Khulu’ artinya pengajuan pisah dari pihak istri kepada suaminya.
Ada beberapa hadits yang senada dengan ini meski dengan redaksi yang sedikit berbeda.
- Hadits Abu Hurairah.
Rasulullah saw bersabda,
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Wanita yang meminta khulu’ dan lepas dari suami merekalah munafik.”
Diriwayatkan dari jalur Hasan Al-Bashri, lalu darinyalah terjadi perbedaan antara yang mursal dengan yang maushul.
Yang meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri ada
Abu Al-Asyhab Ja’far bin Hayyan, Ayyub As-Sikhtiyani, Humaid, Qatadah dan Yunus bin Abi Ubaid. Dalam Riwayat Ayyub dan salah satu Riwayat Yunus disebutkan ada Abu Hurairah, sementara lainnya meriwayatkan secara mursal.
Berikut pernyataan Ad-Daraquthni dalam Al-‘Ilal:
س 2002 – وسُئِل عَن حَدِيثِ الحَسَنِ ، عَن أَبِي هُرَيرة ، قال رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلم : المُختَلِعاتُ والمُنتَزِعاتُ هُنّ المُنافِقاتُ.
فَقال : يَروِيهِ يُونُسُ بن عُبَيدٍ ، وأَيُّوبُ ، عَنِ الحَسَنِ ، عَن أَبِي هُرَيرةَ.
وَرَواهُ وُهَيبُ بن خالِدٍ عَنهُما ، فَرَواهُ مُعَلَّى بن أَسَدٍ وأَبُو هِشامٍ المُغِيرَةُ بن سَلَمَة المَخزُومِيُّ ، وعَبد الأَعلَى بن حَمّادٍ ، وعَباسُ بن الوَلِيدِ ، عَن وُهَيبٍ ، عَن أَيُّوب ، عَنِ الحَسَنِ ، عَن أَبِي هُرَيرةَ. وَرَواهُ عَفّانُ ، عَن وُهَيبٍ ، عَن أَيُّوب ، عَنِ الحَسَنِ ، عَن أَبِي هُرَيرة ، وقِيل ذَلِك – أَيضًا – عَن عَباسٍ النَّرسِيِّ ، عَن وُهَيبٍ.
ورَواهُ حَمّاد بن سَلَمَة ، عَن قَتادَة وحُمَيدٍ ويُونُس ، عَنِ الحَسَنِ مُرسَلاً.
وَكَذَلِك رَواهُ سَعِيدٌ ، عَن قَتادَة ، عَنِ الحَسَنِ مُرسَلاً.
وَرَواهُ أَبُو الأَشهَبِ جَعفَرُ بن حِبانٍ وحَزمُ بن القَطَعِيِّ ، عَنِ الحَسَنِ مُرسَلاً ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلم.
“Dia (Ad-Daraquthni) dittanya tentang hadits Hasan, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Wanita yang minta khulu’ dan melepaskan diri adalah para munafik.”
Dia menjawab, Ini diriwayatkan oleh Yunus bin Ubaid, Ayyub dari Hasan dari Abu Hurairah. Ini semua diriwayatkan oleh Wuhaib dari mereka berdua (Yunus dan Ayyub). Beberapa orang yang meriwayatkan begitu dari Wuhaib adalah Mu’alla bin Asad, Abu Hisyam Mughirah bin Salamah Al-Makhzumi, Abdul A’la bin Hammad, dan Abbas bin Walid semua meriwayatkan dari Wuhaib, dari Ayyub, dari Hasan dengan menyebut Abu Hurairah. Adapula yang mengatakan dari Abbas An-Narsi dari Wuhaib.
Sementara Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Qatadah, Humaid dan Yunus dari Hasan secara mursal (tanpa menyebut Abu Hurairah).
Juga ada Riwayat Abu Asyhab Ja’far bin Hibab dan Hazm bin Qatha’iy dari Hasan secara mursal.
Selesai Ad-Daraquthni.
Lalu manakah yang lebih kuat? Apakah yang mursal ataukah yang maushul? Ad-Daraqtuhni sendiri sepertinya belum bisa memastikan karena menurutnya kedua jalurnya sama-sama kuat. Kalau sudah begitu maka dua-duanya benar, artinya sesekali Hasan Al-Bashri meriwayatkan secara mursal sesekali secara maushul dari Abu Hurairah.
