𝐋𝐚𝐰𝐫𝐞𝐧𝐜𝐞 𝐨𝐟 𝐀𝐫𝐚𝐛𝐢𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐒𝐚𝐮̏𝐝𝐢𝐲𝐲 𝐀𝐧𝐭𝐞𝐤 𝐈𝐧𝐠𝐠𝐫𝐢𝐬 𝐌𝐞𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐎𝐭𝐭𝐨𝐦𝐚𝐧?

Lawrence of Arabia Menjadikan Saudiyy Antek Inggris Melawan Ottoman?

Banyak orang yang keliru dalam memahami sejarah lalu mendakwa bahwa “TE Lawrence telah menjadikan Àbdul-Àzīz ibn Saȕd (pemimpin Negara Saȕdiyy III) sebagai antek Inggris dalam melawan Ottoman (Ḳilāfah Ùṭmāniyyah)”.

Pertanyaannya benarkah demikian?

Jikalau cermat membaca sejarah Perang Dunia (PD) I (1914-1918), adalah fakta bahwa Inggris berusaha untuk melemahkan Ḳilāfah Ùṭmāniyyah1 (Ottoman) karena Ottoman berpihak kepada Jerman, bahkan Ottoman menjadi salah satu anggota dari Central Powers (lawan dari Allied Powers yang Inggris menjadi anggotanya). Strategi Inggris adalah dengan mendukung pemberontakan orang-orang Àrab terhadap Ottoman.

Adalah Ḥusain ibn Àliyy al-Hāṡimiyy2, Ṡarif kota Makkah, melancarkan Revolusi Àrab (1916–1918) dan mengumumkan kemerdekaan dari Ottoman dengan mendapat dukungan persenjataan & finansial dari Inggris & Prancis yang dapat diketahui dari penuturan TE Lawrence (Lawrence of Arabia) dan McMahon–Hussein Correspondence3 (1915-1916). Setelah berhasil mengalahkan & mengusir Ottoman dari Ḥijāz, Ḥusain ibn Àliyy lantas memproklamirkan dirinya adalah “Raja Àrab” (1916), bahkan kemudian menyatakan dirinya sebagai “Ḳolīfah kaum Muslimīn” (1924). Namun yang terakhir ini ditentang oleh Inggris & Prancis, dan pastinya oleh Àbdul-Àzīz ibn Saȕd, pemimpin Negara Saudi III.

Dari catatan pribadi TE Lawrence diketahui pula bahwa dirinya tak pernah secara langsung membantu Banī Saȕdiyyah, namun sebaliknya ia justru mendukung Ḥusain ibn Àliyy al-Hāṡimiyy dan putra-putranya, terkhusus Faiṣol ibn Ḥusain (Faisal I dari Iraq), dalam memimpin Revolusi Àrab melawan Ottoman.

Adapun yang jelas dibantu oleh TE Lawrence adalah:

  1. Ḥusain ibn Àliyy dari Makkah (pemimpin Banī al-Hāṡimiyyah, penguasa Ḥijāz, yang memproklamirkan diri sebagai “Raja Arab” dan kemudian “Ḳolīfah kaum Muslimīn”).
  2. Faiṣol ibn Ḥusain (putra Ḥusain ibn Àliyy, yang kemudian menjadi Raja Faisal I di Iraq).
  3. Àbdullōh ibn Ḥusain (putra Ḥusain ibn Àliyy, yang kemudian menjadi Raja Abdullah I di Yordania).
  4. Suku-suku Àrab Badui di wilayah Ḥijāz dan di Sūriyā.

TE Lawrence diketahui sangat dekat dengan Faiṣol ibn Ḥusain, sedangkan Faiṣol ibn Ḥusain ini adalah yang menandatangani perjanjian dengan wakil gerakan Yahūdiyy Zionist, Chaim Weizmann, yang dikenal sebagai Faisal–Weizmann Agreement4 (1919) – walau perjanjian ini ditentang oleh Ḥusain ibn Àliyy (karena ia menentang Mandatory Palestine).

Namun Inggris diam-diam juga mengeluarkan Balfour Declaration5 (1917) yang mendukung “tanah air Yahūdiyy” bagi kaum Yahūdiyy Zionist di Palestina karena mengharapkan dukungan dari tokoh-tokoh Yahūdiyy, terutama dari para usahawan Yahūdiyy Zionist yang sangat berpengaruh di Inggris dan Amrik.

