Ada beberapa kalangan menganggap shalat umumnya wanita kita tidak sah lantaran pas sujud jidatnya ketutupan mukenanya sendiri yang lebar dan panjang sehingga akan melantai di tempat sujudnya. Benarkah demikian?
Jawabnya benar, hanya menurut madzhab Syafi’i, tapi tidak dalam ketiga madzhab yang lain yang tidak mempermasalahkan itu.
Diskursus masalah ini adalah apakah kening wajib menyentuh lantai atau alas bawah ketika shalat, ataukah boleh saja bila ditutupi oleh penutup kepala seperti kain surban, mukena yang menjulur, ujung kopiah dan lain-lain?
Ini menjadi perbedaan pendapat ulama. Sebagaimana diketahui ada hadits dari Ibnu Abbas RA yang berkata,
أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءٍ وَلَا يَكُفَّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا الْجَبْهَةِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota tubuh dan tidak menggulung baju dan rambut: kening, dua tangan, dua lutut, dan dua kaki.” — HR. Al-Jama’ah, sebagian menggunakan kata tujuh anggota, sebagian lagi tujuh tulang (سبعة أعظم).
Dalam hadits ini jelas bahwa ketika sujud ketujuh anggota tubuh atau persendian ini harus menempel dengan lantai atau tempat sujud baik itu berupa tanah atau lantai langsung maupun dialasi tikar atau sajadah. Ini tidak ada perbedaan pendapat tentang bolehnya.
Kemudian semua sepakat bahwa lutut wajib ditutup bagi wanita, tidak boleh ketika sujud lututnya terbuka untuk disentuhkan langsung dengan lantai, tapi harus ditutup pakaian. Adapun laki-laki, maka berhubung lutut sendiri bukan aurat maka kalau ada yang lututnya terbuka maka shalatnya tetap sah meski kalau sengaja berarti shalatnya tidak beradab. Kemudian mereka juga sepakat kaki boleh ditutup boleh terbuka, misalnya shalat pakai sepatu atau kaos kaki maka itu dibolehkan. Ini maksudnya posisi kaki yang bersentuhan dengan lantai, karena bagi wanita kaki harus tetap tertutup bagian tapaknya dan tak terlihat dari belakang menurut jumhur ulama.
Mengenai telapak tangan maka pendapat yang dipegang (mu’tamad) dalam keempat madzhab bahwa dia boleh terhalang pakaian, artinya shalat pakai sarung tangan baik bagi pria maupun wanita dibolehkan. Memang ada satu wajah (versi pendapat) dalam madzhab Syafi’i bahwa itu tidak boleh sebagaimana kening, tapi ini wajah yang lemah sebagaimana disampaikan An-Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab.
Tinggal lagi kening, itulah yang diperselisihkan apakah wajib terbuka tanpa ditutup pakaian ataukah boleh shalat dengan kondisi tapak tangan dan kening tertutup pakaian atau terhalang langsung dengan lantai. Inilah yang menjadi perbedaan pendapat di atas.
Madzhab Asy-Syafi’i.
Madzhab Syafi’i mewajibkan terbukanya kening ketika sujud agar bisa langsung menyentuh tempat sujud dan tidak terhalang pakaian yang menempel di badan mushalli (orang yang shalat). Konsekuensinya bila dilanggar adalah shalat tidak sah.
An-Nawawi mengatakan dalam kitab Raudhatu Ath-Thalibin (1/256):
وَيَجِبُ أَنْ يَكْشِفَ مِنَ الْجَبْهَةِ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الِاسْمُ، فَيُبَاشِرَ بِهِ مَوْضِعَ السُّجُودِ، وَإِنَّمَا يَحْصُلُ الْكَشْفُ إِذَا لَمْ يَحُلْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَوْضِعِ السُّجُودِ حَائِلٌ مُتَّصِلٌ بِهِ يَرْتَفِعُ بِارْتِفَاعِهِ، فَلَوْ سَجَدَ عَلَى طَرَفِ عِمَامَتِهِ، أَوْ ذَيْلِهِ الْمُتَحَرِّكِ بِحَرَكَتِهِ، لَمْ يَصِحَّ، وَإِنْ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ قِيَامًا وَقُعُودًا، أَجْزَأَهُ.
“Kening wajib terbuka sebatas apa yang dinamakan kening. Dia harus menyentuh tempat sujud. Terbukanya ini hanya akan terhasil bila kening tidak terhalang dengan tempat sujud oleh penghalang yang berhubung dengannya (kening) sehingga ikut terangkat dengan terankatnya kening itu. Kalau dia sujud di atas ujung surban, atau ujung pakaian yang ikut bergerak dengan bergeraknya dia, maka tidak sah. Tapi kalau kain itu tidak bergerak dengan bergeraknya dia maka sah.”
Tapi dikecualikan dari itu kalau ada luka yang menyebabkan keningnya harus diperban maka An-Nawawi melanjutkan bahwa dia boleh sujud dengan kening terhalang perban tersebut, tak perlu membukanya dan tak perlu mengulang shalat lagi bila sudah sembuh.
Diantara dalil yang jadi dasar pertimbangan madzhab Syafi’i dalam hal ini adalah hadits Khabbab bin Arat yang berkata,
“شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- حَرَّ الرَّمْضَاءِ فِي جِبَاهِنَا، وَأَكُفِّنَا فَلَمْ يُشْكِنَا أَيْ: لَمْ يُزِلْ شَكْوَانَا”
“Kami mengeluhkan panasnya batu pasir di kening kami dan tapak tangan kami, tapi beliau tidak menerima keluhan kami.” — HR. Al-Baihaqi dengan redaksi ini dan asalnya ada dalam Shahih Muslim tapi Muslim tidak menyebutkan kening dan tapak tangan1
Maksudnya mereka mengeluhkan kalau sujud maka kening mereka kepanasan akibat batu atau pasir tempat mereka sujud panas. Tentunya ini terjadi di musim panas, tapi meski begitu Rasulullah tetap tidak memberi keringanan dan mereka harus sujud di atas batu yang panas itu.
Uniknya berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan tidak bolehnya kening terhalang dikritik oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir2. Beliau mengatakan hadits ini tidak menunjukkan ke arah itu. Hadits ini menunjukkan mereka minta diundur pelaksanaan shalat ke waktu yang agak adem.
Ar-Rafi’i juga menyebutkan dalil lain, yaitu riwayat bahwa Nabi bersabda:
الْزَقْ جَبْهَتَكَ بِالأَرْضِ
“Tempelkan keningmu di tanah.”
Riwayat ini mungkin adalah riwayat Ibnu Umar sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu al-Mulaqqin dalam Al Badr, yaitu hadits
إِذا سجدت فمكن جبهتك من الأَرْض وَلَا تنقر نقرًا
“Jika kau sujud maka tempelkan keningmu ke tanah dan jangan seperti mematuk.”
Tapi riwayat ini dinyatakan dhaif oleh An-Nawawi dan disetujui oleh Ibnu Mulaqqin maupun Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Hadits lain adalah hadits Rifa’ah bin Rafi’ yang panjang tentang tatacara shalat Nabi mengajar kepada orang yang shalatnya tidak betul (musi`us shalaah), di dalamnya ada kalimat: (فَيُمَكِّنَ وَجْهَهُ وَرُبَّمَا قَالَ جَبْهَتَهُ مِنْ الْأَرْضِ) (hendaknya dia menempelkan wajahnya, atau beliau bilangnya “keningnya” di tanah)3.
Hadits lain adalah mursal Iyadh Al-Qurasyi yang ada dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih sampai kepada Iyadh meski dia mursal. Iyadh berkata,
رَأَى النَّبِيُّ صَلى الله عَليهِ وسَلمَ رَجُلاً يَسْجُدُ عَلَى كَوْرِ الْعِمَامَةِ، فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ أَنِ ارْفَعْ عِمَامَتَكَ فَأَوْمَأَ إِلَى جَبْهَتِهِ.
“Nabi saw melihat seorang laki-laki yang sujud di atas lingkar surbannya maka beliau memberi isyarat untuk mengangkat surban itu dan menunjukkan agar sujud di atas keningnya.”
Hadits ini meski mursal tapi dikuatkan oleh beberapa mursal yang lain
Beberapa atsar dari sahabat Nabi diperoleh perintah untuk menyentuhkan kening dengan tanah dan menggeser surban.
