(Rasional Murni Atau Syari’at Murni Ataukah Perpaduan Antara Rasio dan Syari’at Sekaligus?)
By. H. Idrus Abidin Lc, MA.
Salah satu fakta unik dan sisi keunggulan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seputar kejelasan dan kepastian metodologi mereka dalam hal baik buruk rasional ala Wahyu adalah kemampuan mereka memadukan syari’at dan rasio sekaligus; sebagai mana sikap mereka pada semua bidang kajian yang ditunjukkan sebelumnya via status kami di FB ini.
Dalam masalah baik buruk ini setidaknya terdapat 3 persfektif :
- Baik buruk murni via rasio. Pendapat ini didukung oleh Muktazilah dan Maturidiyah (Ahlu Sunnah);
- Baik buruk murni via syari’at. Pendapat ini milik kalangan Asy’ariyah (Ahlu Sunnah);
- Baik buruk via syari’at dan rasio sekaligus. Inilah subtansi pendapat kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah yang kami anggap paling moderat, proporsional dan profesional.
Agar masalah ini mudah, Ahlu Sunnah Atsariyah (Hanabilah) membuat kategori terperinci agar masalah ini tidak liar. Karena walau bagaimanapun, baik buruk termasuk istilah umum yang perlu rincian agar kita tidak salah menyikapinya. Dan, ini adalah sikap resmi Ahlu Sunnah Atsariyah pada semua lafaz-lafazh global (mujmal) yang digunakan dalam masalah akidah; terutama lafazh seperti sifat (ardh), fisik (jism), batasan (hudud), tempat (tahayyuz) dll, yang banyak digunakan ahlul kalam. Namun, masalah ini nanti dibahas belakangan saja.
Pada permasalahan kali ini, baik buruk sebaiknya dilihat dulu dari 3 aspek (rincian) :
- Kesesuaian atau ketidakcocokannya dengan tabiat;
- Kesempurnaan dan kekurangan. Artinya, kebaikan adalah indikator kesempurnaan seperti pengetahuan. Sedang keburukan merupakan indikasi kekurangan/kelemahan, seperti kebodohan. Kebaikan dan keburukan berdasarkan kedua aspek ini jelas sangat rasional. Artinya, rasio bisa mandiri dalam memahami dan mengetahui; tanpa tergantung pada syariat;
- Pujian dan pahala serta celaan dan dosa. Baik buruk versi ini menjadi inti perdebatan di kalangan ahli kalam.
Di sini, Ahlu Sunnah Atsariyah menegaskan pendapatnya berupa :
A. Baik buruk merupakan sifat melekat pada setiap perbuatan. Sifat baik buruk perbuatan ini bisa dikenal via rasio atau melalui fitrah suci atau via syari’at. Rasio dan fitrah menyatakan persfektif baik buruknya; sedang syari’at tidak akan menyalahi persfektif itu. Syari’at pun menegaskan persfektif baik buruknya. Semua perintah syari’at pasti baik; yang dianggap buruk pun pasti jelek. Dengan demikian, baik fitrah, rasio maupun syari’at menjadi jalur untuk mengenal baik buruk.
B. Pengetahuan fitrah dan rasio seputar baik buruk bisa diketahui hikmahnya. Sedang baik buruk versi syari’ah; terkadang tidak diketahui hikmah dan alasannya oleh rasio kerdil kita. Yang jelas, baik buruk versi syari’at tentu punya hikmah dan alasan yang diketahui Allah. Kewajiban kita adalah menerima sepenuhnya persfektif syari’at tersebut disertai sikap patuh dan taat. Dialah Allah yang maha tahu, maha bijak. Ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak membiarkan diriNya zhalim atau mencegah keadilan. Dialah yang maha sempurna kebijakanNya.
C. Baik buruk via fitrah dan rasio tidak berkonotasi pujian atau celaan; apalagi pahala atau dosa sebelum rasul diutus. Karena dalil syariat memastikan pujian dan celaan; pahala dan dosa setelah hujjah ditegakkan via nabi dan kitab suci. Jadi, pujian dan celaan serta pahala dan dosa merupakan konsekwensi logis dan murni di bawah otoritas penuh syari’at.
Pendapat ini diselisihi oleh:
- Muktazilah.