Setelah PD I, Inggris & Prancis malah membagi-bagi tanah bangsa Àrab berdasarkan Sykes–Picot Agreement6 (1916), yang secara nyata justru mengkhianati harapan bangsa Àrab untuk memperoleh kemerdekaan penuh. Faiṣōl setelah menyadari kebodohannya yaitu ternyata Inggris takkan memberikan kemerdekaan penuh bagi Àrab, maka ia pun berbalik menolak perjanjian tersebut ketika Inggris & Prancis hendak menguasai tanah Àrab, termasuk juga Palestina. Hanya saja “nasi sudah menjadi bubur” dan kaum Yahūdiyy Zionist tetap menggunakan perjanjian yang ia tandatangani tersebut untuk mengklaim adanya dukungan bangsa Àrab bagi “tanah air Yahūdiyy” di Palestina.

Baca Juga:  Meluruskan Persepsi Tentang Kejadian di Tanah Sam (Bagian 3)

Adalah strategi imperialis Inggris untuk menyeimbangkan kekuatan (baca: devide et impera) dengan di satu sisi mendukung secara finansial dan senjata Revolusi Àrab-nya Ḥusain ibn Àliyy melawan Ottoman. Sementara di sisi lain Inggris juga mendukung Banī Saȕdiyyah dengan memberikan bantuan finansial kepada Àbdul-Àzīz ibn Saȕd dalam pertikaiannya melawan Banī ar-Roṡīdiyyah7 (sekutu dari Ottoman di Najd).

Sebaliknya, Inggris tak melibatkan TE Lawrence dengan Àbdul-Àzīz ibn Saȕd, dan Àbdul-Àzīz ibn Saȕd pun huga sama sekali tak terlibat dengan Revolusi Àrab-nya Ḥusain ibn Àliyy. TE Lawrence tercatat hanya 1x saja bertemu dengan Àbdul-Àzīz ibn Saȕd (1918) dan itu pun interaksi antara keduanya sangatlah terbatas. Bahkan TE Lawrence di dalam catatan pribadinya menyatakan dirinya sangat tak mempercayai Àbdul-Àzīz ibn Saȕd dikarenakan ideologi Wahhābiyy-nya. TE Lawrence juga menyatakan bahwa ia lebih suka bekerja sama dengan Banī al-Hāṡimiyyah.

Akibat Ḥusain ibn Àliyy menyatakan dirinya adalah “Raja Àrab” dan kemudian “Ḳolīfah kaum Muslimīn”, maka Àbdul-Àzīz ibn Saȕd dengan dibantu milisi Iḳhwān man Aṭōà-Allōh (Ikhwan) memerangi Ḥusain ibn Àliyy – paska mengalahkan Banī ar-Roṡīdiyyah (1921) – pun memeranginya dan berhasil merebut kota Makkah (1924) lalu kota Madīnah & Jeddah (1925). Àbdul-Àzīz ibn Saȕd pun memplokamirkan Àrab Saȕdiyyah.

Jadi Banī Saȕdiyyah tak pernah berperang secara langsung melawan Ottoman di masa 1916-1925, akan tetapi melawan sekutu mereka, yaitu: Banī ar-Roṡīdiyyah (yang menguasai sebagian wilayah Ḥijāz). Baru kemudian kemudian mereka melawan Banī al-Hāṡimiyyah yang sebelumnya mengusir Ottoman dari Ḥijāz.

Setelah PD I, Inggris mengalihkan dukungan mereka lebih kepada Banī Saȕdiyyah, dengan alasan yang pragmatis saja, yaitu:

  1. Àbdul-Àzīz ibn Saȕd lebih kuat karena berhasil mengalahkan Banī al-Hāṡimiyyah dan menguasai keseluruhan wilayah Ḥijāz.
  2. Àbdul-Àzīz ibn Saȕd tak mengambil sikap terhadap masalah “Mandatory Palestine”.

Begitu cerita singkatnya.

Adapun kisah Lawrence of Arabia itu diglorifikasi oleh filem buatan Hollywood, kemudian dibumbui pula dengan berbagai kisah palsu oleh oknum-oknum pembenci Wahhābiyy, sehingga akhirnya menjadi dongeng bahwa Lawrence of Arabia lah yang menyebabkan huru-hara besar di Timur Tengah, sedangkan kaum Wahhābiyy adalah antek Inggris yang mengusir Ottoman dan Banī al-Hāṡimiyyah dari Ḥijāz.

