Suatu siang di sebuah prapatan jalan yang padat di kawasan Jakarta.
Deretan mikrolet ngetem mengular menunggu penumpang. Padahal di situ terpampang jelas tanda larangan berhenti, sementara tak jauh dari situ beberapa polisi tengah berdiri. Tapi para sopir itu tak peduli. Mereka dengan santainya berhenti sambil menunggu mobilnya terisi cukup. Celakanya mereka ngetem tak cuma berderet tapi juga berjajar, sehingga memakan dua pertiga jalur jalan. Akibatnya, kemacetan panjang pun tak terhindarkan lantaran mobil yang akan masuk terhalang antrean mikrolet.
Di tempat lain, di kawasan terminal Kampung Melayu Jakarta Timur situasi serupa, bahkan lebih parah, juga terjadi. Jajaran mikrolet ngetem di tengah jalan, sehingga menghalangi mobil dari arah Otista yang menuju Matraman. Sementara di sisi kiri deretan Metromini ngetem berderet, menggganggu mobil yang mau belok ke arah Tebet. Belum lagi deretan antrean bajaj dan oje. Pendek kata ruwet.
Tapi situasi ekstrem sebaliknya terjadi suatu pagi menjelang siang di Jalan Diponegoro depan RSCM Jakarta. Bak di area sirkuit, dua buah metromini saling balap dan saling salip berebut penumpang. Teriakan sejumlah penumpang perempuan yang ketakutan tak menghentikan nafsu jalanan sang sopir. Balapan baru terhenti ketika salah satunya terhalang traffic light yang menyala merah. Itupun disertai derit rem yang ditekan mendadak. Para penumpang terdorong ke depan dan beberapa diantara mereka ada yang dada/kepalanya membentur kursi di depannya. Seorang penumpang laki-laki yang marah bangkit berjalan menghampiri sopir dan berkata, ” Kamu kira nyawa kita barang mainan. Brengsek! ”seraya tangannya melayang ke pipi sopir. Merasa salah, sopir itu tidak melawan bahkan berkata memelas,”Ampun pak, ampun.” Cerita berhenti saat semua penumpang turun lantaran kesal dengan kelakuan sopir itu.
Pada kasus lain, tak sedikit penumpang yang terjatuh karena bus segera tancap gas padahal kaki penumpang yang hendak turun itu belum sempurna menjejak tanah. Atau kaki penumpang terantuk keras saat hendak naik bus lantaran ditarik kasar oleh kondektur. Apalagi kalau bukan karena takut disalip oleh bus lain yang ada di belakangnya. Fenomena di atas kerap kita temui saat menumpang kendaraan umum, khususnya bus kota dan angkot. Ngetem semaunya, ugal-ugalan, pakaian dekil, tutur kata kasar dan berbagai perilaku buruk lain. Tentu saja tidak semua sopir begitu. Banyak juga yang sopan dan disiplin dalam berkendara. Namun wajah umum angkutan umum kita memang coreng moreng.
Boleh jadi hal itu menjelaskan mengapa banyak kehidupan keluarga para sopir angkutan umum yang babak belur. Meski bukan termasuk berpenghasilan tinggi, sesungguhnya pendapatan para sopir terhitung lumayan dibandingkan dengan penghasilan profesi lain yang selevel dan sejenis itu, yang tidak membutuhkan pendidikan, gelar atau ketrampilan khusus. Dengan penghasilannya itu, sesungguhnya mereka bisa menafkahi keluarga secara sederhana dan membiayai pendidikan anak. Meski tidak bisa dibilang berlebih, setidaknya relatif cukup untuk hidup layak secara sederhana.
Jika pada kenyataannya banyak kehidupan para sopir yang megap-megap atau pendidikan anak-anaknya kurang terurus, boleh jadi akibat perilaku para sopir itu. Mereka lupa ngetem sembarangan sehingga mengganggu jalan orang lain adalah tindak kezaliman. Begitu juga ugal-ugalan di jalan sehingga membahayakan nyawa penumpang atau pengguna jalan lain atau menaikkan dan menurunkan penumpang secara kasar. Sedangkan kezaliman itu membawa pelakunya pada kesengsaraan dan jauh dari keberkahan. Ditambah lagi kerapnya mereka mengabaikan shalat, lengkap sudah faktor-faktor yang membuat mereka jauh dari kesejahteraan dan keberkahan.
Pengakuan mantan kernet bus kota yang kini beralih jadi sopir mobil boks pembawa barang patut direnungkan. Saat di bus kota beberapa tahun lalu, ia mengaku pendapatannya 150.000,-perhari. Padahal harga beras kelas medium masih Rp 5000/kg, telur 12.000/kg dan harga daging sekitar 50.000/kg. “Tapi saya gak bisa sholat dan hawanya panas terus, sehingga uang itu seperti tak berbekas,” tuturnya.
Saya juga punya kenalan seorang sopir bus antarkota yang hidupnya layak dan bahagia. Ia yang semula laki-laki begajulan dan mengisi hari-harinya dengan mabuk dan judi, berubah sikap setelah mendapatkan istri yang shalihah. Ia tak lagi ugal-ugalan di jalan dan tidak pernah meninggalkan shalat. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Solo, 10 menit menjelang datang waktu Subuh ia sengaja menghentikan busnya di halaman sebuah masjid agar bisa shalat subuh berjamaah. Sepanjang pengalaman penulis naik bus umum Jakarta Solo, Yogya atau Semarang, ini pengalaman pertama bus sengaja berhenti di masjid untuk shalat subuh.
Dua contoh diatas cukup menjelaskan betapa erat keterkaitan kezaliman dengan kenestapaan. Kezaliman membawa pada kesengsaraan, sebaliknya kebaikan dan keadilan mendekatkan pada keberkahan dan kebahagiaan. Semakin masif dan terstruktur kezaliman itu, akan semakin luas dan masif pula kerusakan yang ditimbulkannya. Allah SWT menegaskan tidak akan pernah menimpakan musibah dan menghancurkan suatu kaum sepanjang mereka selalu berbuat kebaikan (QS Huud: 117). Jika Allah menimpakan musibah atau menghancurkan suatu kaum pasti lantaran mereka suka berbuat kezaliman (QS Al Qashash:59).
M. Zainal Muttaqin