Setelah MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa keḥarōman sound horeg, kini giliran MUI Jawa Tengah mengeluarkan fatwa keḥarōman peternakan babi.
Fatwa terhadap sound horeg dikeluarkan karena dampak destruktifnya: mulai dari kerusakan pada fisik manusia (bahkan ada emak-emak yang sampai meninggal), kerusakan harta benda akibat tekanan suara tinggi (SPL), hingga kerusakan àqal karena warga merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial demi memberi jalan bagi truk pembawa sound system horeg tersebut.
Sementara itu, peternakan babi difatwakan ḥarōm karena dua alasan utama:
- Babi memang ḥarōm, bahkan di dalam semua agama Abrahamaik (termasuk juga Naṣrōniyy, meskipun larangan itu kemudian dihilangkan oleh Saulus al-Tarsus).
- Babi itu jorok.
Kejorokan ini bukan asumsi, tapi fakta ìlmiyyah. Di Malaysia, pernah terjadi insiden virus Nipah (NiV) pada tahun 1999 yang bermula dari peternakan babi. Virus ini awalnya berasal dari kelelawar, lalu berpindah ke babi — dan akhirnya menginfeksi manusia. Bagaimana kok bisa? Ternyata setelah diselidiki, dahan pohon-pohon tempat kelelawar bergelantungan menjuntai di atas kandang, dan babi memakan feses kelelawar. Dari sinilah awal bencana hingga Pemerintah Malaysia pun akhirnya memusnahkan jutaan ekor babi untuk mencegah wabah.
Tapi, seperti biasa, akan muncul para “pejuang ekonomi dadakan” yang meradang mengatakan: “Kami sedang mencari nafkah… “, atau “Ini menggerakkan perekonomian desa… “, atau “Ini menyatukan warga…”, atau “Perputaran uangnya sangat besar…”, sampai ke yang menyerang dengan mengatakan semisal: “Larangan agama jangan ganggu ekonomi dong?”, atau “Kita butuh solusi, bukan fatwa!”.
Pertanyaannya, “Apakah fenomena seperti ini aneh…?”
Oh ternyata tidak sama sekali, karena sudah ada presedennya sejak zaman Baginda Nabiyy ﷺ.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
فَبِظُلۡمٍ مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمۡنَا عَلَيۡهِمۡ طَيِّبَٰتٍ أُحِلَّتۡ لَهُمۡ وَبِصَدِّهِمۡ عَن سَبِيلِ ٱللَّـهِ كَثِيرًا وَأَخۡذِهِمُ ٱلرِّبَوٰاْ وَقَدۡ نُهُواْ عَنۡهُ وَأَكۡلِهِمۡ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِۚ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ مِنۡهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا
“Karena keẓōliman orang-orang Yahūdiyy maka Kami ḥarōmkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dulunya) pernah diḥalālkan, dan karena mereka sering menghalangi-halangi (manusia) dari jalan Allōh, dan karena mereka menjalankan sistem ribā padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara yang bāṭil. Maka Kami sediakan untuk orang-orang kāfir di antara mereka àzāb yang pedih!” — QS. an-Nisā:160-161
Orang Yahūdiyy Banī Isrō-īl itu dikenal gemar manipulasi agama mereka demi kepentingan ekonomi.
Orang Yahūdiyy itu diḥarōmkan atas mereka ribā, namun mereka tetap menjalankan sistem ribā dengan berdalih bahwa “itu adalah perdagangan”, atau berkilah “bukan ribā secara langsung”, atau bahkan berdusta bahwa “ribā hanya ḥarōm apabila mengambilnya dari sesama Yahūdiyy dan boleh jika dari bukan Yahūdiyy”.
Orang Yahūdiyy itu diḥarōmkan atas mereka memakan lemak (ḥelēv), tapi mereka menjualnya kepada non-Yahūdiyy agar tetap dapat uang. Mereka menyamarkan lemak sebagai produk industri (sabun, pelumas, minyak lampu, pelapis perahu), lalu berdalih: “Ini bukan makanan, jadi tidak haram”. Atau mereka mencampurnya dengan bahan lain lalu menjualnya sebagai “produk olahan”.
Kelakuan orang Yahūdiyy ini ditertawakan oleh Baginda Nabiyy ﷺ…
Suatu ketika saat Beliau ﷺ sedang duduk di dekat Ḥajar al-Aswad, Beliau ﷺ menengadah ke langit lalu tertawa, kemudian mengatakan:
لَعَنَ ٱللَّهُ الْيَهُودَ ! (ثَلاَثًا) ، إِنَّ ٱللَّـهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ ٱلشُّحُومَ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا وَإِنَّ ٱللَّـهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Semoga Allōh mela`nat orang-orang Yahūdiyy! (Beliau mengucapkan ini 3x), Allōh mengḥarōmkan bagi mereka lemak, namun mereka malah menjualnya dan menikmati harga yang mereka terima darinya. Ketika Allōh mengḥarōmkan sesuatu bagi manusia, Dia juga mengḥarōmkan jual-belinya bagi mereka.”
Maka kalau sekarang kita lihat orang-orang yang mengaku Muslim ketika dihadapkan pada larangan keḥarōman, lalu mereka:
- Berusaha memodifikasi,
- Berusaha mencari celah,
- Membenturkan dengan logika ekonomi.
Maka sudah mirip kelakuannya siapa…?
Ya itu…
Benarlah kata Baginda Nabiyy ﷺ:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ؛ قُلْنَا يَا رَسُولَ ٱللَّهِ ٱلْيَهُودُ وَٱلنَّصَارَى ؛ قَالَ : فَمَنْ ؟
“Kalian akan mengikuti kelakuan kaum-kaum sebelum kalian, sehasta demi sehasta sejengkal demi sejengkal, hingga ketika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan mengikuti mereka?” – para Ṣoḥābat bertanya: “Wahai Rosūlullōh ﷺ, apakah maksud anda Yahūdiyy dan Naṣrōniyy?” – Beliau ﷺ menjawab: “Siapa lagi?”.”
Agama itu bukanlah musuh dari perekonomian, sedangkan maksud Allōh ﷻ menurunkan Ṡariàt itu adalah untuk melindungi manusia dari kerusakan.
M. Arsyad Syahrial SE, MF
Pengamat Ekonomi dan Pergerakan Islam
Alumni RMIT University, Melbourne, Australia