Tinggal lagi kalaupun riwayatnya benar maushul dari Abu Hurairah maka point terkritiknya adalah para ulama hadits menganggap Hasan Al-Bashri tidak mendengar hadits dari Abu Hurairah. Kalaupun ada, maka hadits ini tidak termasuk di antara yang didengar langsung Hasan dari Abu Hurairah. An-Nasa`iy Ketika mengeluarkan hadits ini dalam sunannya Al-Mujtaba mengatakan,
قَالَ الْحَسَنُ: ” لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ غَيْرِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ: «الْحَسَنُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ شَيْئًا»
“Hasan mengatakan, “Aku tidak mendengarnya dari selain Abu Hurairah.” An-Nasa`iy mengomentari: “Hasan tidak mendengar apapun dari Abu Hurairah.”
Demikian yang ada dalam Sunan An-Nasa`iy yang tercetak, di mana Hasan Al-Bashri mengatakan, (لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ غَيْرِ أَبِي هُرَيْرَةَ) (Aku tidak mendengarnya selain dari Abu Hurairah).
Sementara dalam As-Sunan Al-Kubra tahqiq Al-Arnauth yang merupakan asal dari kitab Al-Mujtaba (As-Sunan As-Shughra) kalimat dari Hasan Al Bashrinya berbunyi: (لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ أَحَدٍ غَيْرَ أَبِي هُرَيْرَةَ) (Aku tidak mendengarnya dari siapapun selain Abu Hurairah).
Sementara Ibnu Hazm yang juga meriwayatkan dari jalur An-Nasa`iy menyebut: (قال الحسن: لم أسمعه من أبي هريرة) (Hasan mengatakan aku tidak mendengarnya dari Abu Hurairah). Lalu Ibnu Hazm mengomentari, “Dengan perkataan Hasan ini maka gugurlah kita beristidlal dengan khabar ini.”1
Artinya Riwayat versi Ibnu Hazm bahwa Hasan Al Bashri mengaku tidak mendengar hadits ini dari Abu Hurairah sehingga terhukum munqathi’ dan itu berarti lemah tak bisa dijadikan hujjah.
Lalu Mughlathay mengatakan, (وفي بعض نسخ النسائي: قال الحسن لم أسمعه من أبي هريرة) (Di beberapa manuskrip Sunan An-Nasa`iy tulisannya: Hasan mengatakan aku tidak mendengarnya dari Abu Hurairah).2
Jelas dua kalimat di atas bertolak belakang. Karena kalau berdasarkan versi tercetak Sunan An-Nasa’iy berarti Hasan mengaku mendengar hadits itu dari Abu Hurairah, sementara kalau dri Riwayat Ibnu Hazm dan versi yang disebut Maghluthay maka Hasan tidak mendengarnya dari Abu Hurairah. Lalu An-Nasa’iy menyimpulkan pendapatnya bahwa Hasan Al-Bashri tidak mendengar satu haditspun dari Abu Hurairah.
Pendapat An-Nasa`iy ini selaras dengan para ulama mutaqaddimin seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Ali bin Al-Madini bahwa Hasan Al-Bashri tidak mendengar hadits dari Abu Hurairah sehingga semua riwayatnya dari Abu Hurairah adalah munqathi’.
Imam Ahmad berkata,
حَدَّثَنَا عَفَّان، قَاَلَ: حَدَّثَنَا حَمَّاد بن سَلَمَة، عن على بن زيد، قَاَلَ: لم يَسْمَع الحَسَن، من أبي هَرَيْرَة
“Affan menceritakan kepada kami, dia berkata, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami, dari Ali bin Zaid yang berkata, “Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah.”
Lalu beliau melanjutkan:
حَدَّثَنَا عَفَّان قَاَلَ: حَدَّثَنَا وهَيْب قَاَلَ: قَاَلَ أَيُّوب: لم يَسْمَع الحَسَن من أَبِي هَرَيْرَة
“Affan menceritakan kepada kami, dia berkata, Wuhaib menceritakan kepada kami, Ayyub berkata, “Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah.”3
Dalam kitab Al-Marasil Ibnu Abi Hatim meriwayatkan:
101 – أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاق فِيمَا كَتَبَ إِلَيَّ نَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ قُلْتُ لِيَحْيَى بْنِ مَعِينٍ الْحَسَنُ لَقِيَ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَا وَلَمْ يَلْقَ أَبَا هُرَيْرَةَ
“Ya’qub bin Ishaq mengabarkan kepada kami, berdasarkan apa yang dia tulis kepadaku, Utsman bin Sa’id menceritakan kepada kami, dia berkata, “Aku bertanya kepada Yahya bin Ma’in, apakah Hasan bertemu dengan Ibnu Abbas?”
Dia menjawab, “Tidak, dan dia juga tidak bertemu dengan Abu Hurairah.”
Kemudian Ibnu Abi Hatim melanjutkan dengan menyebutkan beberapa Riwayat bahwa Hasan tidak mendengar hadits dari Abu Hurairah secara langsung, dan itulah pendapat ayahnya dan Abu Zur’ah.4
Tapi di kalangan muta’aakhikhirin ada yang berusaha mengkritik ini, di mana mereka menyimpulkan Hasan Al Bashri mendengar beberapa hadits dari Abu Hurairah termasuk hadits di atas berpedoman pada apa yang termaktub dalam Sunan An-Nasa’aiy itu yakni pengakuan Hasan bahwa dia mendengarnya dari Abu Hurairah. Mereka antara lain, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari, Maghluthay dalam Ikmal Tahdzib Al-Kamal, Syekh Ahmad Syakir dalam catatan kaki Musnad Ahmad, Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah.
Lalu ada doctor Ibrahim Al-Lahim dalam bukunya Al-Ittishal wa Al-Inqitha’ hal. 88-93 berusaha menjawab pendapat para muta`akhkhirin ini bahwa yang rajih adalah Hasan Al-Bashri tidak mendengar langsung dari Abu Hurairah.
Dengan demikian menurut pendapat yang kami pilih yaitu pendapat para ulama mutaqaddimin bahwa hadits Hasan Al-Bashri ke Abu Hurairah adalah munqathi’.
Riwayat Penguat
Ada beberapa riwayat lain selain dari Abu Hurairah yang senada tentang wanita penggugat cerai.
a. Riwayat Uqbah bin ‘Amir RA:
Dalam al-Mu‘jam al-Kabīr karya ath-Thabarani, tahqiq Hamdi (jilid 17, halaman 339):
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abd al-‘Aziz, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim bin ‘Ali, telah menceritakan kepada kami Qais bin ar-Rabi‘, dari Asy‘ats bin Sawwār, dari al-Hasan, dari Tsābit bin Yazīd, dari ‘Uqbah bin ‘Āmir, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إن المختلعات، والمنتزعات هن المنافقات.
“Sesungguhnya para wanita yang meminta khulu‘ dan wanita-wanita yang meminta perceraian tanpa alasan, mereka adalah orang-orang munafik.”
Sanad ini keliru, di dalamnya terdapat para perawi yang lemah. Yang benar adalah riwayat pertama yang diriwayatkan al-Hasan dari Abu Hurairah.
Asy’ats bin Suwwar Al-Kindi dinilai dhaif oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, An-Nasa`iy, Ibnu Hibban dan Ad-Daraquthni, penilaian terhadapnya disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan jilid 1, hal. 263, no. 996.
Qais bin Rabi’ juga disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (3/393), banyak pula yang melemahkannya seperti Imam Ahmad, An-Nasa`iy dan Ad-Daraquthni bahkan Ibnu Ma’in dalam satu riwayatnya.
Dan ‘Abd ar-Razzaq dalam al-Mushannaf (tahqiq al-Ta’shil as-Tsāniyah, jilid 6, halaman 508) meriwayatkan dari ats-Tsauri, dari al-Asy‘ats, ia memarfu‘kan kepada Nabi ﷺ, beliau bersabda:
المختلعات، والمنتزعات، هن المنافقات
“Wanita-wanita yang meminta khulu‘, dan wanita-wanita yang meminta perceraian tanpa alasan, mereka adalah orang-orang munafik.”
b. Riwayat Abu Idris dari Tsauban:
Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam sunannya:
1186 – حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُزَاحِمُ بْنُ ذَوَّادِ بْنِ عُلْبَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي الخَطَّابِ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُخْتَلِعَاتُ هُنَّ المُنَافِقَاتُ»: «هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ، وَلَيْسَ إِسْنَادُهُ بِالقَوِيِّ»
“Dari Tsauban, dari Nabi saw yang bersabda, “Wanita yang menuntut khulu’ adalah munafik.”
Dalam sanadnya ada Laits bin Abi Sulaim dan dia terkenal kelemahannya dalam Riwayat hadits makanya di sini At-Tirmidzi mengatakan sanadnya tidak kuat.
c. Riwayat Abu Asma` dari Tsauban RA.
Tapi ada satu hadits dari Tsauban yang shahih tapi dengan kalimat redaksi sedikit berbeda:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ»
“Wanita mana saja yang meminta suaminya menceraikannya TANPA ADA ALASAN YANG DIBENARKAN maka haram baginya mencium bau surga.”
Ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 22379, Abu Daud, no. 2226, At-Tirmidzi, no. 1187, Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 4184, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2809.
Semua dari jalur Ayyub As-Sikhtiyani, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma` Ar-Rahbi dari Tsauban. Jalur ini cukup terkenal untuk hadits Tsauban dan dia jelas shahih, kecuali kadang ada yang memarfu’ ada yang memauquf, contohnya hadits ini.
Tapi di sini yang marfu’ dan maushul shahih, karena banyak yang meriwayatkan dari jalur Ayyub maupun Abu Asma` secara muttashil dan marfu’. Sehingga hadits ini shahih sanadnya.
d. Riwayat Abdullah bin Mas’ud RA.
Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Hilyat al-Awliyā’, cetakan as-Sa‘ādah (jilid 8, hlm. 375–376):
Telah menceritakan kepada kami Abu al-‘Abbās Ahmad bin Muhammad bin ‘Īsā ar-Rabī‘ī, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hārūn al-Hadramī — yaitu Abu Ḥāmid al-Ba‘rānī.
Dan diriwayatkan pula oleh al-Khaṭīb dalam Tārīkh Bagdād, tahqiq Basyar (jilid 4, hlm. 570):
Telah mengabarkan kepadaku al-Ḥasan bin Muhammad al-Khallāl, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami ‘Alī bin al-Ḥasan al-Qāḍī, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hārūn bin ‘Abdillah — yakni Abu Ḥāmid — telah menceritakan kepada kami al-Ḥusain bin ‘Alī bin al-Aswad al-‘Ajlī, telah menceritakan kepada kami Fulaīḥ [dan dalam riwayat al-Khaṭīb: Waki‘ sebagai ganti Fulaīḥ], telah menceritakan kepada kami Sufyān ats-Tsaurī, dari al-A‘mash, dari Abī Wā’il, dari ‘Abdullah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
المختلعات والمتبرجات هن المنافقات.
“Para wanita yang meminta khulu‘ dan para wanita yang bertabarruj adalah para munafikah (wanita munafik).”
Abu Nu‘aim al-Ashbahani berkata:
“Gharib dari hadis al-A‘masy dan ats-Tsaurī, hanya diriwayatkan oleh Waki‘ secara tunggal.”
Maksudnya, hadis ini tidak sahih.
Ad-Dāraquthnī berkata: “Tidak ada yang meriwayatkannya selain Abu Ḥāmid.”
Porosnya ada pada Husain bin Ali Al-Ijli. Disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, jilid 1 hal. 543, no. 2028.
Ibn ‘Adī berkata: “Ia mencuri hadis.”
Al-Azdi mengatakan dhaif jiddan (sangat lemah).
Abu Ḥātim ar-Rāzī berkata: “Ṣadūq.”
Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats-Tsiqaat.
(Lihat al-Kāmil karya Ibn ‘Adī, cet. al-‘Ilmiyyah, jilid 3, hlm. 245–247, dan al-Jarḥ wa at-Ta‘dīl karya Ibn Abī Ḥātim, jilid 3, hlm. 56.)
Kesimpulan:
Riwayat yang shahih adalah riwayat Tsauban yang dari Abu Asma’ Ar-Rahbi dengan redaksi yang cukup jelas yaitu untuk Wanita yang minta cerai tanpa alasan. Kalimatnya adalah tidak mencium bau surga dan bukan gelar munafik. Sehingga kalimat dengan gelar munafik adalah dhaif, sementara kalimat “tidak mencium bau surga” adalah shahih. Wallahu a’lam.
Lalu alasan apa saja bagi Wanita yang dibenarkan untuk menuntu cerai? Insya Allah akan dibahas dalam tulisan lain.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta
- Al-Muhalla jilid 11 hal. 586.
- Ikmal Tahdzib Al-Kamal jilid 4 hal. 87 terbitan Faruq Haditsiyyah tahqiq Adil bin Muhammad dan Usamah bin Ibrahim, juga dalam cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq Muhammad Utsman jilid 2 hal. 284.
- Al-Ilal wa Ma’rifati Ar-Rijaal tahqiq Washiyyullah Abbas terbitan Dar As-Salafiyyah Bombay India, tahun 1988 M. hal. 180-181. Juga ada dalam Mausu’at Aqwaal Imam Ahmad bin Hanbal fii Rijaal Al-Hadits wa ‘Ilalih yang disusun oleh Sayyid Abu Al-Ma’athi An-Nuuri dkk, jilid 1 hal. 251.
- Al-Marasil, terbitan Ar-Risalah hal. 34 dan seterusnya.