Demikian, semoga bermanfaat.

Catatan:

  1. Ottoman menjadi Ḳilāfah selepas Sultan Selim I mengalahkan Sultan al-Mutawakkil III dari Sulṭōnat al-Mamalik, Mesir (1517).
  2. Ḥusain ibn Àliyy al-Haṡīmiyyah adalah keturunan al-Ḥasan ibn Àliyy رضي اللـه تعالى عنهما, dan moyang ke-4 di atas raja dari Yordania sekarang, Abdullah II.
  3. Surat-menyurat antara Henry McMahon (Komisaris Tinggi Inggris di Mesir) dengan Ḥusain ibn Àliyy (Ṡarif Makkah) antara tahun 1915-1916, yang isinya Inggris berjanji apabila orang-orang Àrab memberontak terhadap Ottoman selama PD I, maka Inggris menyetujui untuk mengakui Negara Àrab yang merdeka (yang meliputi wilayah Àrab Saȕdiyy, Yordania, Iraq, Sūriyā, dan Palestina – dengan pengecualian tertentu) setelah PD I berakhir.
  4. Faisal-Weizmann Agreement itu menyepakati 3 hal, yaitu:
  • Orang Àrab dan Yahūdiyy akan bekerja sama dalam mengembangkan Palestina.
  • Faiṣōl ibn Ḥusain akan menerima imigrasi kaum Yahūdiyy ke Palestina selama kemerdekaan Àrab diberikan secara penuh oleh Inggris.
  • Kaum Zionist akan membantu memodernisasi Dunia Àrab dengan sumber daya & keahlian mereka.
  1. Deklarasi yang dikeluarkan oleh Arthur Balfour (MenLu Inggris) ini ditujukan kepada Nathan Rothschild (tokoh bisnis & politik serta pemimpin gerakan Zionist yang sangat berpengaruh Inggris) ini menyatakan bahwa Inggris mendukung pembentukan “tanah air Yahūdiyy” di Palestina, dan bahwa hak-hak komunitas non-Yahūdiyy yang ada (Palestina) tidak boleh dirugikan. Deklarasi tersebut sengaja dibuat samar-samar dan tidak mendefinisikan batas-batas atau tata kelola “tanah air nasional” itu juga dimaksudkan untuk memperkuat pengaruh Inggris di Timur Tengah (khususnya di Palestina) serta untuk melawan potensi pengaruh Prancis dan Jerman atas para pemimpin Zionist. Deklarasi ini jelas mengkhianati McMahon–Hussein Correspondence.
  2. Ditandatangani oleh Mark Sykes (Inggris) dan François Georges-Picot (Prancis) dan juga dikonsultasikan dengan Russia karena mereka mendapatkan wilayah timur Anatolia ini membagi-bagi tanah bangsa Àrab bekas wilayah Ottoman untuk Inggris (Iraq, Yordania, and Palestina) dan Prancis (Sūriyā, Lebanon, and sebagia selatan Türkiye). Palestina ditempatkan di bawah administrasi internastion (belakangan di bawah kuasa Inggris). Sedangkan Russia mendapatkan bagian timur Anatolia & Armenia – namun kehilangan klaim atas wilayah tersebut setelah Revolusi Komunis Bolshevik (1917).
  3. Banī ar-Roṡīdiyyah adalah penguasa Imārot Jabal Ṡammar (1836–1921) di wilayah bagian utara Àrab Saȕdiyy.
Baca Juga:  Pahlawan Yang Tak Keluar Dari Aleppo

📖 Rujukan:

  • Seven Pillars of Wisdom – TE Lawrence (1926)
  • The Birth of Saudi Arabia: Britain & the Rise of the House of Sa’ud – Gary Troeller (1976)
  • A Peace to End All Peace – David Fromkin (1989)
  • Faisal I of Iraq – Ali A Allawi (2014)
  • The Last Ottoman Generation & the Making of the Modern Middle East – Michael Provence (2017)

M Arsyad Syahrial SE, MF
Pengamat Ekonomi dan Pergerakan Islam
Alumni RMIT University, Melbourne, Australia

Bagikan Artikel:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *