Pasukan Maréchaussée te Voet -atau lebih dikenal dengan nama: “Marsosé”- adalah pasukan para militer bayaran yang dibentuk pada masa Kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger / Tentara Kolonial Kerajaan Belanda) tanggal 26 May 1890 sebagai tanggapan taktis (counter-insurgency) terhadap perlawanan gerilya Mujahiddîn Atjeh. Pasukan ini tidak ada ikatan / kaitannya dengan korps Koninklijk Maréchaussée di negeri Belanda.
Adalah Henri Karel Frederik van Teijn (Gubernur Militer Atjeh), dan Kepala Staff-nya Joannes Benedictus van Heutsz serta pembantunya Hendrikus Colijn (yang kemudian menjadi Perdana Menteri Belanda) yang akhirnya berhasil menaklukkan sebagian besar dari wilayah Atjeh dengan mengikuti saran dari Dr Christiaan Snouck Hurgronje, yaitu antara lain dengan bersekutu dengan para Uleebalang yang sekuler dan para ‘ulamâ’ yang mau diajak bekerja-sama (seperti: Oesman bin Jahja di Batavia yang mengeluarkan fatwa melarang rakyat untuk melawan Kolonial Belanda) untuk mengisolasi kaum perlawanan dengan basis mereka di daerah pedalaman. Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan strategi perang counter-insurgency baru untuk melawan Mujahiddîn Atjeh, yaitu dengan mengerahkan unit-unit bersenjata ringan Marsosé -disebut bersenjata ringan karena menggunakan karaben (senapan berlaras pendek) dan kelewang sehingga memudahkan pergerakannya di pedalaman / hutan- dan menggunakan cara-cara keji “Scorched Earth” (bumi hangus).
Menariknya, pasukan Marsosé ini adalah terdiri dari etnis campuran, di mana 20% anggotanya adalah kulit putih, 60% adalah dari etnis Jawa-Madura, 9% dari etnis Ambon, 5% Sunda, dan sisanya etnis Melayu, Bali, dan Bugis. Ide pembentukan korps Marsosé ini berasal dari seorang kolaborator penjajah keturunan etnis Minang bernama Mohammad Sjarif yang mengusulkan kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Van Teijn.
Selanjutnya Van Heutsz menugaskan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen untuk memimpin gerombolan Marsosé. Kelakuan gerombolan Marsosé ini sangat-sangat brutal dan sadis di mana mereka melakukannya dengan cara sistematis dan terstruktur. Mereka membumihanguskan begitu banyak desa di Atjeh, membunuhi ribuan orang, di antaranya terbukti membunuh 1.150 perempuan dan anak-anak. Total korban di sisi rakyat Atjeh adalah sekitar 50.000 s/d 60.000 tewas dan hampir satu juta orang terluka. Kerusakan yang terjadi masyarakat di Atjeh itu menyebabkan lebih dari 10.000 orang mengungsi ke Malaysia.
Kesuksesan Van Heutsz dan gerombolan Marsosé-nya di Atjeh menyebabkan ia dianggap sebagai “pahlawan” di negeri Belanda, dan taktiknya menggunakan Marsosé kemudian digunakan untuk menaklukkan negeri-negeri yang masih merdeka di daerah lain seperti: Batak, Bali, Maluku, Borneo, dan Celebes antara tahun 1901 s/d 1920.
Para sejarawan baik dari dalam maupun luar negeri, mencatat bahwa Marsosé ini adalah pasukan bayaran yang sangat efektif dan sangat berdarah dingin lagi keji. Walau kebanyakan dari mereka adalah etnis pribumi -hanya pimpinannya saja yang kulit putih- namun karena pelatihan khusus yang mereka terima, mereka yang sangat mengenal musuh mereka yaitu sesama pribumi itu tidak segan-segan untuk membunuh saudara mereka sendiri. Pasukan berbaju ungu ini dikenal sangat beringas kelakuannya terhadap sesama pribumi, namun kalau kepada kaum kulit putih, kaum Kolonial Belanda, mereka menjilat… sedangkan kalau kepada Taipan / Cukong / Bohir, mereka ini bersahabat dan ramah sekali…
Demikian kisah dari Zaman Old tentang gerombolan bayaran berbaju ungu bentukan Kolonial Belanda yang sangat beringas lagi berdarah dingin yang bernama Marsosé
Kita berdo’a:
بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“bismillâhilladzî lâ yadhurru ma‘âsmihi syay-un fîl-ardhi wa lâ fîs-samâ-i wahuwas-samî-‘ul-‘alîm”
“Dengan menyebut nama Allôh yang dengan sebab nama-Nya tidak ada sesuatu apapun di Bumi maupun di Langit yang dapat membahayakan, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”