Ibnu Al-Mundzir dalam Al-Awsath meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia berkata,
إِذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَعَلَيْهِ الْعِمَامَةُ، فَإِذَا سَجَدَ فَلْيَرْفَعْهَا عَنْ جَبْهَتِهِ، وَيَسْجُدْ عَلَى الْأَرْضِ
“Jika salah seorang dari kalian shalat dan memakai surban maka hendaknya dia mengangkatnya dari keningnya kalau mau sujud, sehingga dia sujudnya di atas lantai.” (Juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya dengan redaksi (فَلْيَحْسِرَ الْعِمَامَةَ عَنْ جَبْهَتِهِ)
Kemudian Ibnu Al-Mundzir juga menyebutkan atsar bahwa Ubadah bin Shamit menyingkirkan surbannya dari kening kalau shalat, juga Ibnu Umar yang tidak suka sujud di atas di atas lingkar surban.
Hanya saja apa yang dilakukan para sahabat ini bisa jadi bukan karena shalat tidak sah bila terhalang kain surban tapi bisa jadi hanya kurang afdhal. Sebab untuk menentukan apakah itu syarat sah atau bukan harus ada keterangan yang lebih tegas misalnya perintah mengulang shalat atau kecaman keras dan lain sebagainya. Bila hanya sekedar perintah apalagi hanya karena tidak suka maka bisa dibawa ke makna makruh tanpa membatalkan shalat. Wallahu a’lam.
Madzhab Jumhur.
Jumhur (mayoritas) ulama di ketiga madzhab lain tidak mewajibkan terbukanya kening atau mengharuskannya menyentuh tempat sujud secara langsung. Ini hanya sunnah, tapi kalau memang kening tertutup kain maka shalat tetap sah sebagaimana anggota tubuh lain yang tertutup kain tidak menghalangi sahnya shalat.
Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Mughni (2/197, tahqiq At-Turki):
فَصْلٌ : وَلَا تَجِبُ مُبَاشَرَةُ الْمُصَلِّي بِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَعْضَاءِ قَالَ الْقَاضِي : إذَا سَجَدَ عَلَى كُورِ الْعِمَامَةِ أَوْ كُمِّهِ أَوْ ذَيْلِهِ ، فَالصَّلَاةُ صَحِيحَةٌ رِوَايَةً وَاحِدَةً .
وَهَذَا مَذْهَبُ مَالِكٍ ، وَأَبِي حَنِيفَةَ .
وَمِمَّنْ رَخَّصَ فِي السُّجُودِ عَلَى الثَّوْبِ فِي الْحَرِّ وَالْبَرْدِ عَطَاءٌ ، وَطَاوُسٌ ، وَالنَّخَعِيُّ ، وَالشَّعْبِيُّ ، وَالْأَوْزَاعِيُّ ، وَمَالِكٌ ، وَإِسْحَاقُ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ .
وَرَخَّصَ فِي السُّجُودِ عَلَى كُورِ الْعِمَامَةِ الْحَسَنُ ، وَمَكْحُولٌ ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ .
وَسَجَدَ شُرَيْحٌ عَلَى بُرْنُسِهِ
“Pasal: Tidak wajib menyentuh langsung semua anggota tubuh ini. Al-Qadhi berkata, Bila dia sujud dengan lingkar surbannya atau lengan baju atau ujung pakaian maka shalatnya sah.
Ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah.
Diantara yang memberi keringanan bolehnya sujud di atas pakaian pada saat dingin maupun panas adalah Thawus, ‘Atha`, An-Nakha’iy, Asy-Sya’bi, Al-Auza’iy, Malik, Ishaq dan Ash-hab Ar-Ra’yi.
Yang membolehkan sujud di atas lingkar surban adalah Hasan, Makhul dan Abdurrahman bin Yazid. Syuraih juga pernah sujud dengan burnusnya (sejenis kopiah).”
Selesai dari Ibnu Qudamah.
Di kalangan madzhab Hanafi misalnya ada nash dalam Mukhtashar Al-Quduri:
وإن سجد على كور عمامته أو فاضل ثوبه جاز
“Jika dia sujud di atas lingkaran surban atau sisa pakaiannya maka boleh.”4
Kemudian al-Ghunaimi menjelaskan maksud Al-Quduri ini bahwa itu makruh bila tidak ada uzur. Intinya dalam madzhab Hanafi ini hanya makruh, kalau tak ada uzur seperti hawa panas atau dingin.
Al-Kasani dalam Badai
(1/210) mengatakan, “Kalau dia sujud di atas lingkar surban dan merasakan kerasnya tanah maka dibolehkan.” Alasannya kalau dia shalat di atas sajadah yang terpisah dari badannya lalu merasakan kerasnya tanah atau lantai maka itu dibolehkan, berarti kalau di atas pakaian yang bersambung dengan badannya juga dibolehkan. Juga Al-Kasani berdalil dengan riwayat bahwa Rasulullah pernah shalat dengan sujud di atas lingkar surban.
Dalam madzhab Maliki kita peroleh keterangan dari Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Al-Kafi:
ويكره السجود على كور العمامة وإن كانت طاقة أو طاقتين مثل الثياب التي تستر الركب والقدمين فلا بأس
“Dimakruhkan sujud di atas lingkat surban. Kalau surbannya hanya satu atau dua lapis seperti pakaian yang menutup lutut dan dua kaki maka tidak mengapa.”
Ali Abu Hasan Al-Lakhmi mengatakan dalam kitabnya At-Tabshirah (1/302):
فإن سجد على كور العمامة البارز عن جبهته، لم تجزئه صلاته، وإن سجد على ما علا جبهته وكان كثيفًا لم تجزئه، وإن كان شيئًا خفيفًا أجزأته
“Kalau dia sujud dengan lingkar surban yang menghalang kening maka tidak sah shalatnya, begitu pun kalau dia shalat dengan alas yang tebal menghalang keningnya, maka shalatnya tidak sah. Tapi kalau tipis maka sah.”
Di sini terlihat para ulama Malikiyyah membolehkan bila alas penghalang antara kening dengan lantai itu tidak terlalu tebal, artinya masih bisa merasakan kerasnya lantai. Tapi bila sudah terlalu tebal sampai tak lagi merasak lantai maka tidak sah.
Dalil-dalil yang membolehkan adalah beberapa atsar sebagai berikut:
- Hadits Anas bin Malik
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الْأَرْضِ، بَسَطَ ثَوْبَهُ، فَسَجَدَ عَلَيْهِ
“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di panas terik maka jika ada dari kami yang tak mampu menempelkan keningnya ke tanah maka dia menjulurkan dulu pakaiannya lalu sujud di atas itu.” — HR. Muslim
An-Nawawi dalam syarh Shahih Muslim mengakui inilah yang dijadikan dalil bagi jumhur ulama sahnya shalat dengan kening tak menempel langsung ke lantai. An-Nawawi mengatakan,
فِيهِ دَلِيلٌ لِمَنْ أَجَازَ السُّجُودَ عَلَى طَرَفِ ثَوْبِهِ الْمُتَّصِلِ بِهِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالْجُمْهُورُ وَلَمْ يُجَوِّزْهُ الشَّافِعِيُّ وَتَأَوَّلَ هَذَا الْحَدِيثَ وَشَبَهَهُ عَلَى السُّجُودِ عَلَى ثَوْبٍ مُنْفَصِلٍ
“Di dalamnya terdapat dalil bagi yang membolehkan sujud di atas pakaian yang bersambung dengan mushalli. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan jumhur ulama. Tapi Asy-Syafi’i tidak membolehkannya dan dia menakwil hadits ini dan hadits lain yang mirip bahwa itu artinya sujud di pakaian yang terpisah.”
Selesai dari An-Nawawi.5
Apa yang ditakwil oleh Asy-Syafi’i ini ditentang oleh jumhur karena biasanya orang shalat bila memang sejak awal ingin memakai sajadah maka dia akan membentangkannya sebelum shalat, sehingga terpisah dari badannya. Adapun kalau ketika shalat biasanya hendak sujud maka yang dibentangkan adalah apa yang terpakai di badan. Wallahu a’lam.
- Atsar Hasan Al-Bashri, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannafnya:
حَدَّثنا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: إِنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلى الله عَليهِ وسَلمَ يَسْجُدُونَ وَأَيْدِيهِمْ في ثِيَابِهِمْ، وَيَسْجُدُ الرَّجُلُ مِنْهُمْ عَلَى عِمَامَتِهِ.
“Hasan berkata, Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sujud dalam kondisi tangan mereka di dalam pakaian, dan ada juga dari mereka yang sujud di atas surban mereka.”
- Atsar Umar bin Khaththab.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam mushannafnya bahwa Umar pernah shalat di hari Jum’at yang panas, maka dia mengamparkan ujung pakaiannya dan sujud di atasnya, lalu dia berkata,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمُ الْحَرَّ فَلْيَسْجُدْ عَلَى طَرَفِ ثَوْبِهِ
“Wahai manusia, bila salah seorang dari kalian mendapati panas maka hendaklah dia sujud di atas ujung pakaiannya.”