Inti utama pendapat Muktazilah, bahwa rasio menganggap baik atau buruk suatu perbuatan secara mandiri; tanpa tergantung pada syariat. Sikap ini mewujudkan kontradiksi berupa :
A. Akal menjadi standar utama; bukan syari’at. Memang inilah metode Muktazilah dlm semua permasalahan teologis. Syari’at bagi Muktazilah hanya sekedar ekplorasi terhadap rasionalitas mereka;
B. Mewajibkan Allah melakukan perbuatan-perbuatan paling maslahat. Yaitu kebaikan versi rasio Muktazilah dan keburukan versi akal mereka;
C. Rasio bertindak sendiri memuji dan memberi pahala. Ia juga bertindak langsung dalam mencela dan memberi dosa atau hukuman;
D. Allah diserupakan dengan makhluk dengan cara; seperti pernyataan mereka sendiri, yang baik menurut rasio makhluk pasti baik pula di sisi Allah. Yang buruk di rasio mereka, tentu buruk pula padaNya. Padahal, berdasarkan kesempurnaan hikmahNya, tidak ada keburukan di sisiNya sedikit pun. Keburukan diadakan Allah bukan karena zatnya; tapi karena sebuah hikmah berupa ujian dan hikmah lain di sisiNya.
- Asy’ariyah.
Inti pandangannya, baik buruk murni otoritas Syariah. Sikap ini menghasilkan beberapa konsekwensi buruk seperti :
A. Menyelisihi rasio murni dan fitrah suci dengan menganggap baik buruknya perbuatan sama saja di mata mereka. Zhalim dan keji tak dibedakan dengan sikap Adil dan Ihsan. Bahkan, mereka berpandangan, bisa saja Allah memerintahkan kesyirikan. Atau bisa jadi Allah melarang tauhid. Padahal, sangat jelas syari’at sesuai dan searah dengan fitrah suci dan rasio murni. Tidak mungkin ada sesuatu yang melekat pada fitrah dan rasio yang bisa membatalkan syar’iat. Akal dengan sendirinya memahami baiknya ibadah kepada Allah dan keburukan syirik;
B. Mereka menegasikan adanya hikmah dan alasan di balik perbuatan Allah. Mereka mengatakan, Allah menyuruh dan melarang tanpa adanya hikmah dan alasan/sebab. Dia tidak menciptakan sesuatu karena pertimbangan hikmah. Tapi kehendakNya sendiri yang membuat segalanya terjadi. Mereka tidak menegaskan kecuali kehendak dan iradah Allah. Padahal, itu sangat diketahui kebatilannya via Qur’an dan Sunnah serta konsensus kalangan generasi awal ummat ini. Belum lagi juga menyelisihi rasio murni. Di banyak tempat, Allah menyatakan hikmahNya di banyak ayat, demikian pula Dia menyatakan diriNya bebas dari kekejian. Allah menegaskan pantanganNya menyamakan kebaikan dan keburukan;
C. Mereka berargumen dengan tidak adanya azab sebelum diutusnya rasul sebagai bukti tidakadanya baik buruk secara rasional; sekaligus melegalisasi kesamaan baik buruknya perbuatan. Padahal, menegaskan keberadaan baik buruk rasional tidak otomatis menganggap pahala dan dosa terjadi. Karena terjadinya pahala dan dosa merupakan kebijakan dan ketetapan syari’at secara penuh.
Catatan 1:
Jalan Tengah Ahlu Sunnah Atsariyah.
Dengan sikap proporsional Ahlu Sunnah di atas, mereka bebas dari kerancuan dua kelompok teologis tadi. Mereka menegaskan hikmah dan alasan tertentu yang Allah tegaskan sendiri di setiap perintahNya. Ahlu Sunnah juga memahasucikan Allah dari memerintahkan keburukan dan kejelekan karena kesempurnaan hikmah, ilmu dan keadilanNya. Maka mereka dengan tegas mengatakan, tidak mungkin syari’at membawa ajaran yang menyelisihi fitrah suci dan nalar murni. Betul, terkadang syari’at membawa ajaran yang membuat akal bingung memahami dan mengetahuinya. Maka, mereka pun mengakui adanya baik buruk secara rasional. Hanya saja, hal itu tidak dianggap pemutus dalam hal tepuji atau tercelanya sesuatu. Atau, pahala dan dosa; karena itu murni keputusan syari’at. Rasio sama sekali tidak memiliki wewenang itu.
