebablasan dengan memotong gaji para pegawai negeri sebagai zakat, padahal mereka sebenarnya belum wajib zakat.
Artinya, kewajiban membayar zakat bagi wajib zakat masih banyak yang belum ditunaikan karena keteledoran wajib zakat itu sendiri, sehingga itu akan berdampak pada kerasnya alam dengan ditahannya hujan, atau banyak bencana yang terjadi dan itu membuat sulit kehidupan.
Solusinya para da’i dan alim ulama harus lebih gencar menyadarkan Masyarakat akan kewajiban dan tatacara perhitungan zakat maal. Terutama untuk kalangan yang sebenarnya tidak pelit tapi hanya tidak tahu bagaimana cara mengeluarkannya.
- Melanggar Perjanjian Allah dan Rasul
Perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya itu biasanya dibuat antar negara Islam dengan negara kafir, atau antar negara Islam, atau perjanjian kesepakatan yang biasa diadakan sesama kelompok. Bila itu telah dibuat dan tidak ada pasal yang bertentangan dengan syariat, maka dia wajib dipenuhi tak boleh dilanggar. Bila ada yang melanggar sehingga banyak orang yang sukanya melanggar kesepakatan bersama, maka Allah akan menghukum mereka dengan melemahnya mereka sehingga dikuasai oleh penjajah asing yang mengambil kekayaan alam maupun harta mereka.
Ada pula yang menjelaskan maksudnya hukum perjanjian internasional dalam negara Islam, di mana ada Batasan perjanjian damai (hudnah) dan penaklukkan futuh yang harus dilaksanakan para khalifah untuk memperluas kekuasaan negeri Islam. Bila itu tidak dilakukan maka musuhlah yang akan menyerang dan menjajah negeri muslim dan itu telah terbukti di era imperailisme barat sampai masa kini, dengan banyaknya hegemoni kafir terhadap kaum muslimin, akibat tidak memperhatikan lagi bagaimana aturan Islam dalam hubungan antar negara.
- Tidak Menjalankan Hukum Allah
Ini tampak nyata bahkan 90 % negeri muslim tidak lagi melakasanakan hukum syariat dalam hal pidana maupun perdata dan menggantinya dengan hukum buatan penajajah barat. Akibatnya, kejahatan merajalela, tak ada efek jera bagi pelaku criminal, korban tindak kejahatan tak mendapatkan haknya. Hukum inilah yang disebut dalam Al-Qur`an sebagai hukum jahiliyyah atau hukum thaghut.
Bandingkan bila yang berlaku hukum Islam. Keadilan akan tercipta, semua orang puas karena korban kejahatan akan mendapatkan ganti rugi yang sepadan, sementara pelaku mendapat hukuman yang setimpal dan menimbulkan efek jera dalam masyarakat.
Makanya Allah Ta’ala menantang dalam firman-Nya,
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
12 September 2023