Ujung pakaian berarti pakaian itu bersambung dengan badan mushalli, bukan pakaian yang terpisah dari pakaian mushalli. Karena pakaian orang di masa itu biasanya jubah yang banyak kain selempangan sehingga bisa dihamparkan kalau sujud, bukan seperti gamis yang tak punya kelebihan ujung pakaian.
- Riwayat Ibnu Abbas.
Ibnu Abi Syaibah dan Imam Ahmad dalam musnadnya juga mengeluarkan riwayat Ibnu Abbas melalui jalur Syarik bin Abdullah, dari Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ وَبَرْدَهَا
“Bahwasanya Nabi saw pernah shalat dengan berselempang satu pakaian dan beliau berlindung dari panas atau dinginnya lantai dengan ujung sisa pakaian itu.”
Riwayat ini dhaif karena melalui jalur Syarik bin Abdullah, tapi kelemahannya ringan. Sebagian muhaqqiq seperti Syekh Syuaib Al-Arnauth menganggapnya hasan li ghairih karena banyak penguatnya yang juga sama-sama dhaif.
- Qiyas
Dalil lain adalah qiyas, di mana kening di-qiyaskan dengan anggota sujud lainnya yaitu dua lutut, kaki dan tangan yang telah ada semacam ijma’ semua itu boleh ditutup kain tanpa harus menyentuhkannya dengan lantai. Apalagi dalam hadits Ibnu Abbas anggota sujud yang tujuh itu disebutkan beriringan sehingga hukumnya pun seharusnya sama, kecuali bila ada nash yang membedakan. Berhubung tidak ada nash yang tegas membedakan antara kening dengan anggota tubuh yang lain maka hukumnya harus disamakan. Bila telah disepakati bahwa anggota sujud lainnya boleh dihalangi kain dengan lantai maka begitu pula kening.
Qiyas lain adalah meng-qiyaskan alas muttashil (yang terhubung dengan tubuh mushalli) dalam hal ini adalah pakaian dengan alas munfashil (terpisah) yaitu alas yang tidak ikut tubuh mushalli seperti sejadah, tikar dan lain-lain. Mereka sepakat bahwa kalau alasnya munfashil (terpisah) maka tidak mengapa. Lalu kenapa Asy-Syafi’I mempersoalkan alas yang muttashil padahal sama-sama menghalangi kening dari menyentuh lantai atau tanah?
Dalil qiyas ini dipakai oleh jumhur, yang mengemukakannya antara lain Ibnu Abdi Barr dalam Al Istidzkar jilid 6 hal. 228, dan Al-Quduri dalam kitabnya yang langka yaitu At-Tajrid jilid 2 hal. 538 dan seterusnya. Juga disinggung oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (10/360).
Kesimpulan dan tarjih.
Dari paparan yang panjang ini dapat disimpulkan bahwa shalat dengan mukena terbentang menghalangi dahi atau kening dari sajadah atau lantai sujud tidaklah membatalkan shalat meski itu bisa dikatakan makruh atau setidaknya kurang afdhal. Perbuatan para sahabat dan tabi’in yang menjadikan pakaian mereka sebagai alas kalau panas lalu adanya beberapa sahabat yang tidak menyukai adanya alas untuk kening ketika sujud bisa dikompromikan sebagai larangan makruh semata terutama bila tidak ada keperluan, tapi tidak sampai membuat tidak sahnya shalat.
Qiyas dalam hal ini cukup bermain, karena kalau anggota sujud yang lain boleh dihalangi dengan pakaian maka begitu pula dengan kening, karena mereka disebutkan secara bersamaan (dilalah iqtiran) dan tidak ada nash tegas yang membedakannya.
Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
25 Januari 2023.
- Lihat Al-Badr Al-Munir karya Ibnu Al-Mulaqqin 3/650.
- Jilid 2 hal. 721, terbitan Dar Adhwa` As-Salaf.
- Ini disebutkan oleh An-Nawawi dalam Syarh Al-Muhadzdzab 3/426.
- Al-Lubab syarh Al-Kitab hal. 94 (Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah 2017).
- Syarh Shahih Muslim 5/133, penjelasan hadits nomor 620.