Sering muncul pertanyaan kepada saya, “bolehkah berkurban untuk (atas nama) orang tua atau saudara yang telah meninggal dunia?” Masalah ini memang telah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu kala. Akan tetapi, sebelum masuk pada masalah yang diperselisihkan maka hendaknya kita terlebih dahulu memisahkan mana point yang menjadi kesepakatan para ulama dan mana yang diperselisihkan.
Para ulama sepakat bahwa jika si mayyit (orang yang telah meninggal) berwasiat kepada keluarganya yang masih hidup agar berkurban atas namanya maka itu boleh dilaksanakan khusus atas nama si mayyit tadi. Atau, dia mewakafkan hartanya untuk dikurbankan atas namanya. Demikian pula kalau dia pernah bernadzar untuk kurban tapi wafat sebelum melaksanakan nadzarnya itu maka boleh bagi ahli warisnya untuk melaksanakan nadzar tersebut.[1]
Apabila seseorang berkurban atas nama dirinya lalu menyertakan keluarganya baik yang masih hidup maupun telah meninggal dunia maka menurut pendapat yang membolehkan adanya hadiah pahala kepada mayyit hal ini diperbolehkan, apalagi kalau dari anak ke orang tuanya[2].
Yang jadi perbedaan pendapat adalah orang berkurban hanya atas nama orang yang telah meninggal dunia, baik itu orang tuanya maupun siapapun yang dikehendakinya, keluarga maupun bukan.
Yang jadi bahasan kita kali ini hanya fokus pada point ketiga.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama
Dibolehkan tanpa kemakruhan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali[3]. Pendapat ini jadi pegangan para muhaqqiqin dan ahli tarjih di kalangan mereka seperti Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam Majmu’ Fatawanya (26/306):
وَتَجُوزُ الْأُضْحِيَّةُ عَنْ الْمَيِّتِ كَمَا يَجُوزُ الْحَجُّ عَنْهُ وَالصَّدَقَةُ عَنْهُ وَيُضَحَّى عَنْهُ فِي الْبَيْتِ وَلَا يُذْبَحُ عِنْدَ الْقَبْرِ أُضْحِيَّةً وَلَا غَيْرَهَا
“Dibolehkan kurban atas nama mayyit sebagaimana bolehnya haji dan sedekah atas namanya. Tapi hendaknya menyembelih kurban untuk mayit itu dilakukan di rumah dan jangan di kuburan baik sembelihan kurban atau sembelihan lain.”
Pendapat ini juga didukung oleh Al-Baghawi dan Abu Hasan Al-Abbadi di kalangan Syafi’iyyah. Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah (4/358) mengatakan, (ولو ضحى عن ميت جاز) (kalau dia berkurban atas nama mayyit maka itu boleh). Kemudian dia mendalilinya dengan hadits Ali yang akan disebutkan nanti.
Adapun pendapat Abu Hasan Al-Abbadi dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ syarh Al-Muhadzdzab.
Dalil bagi pendapat ini ada dua, hadits dan qiyas.
Dalil hadits yang paling terkenal adalah hadits Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi, semua bermuara pada Syarik, dari Abu Hasna`, dari Al-Hakam, dari Hanasy yang berkata, Aku melihat Ali berkurban dengan dua ekor domba jantan, maka aku bertanya, “Untuk siapa ini?” Maka Ali menjawab,
أَوْصَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah berwasiat agar aku berkurban atas nama beliau.”[4]
Dalam redaksi At-Tirmidzi, Ali mengucapkan, “Beliau (Rasulullah) memerintahkanku untuk melakukannya maka aku tidak akan meninggalkannya selamanya.”
At-Tirmidzi mengomentari hadits ini, “Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Syarik. Sebagian ulama member keringanan untuk berkurban atas nama mayit, sementara sebagian yang lain tidak membolehkannya.”
Hadits lain yang dijadikan dalil bagi pendapat ini adalah hadits shahih dari Aisyah, Jabir, dan Abu Rafi’ tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berkurban dengan dua ekor kambing, yang satu untuk beliau dan keluarga dan satu lagi untuk ummatnya yang belum berkurban. Sisi pendalilannya adalah diantara ummat beliau tentu ada yang sudah mati dan beliau berkurban atas nama mereka juga.
Dalil qiyas adalah mengqiyaskan kurban dengan sedekah, dimana mereka berpandangan bahwa sedekah atas nama mayyit itu dibolehkan dan pahalanya sampai kepadanya, demikian pula kurban atas namanya meski dia tidak mewasiatkan.
Pendapat kedua
Dibolehkan tapi makruh. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, Khalil bin Ishaq Al-Jundi dalam Mukhtasharnya menyebutkan beberapa hal yang makruh dalam berkurban antara lain melakukannya atas nama mayit, kecuali kalau dia sudah membeli hewan itu sebelum meninggal maka hendaklah ahli waris meneruskannya. Ini sama dengan pendapat madzhab Hanafi. Bedanya madzhab Maliki memakruhkan hal itu karena tidak pernah dicontohkan oleh salaf.
Al-Baji dalam kitab Al-Muntaqa syarh Al-Muwaththa` (3/100) mengatakan
وَقَدْ رَوَى مُحَمَّدٌ عَنْ مَالِكٍ لَا يُعْجِبُنِي أَنْ يُضَحِّيَ الرَّجُلُ عَنْ أَبَوَيْهِ الْمَيِّتَيْنِ
Muhammad meriwayatkan dari Malik, “Tidaklah aku sukai seseorang berkurban atas nama kedua orang tuanya yang telah meninggal”.