Dalam menegaskan persfektif ini, Ahlu Sunnah Atsariyah memiliki beberapa prinsip dasar:
- Mereka menegaskan adanya hikmah dan alasan di balik perbuatan dan hukum Allah. Jadinya, semua perintah dan larangan mengandung maslahat bagi ummat manusia;
- Semua perbuataNya bagus dan baik. Tidak ada burukNya sedikit pun. Jadi, perbuatan Allah berbeda secara diametral dengan perbuatan-perbuatan manusia;
- Mereka menetapkan sifat-sifat untuk Allah sesuai yang ditetapkan sendiri oleh Allah dan rasulNya terhadap diriNya sendiri. Di sana tidak ada perubahan (tahrif), tanpa eliminasi kandungan makna (tha’thil), tanpa mempertanyakan wujudNya (takyiiif), juga tanpa unsur penyerupaan dengan makhlukNya (tamtsil/tasybih);
- Mereka tidak mewajibkan apapun terhadap Allah seperti sikap Muktazilah. Tetapi mewajibkan apa yang Allah wajibkan sendiri terhadap diriNya; sebagai wujud kasih sayang, karunia dan hadiah terindah terhadap seluruh makhluk;
- Mereka mengatakan bahwa Allah tidak akan mengazab siapa pun sebelum Dia menegakkan hujjah berupa paket kitab suci dan rasul.
- Bahwa syar’iat datang demi menegaskan kebaikan yang dimiliki fitrah dan rasio; termasuk menganggap baik sesuatu dan sekaligus mengarahkannya. Dan, menganggap buruk suatu hal dan mencegahnya sekaligus. Maka jelas, syari’at dan rasio murni tidak mungkin kontradiktif;
- Rasio tidak memiliki akses terhadap penetapan hukum-hukum syari’at. Juga tidak memiliki peran dalam mengaitkan perbuatan dengan status terpuji atau tercela di dunia ini. Demikian pula, rasio tidak punya hak dalam penetapan pahala dan pemutusan dosa serta sanksi tertentu di akhirat kelak. Itu semua harus lewat persfektif dan otoritas Wahyu.
Catatan 2:
Masalah lain yang timbul di sini adalah pertanyaan seputar apakah berterima kasih kepada Allah via rasio atau syari’at?
Dengan jelas Muktazilah menyatakan wajib via rasio. Sedang Asy’ariyah cenderung pada sikap bahwa itu harus via syari’at; rasio tidak berhak sama sekali. Ahlu Sunnah menyatakan, berterimakasih kepada Allah wajib via syari’at, dengan rasio dan fitrah sekaligus.
Catatan 3:
Masalah baik buruk versi rasio ini seharusnya diperjelas secara detail, karena lafaz ini terhitung global (mujmal) yang seharusnya tidak disebut secara bebas (mutlak) tanpa perincian. Caranya :
- Jika yang dimaksud dengan baik buruk versi rasio adalah penetapan pahala dan dosa; tentu tidak boleh.
- Tapi jika maksudnya adalah bahwa akal mengetahui baiknya kebaikan dan buruknya kejelekan; tentu jawabannya pasti yes.
Semoga rincian ini yang dimaksud pihak-pihak yang meyakininya secara mutlak; tanpa upaya merinci atau membatasi pemaknaan.
Catatan 4:
Pada permasalahan ini, terkadang Ahlu Sunnah Atsariyah dan Asyaairah disamakan secara total. Ataupun Ahlu Sunnah Atsariyah dianggap mirip dengan Muktazilah. Tapi dengan rincian penjelasan tadi; in syaa Allah sidang pembaca bisa mengerti sisi perbedaan Ahlu Sunnah Atsariyah dan Muktazilah; pun antara Ahlu Sunnah Asy’ariyah dengan Ahlu Sunnah Atsariyah. ????
Catatan 5:
Apakah perintah dan larangan Allah berlaku sebelum turunnya syari’at?
Muktazilah, ia. Cukup dengan akal. Asy’ariyah, tidak. Nunggu syari’at. Ahlu Sunnah, ikut syari’at. Sebelum syari’at datang, hanya baik buruk versi rasio atau terpuji tercela menurut akal. Pahala dan dosa itu setelah syari’at turun.
Semoga penjelasan singkat ini menjadi modal dasar bagiku memahami Allah dan rasulNya dengan prinsip sami’naa wa atha’naa. Sehingga upaya dan semangat mendekat padaNya mendapat taufik dan inayahNya. Allahu waliyut Taufiq. Wallahu yatawallas shalihin. Aamiin.
Makkah, 15 November 2019.
Referensi Rujukan:
- Ma’alim Ushul Fiqih Inda Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Karya, Dr. Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jizani. Hal. 337-340.
- Al-Qadha Wa al-Qadhar Fi Dha’uil Kitab Wa Sunnah Wamazahibun Nas Fihi. Karya, Dr. Abdul Rahman Shaleh al-Mahmud, hal. 248-257.