Muhammad di sini sepertinya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad Al-Iskandarani yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Mawwaz, karena Khalil bin Ishaq Al-Jundi dalam kitabnya At-Taudhih syarh Mukhtashar Ibnu Al-Hajib (3/89 terbitan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah)[5] mengatakan, “Malik berkata dalam Al-Mawwaziyyah[6],…” lalu dia menukil kalimat senada dengan Al-Baji di atas.
Inilah yang dipegang dalam madzhab Maliki bahwa berkurban atas nama mayit itu adalah makruh kecuali kalau hewannya sudah dibeli, atau diwasiatkan atau ada nadzar dari mayit yang belum terlaksana.
Pendapat ketiga.
Tidak dibolehkan kurban atas nama mayit bahkan tidak sah. Demikian pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata dalam Minhaj At-Thalibin (hal. 321),
ولا يضحي مكاتب بلا إذن ولا تضحية عن الغير بغير إذنه ولا عن ميت إن لم يوص بها.
“Dan tidak boleh seorang mukatab[7] berkurban tanpa izin, juga tidak boleh berkurban atas nama orang lain tanpa izinnya, juga tidak boleh atas nama mayyit kalau dia tidak mewasiatkan untuk itu.”
Lalu Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj (8/144) menjelaskannya bahwa itu tidak sah dan tidak berlaku yaitu kurban atas nama mayyit yang tidak mewasiatkan atau telah menentukan hewan sebelum meninggal dunia. Demikian pula ditegaskan hal yang sama oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj (9/368).
Dalil mereka secara umum adalah bahwa semacam ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah dan salaf. Juga berdasarkan bahwa itu adalah ibadah yang tak boleh dilaksanakan oleh orang lain kecuali seizin yang bersangkutan.
Adapun hadits Ali, maka itu andaikan shahih maka justru menjadi dalil bagi madzhab Asy-Syafi’i karena itu adalah wasiat dari Rasulullah dan itu cocok dengan pendapat Asy-Syafi’i.
Saran
Demikianlah pemaparan pendapat para ulama. Saya belum berani menarjih dalam masalah ini, sehingga ada baiknya melakukan sesuatu yang lebih solutif yang terbebas dari kontroversi.
Caranya adalah berkurban tetap atas nama kita, tapi dalam niat kita sertakan si mayyit yang ingin kita ikutkan pahalanya dari kurban tersebut.
Atau bersedekah seharga hewan kurban itu untuk mayyit lebih baik daripada berkurban atas namanya secara tersendiri. Wallahu a’lam bish shawab.
Anshari Taslim
1 Dzulhijjah 1439 H.
[1] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 5/106.
[2] Lihat Ahkam Al-Udhhiyyah oleh Al-Utsaimin, hal. 17.
[3] Lihat Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/106, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh 4/2744.
Sementara kalau kita baca kitab-kitab madzhab Hanafi seperti BadaI’ Ash-Shana
I’ 5/72, Tabyin Al-Haqaiq syarh Kanz Ad-Daqa
iq (6/8), Al-Bahr Ar-Raiq syarh Kanz Ad-Daqa
iq (8/202), Al-Binayah syarh Al-Hidayah (12/49-50), semua menceritakan tentang kasus ada tujuh orang yang patungan kurban lalu sebelum tiba hari penyembelihan salah satu dari mereka meninggal dunia tanpa wasiat apa-apa. Maka menurut pendapat pegangan madzhab ahli warisnya berhak mengizinkan untuk melanjutkan pemotongan kurban itu atas nama yang telah mati tadi. Sementara salah satu riwayat dari Abu Yusuf bahwa hal itu tidak dibolehkan.
Sedangkan madzhab Hanbali memang secara tegas menyatakan kebolehan kurban atas nama mayit meski dia tidak berwasiat atau memerintahkannya. Misalnya bisa dilihat dengan tegas dalam Al-Iqna’ karya Al-Hijawi dan syarhnya Kasysyaf Al-Qina’ oleh Al-Buhuti (3/21), bahkan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha syarh Ghayatul Muntaha (2/472) disebutkan,
( و ) التضحية ( عن ميت أفضل منها عن حي ) لعجزه واحتياجه للثواب ( ويعمل بها ) أي : الأضحية عن ميت ( ك ) أضحية ( عن حي ) من أكل وصدقة وهدية
“Kurban atas nama mayit lebih afdhal daripada kurban atas nama orang yang masih hidup, karena mayit itu lebih membutuhkan pahala. Kurban atas nama mayit diperlakukan sama dengan kurban atas nama yang masih hidup dari sisi kebolehan memakannya, menyedekahkannya atau menghadiahkannya.”
Ibnu Muflih dalam kitab Al-Furu’ (3/406) juga menukil dari gurunya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa kurban atas nama si mayit lebih utama daripada bersedekah atas namanya.
[4] Sunan Abi Daud, no. 2790, At-Tirmidzi, no. 1495, Musnad Ahmad, no. 843 dan Abdullah bin Ahmad dalam tambahannya terhadap musnad ayahnya di hadits nomor 1286.
[5] Sedangkan dalam terbitan Dar Ibnu Hazm terdapat di jilid 2 hal. 692.
[6] Al-Mawwaziyyah adalah salah satu kitab pegangan dalam madzhab Maliki yang ditulis oleh Ibnu Al-Mawwaz, makanya dinamakan Al-Mawwaziyyah.
[7] Mukatab artinya budak yang terikat perjanjian dengan tuannya akan membebaskan diri dengan mencicil pembayaran dirinya.