Larangan Meminta-minta Jika Bukan Faqir Dan Tak Terdesak

Larangan Meminta-minta Jika Bukan Faqir Dan Tak Terdesak

Meminta-minta tanpa alasan kefaqiran & keterdesakan itu hukum asalnya adalah TERLARANG. Ada banyak sekali dalīl yang menunjukkan akan larangan (keḥarōman) hal tersebut, di antaranya:

Hadits Sahl bin Hanzhalah yang mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ

“Siapa yang meminta-minta padahal berkecukupan berarti dia sama saja dengan memperbanyak bara jahannam.”

Sahl bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apa maksud (عَنْ ظَهْرِ غِنًى) (dari punggung yang berkecukupan), beliau menjawab, ”Yaitu ketika dia tahu bahwa keluarganya masih bisa memberinya makan siang dan makan malam.” — (HR. Ath-Thahawi dalam Syarh Musykil, no. 486 dan Syarh Ma’ani Al-Atsar no. 3026 dengan sanad yang shahih, juga oleh Abu Daud, no. 1631).

Hadits Qabishah bin Mukhariq dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “

“Wahai Qabishah, meminta-minta tak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang yaitu;

Orang yg mempunyai tanggungan (hutang) yg menjadikannya terpaksa meminta sehingga bisa ia melunasi tanggungannya, lalu ia menahan diri (tidak meminta),

Seseorang yang tertimpa paceklik atau kerusakan tanaman membuat hartanya ludes sehingga ia terpaksa meminta demi memperoleh penopang hidup atau solusi kehidupan. Setelah itu, dia harus menahan diri dan tak boleh meminta lagi.

Seseorang yang mengalami kemiskinan atau kebutuhan mendesak, dan dipersaksikan oleh tiga orang tokoh kaumnya yang mengatakan bahwa dia benar-benar membutuhkan, maka dia boleh meminta, sampai ia peroleh penopang kehidupan atau solusi kehidupan, selanjutnya ia menahan diri,

Adapun meminta-minta selain karena tiga alasan ini, wahai Qabishah, adalah suht (makanan haram) yang disantap oleh pelakunya.” — HR. Muslim no. 1044

Kata Baginda Nabī ﷺ:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Siapa saja yang meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api. Tak masalah apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” — HR Muslim no 1041; Ibnu Mājah no 1838; Aḥmad no 6866

Kata Baginda Nabī ﷺ:

Baca Juga:  Central Bank Digital Currency (Bagian III): Partially Backed Fiat Money

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari Qiyāmat ia akan menghadap kepada Allōh dalam keadaan tak sekerat daging pun ada pada wajahnya.” — HR al-Bukhōrī no 1474; Muslim no 1040; an-Nasā-ī no 2585; Aḥmad no 4409, 5359

Meminta-meminta itu adalah kehinaan, dan menghindarinya jauh lebih mulia walau harus “turun gaya hidup” atau “buang gengsi”.

Kata Baginda Nabī ﷺ:

لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا ، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

“Apabila salah seorang di antara kalian pergi di pagi hari lalu mencari kayu bakar yang dipanggul di punggungnya (lalu menjualnya), kemudian bershodaqoh dengan hasilnya, lalu merasa cukup (tak iri -pent) dari apa yang ada di tangan orang lain, maka itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi ataupun tidak, karena tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan mulailah dengan menafkahi orang yang kamu tanggung.” — HR al-Bukhōrī no 2373; Muslim no 1042; an-Nasā-ī no 2589; Ibnu Mājah no 1836; Aḥmad no 1354, 7016, 7177, 7646, 8771, 10033; Mālik no 1934

Bahkan di dalam bai‘at kepada Shohābat ‘Auf ibn Mālik al-Asyja‘ī رضي الله تعالى عبه, Nabī ﷺ mengatakan:

عَلَى أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ ، وَتُطِيعُوا ، (وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً) وَلَا تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا

“(Wajib bagi kalian) Untuk meng‘ibādahi Allōh semata dan tak berbuat kesyirikan kepada Allōh sedikitpun, mengerjakan sholāt lima waktu, patuh kepada pemimpin, (lalu Beliau ﷺ melirihkan perkataannya) dan tak meminta-meminta kepada orang lain sedikit pun.” — HR Muslim no 1043; Abū Dāwūd no 1043; an-Nasā-ī no 460; Ibnu Mājah no 2867

Kata Baginda Nabī ﷺ:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍ ، إِلَا فِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ ، أَ غُرْمٍ مُفْظِعٍ

“Tak halāl menerima shodaqoh bagi orang yang kaya, juga bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk bekerja, kecuali orang faqir yang sangat sengsara, atau orang yang memiliki tanggungan utang yang kesulitan membayarnya.” — HR ath-Thobrōnī, al-Mu‘jam al-Kabīr no 3504

Apakah meminta-minta itu sama sekali terlarang?

Baca Juga:  Tanggapan Yang Jelas Atas Tuduhan Dan Kekeliruan Dr. Utsman Al-Khamis

Meminta-minta kepada orang lain itu dalam keadaan FAQIR & DARURAT boleh.

Adapun meminta-minta jika tak dalam keadaan faqir & darurat, maka para ‘ulamā’ sepakat akan keḥarōmannya dan ia termasuk DOSA BESAR karena diancam dengan adzāb di Ākhirot.

Sedangkan apabila dalam keadaan darurat namun tak faqir dan mampu bekerja, maka para ‘ulamā’ berselisih pendapat mengenai hukumnya.

Imām Yahyā ibn Syarof an-Nawawī رحمه الله تعالى mengatakan:

أَصْحَابُنَا فِي مَسْأَلَةِ الْقَادِرِ عَلَى الْكَسْبِ عَلَى وَجْهَيْنِ أَصَحُّهُمَا أَنَّهَا حَرَامٌ لِظَاهِرِ الْأَحَادِيثِ وَالثَّانِي حَلَالٌ مَعَ الْكَرَاهَةِ بِثَلَاثِ شُرُوطٍ أَنْ لَا يُذِلَّ نَفْسَهُ وَلَا يُلِحَّ فِي السُّؤَالِ وَلَا يُؤْذِيَ المسؤول فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الشُّرُوطِ فَهِيَ حَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Para ‘ulamā’ berselisih pendapat mengenai hukum meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja dengan 2 pendapat. Pendapat yang lebih tepat, hukumnya ḥarōm berdasarkan zhōhir hadīts-hadīts yang ada. Pendapat yang kedua, hukumnya boleh namun disertai kemakruhan dengan memenuhi 3 syarat, yaitu: ⑴ tak menghinakan dirinya, ⑵ tak memaksa saat meminta, dan ⑶ tak memberikan gangguan kepada orang yang dimintai. Apabila salah satu dari syarat ini tak dipenuhi, maka hukumnya menjadi ḥarōm dengan kesepakatan para ‘ulamā. Wallōhu a‘lam.” — Syarah Shohīh Muslim VII/127

Bahkan teladan para Shohābat رضي الله تعالى عبهم dahulu mereka takkan menampakkan meminta-minta di muka umum sekalipun mereka benar-benar faqir karena menjaga izzah.

Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبًا فِى ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافًاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

“(Berinfaqlah) Untuk orang-orang faqir yang terhalang (usahanya karena jihād) di jalan Allōh, sehingga ia yang tak dapat berusaha di muka Bumi. (Orang lain) Yang tak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta -pent). Kamu (Muḥammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu infaqkan, sungguh Allōh Maha Mengetahui.” — QS. Al-Baqoroh (2) ayat 273

Demikian, semoga dapat dipahami.

Kita berdo’a:

ٱللَٰهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

{allōhummakfinī biḥalālika ‘an ḥarōmika wa aghninī bifadhlika ‘amman siwāka}

“Wahai Allōh, cukupkanlah aku dengan yang ḥalāl hingga aku tak butuh kepada yang ḥarōm, dan cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu hingga aku tak butuh kepada selain-Mu.”

One thought on “Larangan Meminta-minta Jika Bukan Faqir Dan Tak Terdesak

  1. bismillah, ingin bertanya?, mengambil contoh dalam pekerjaan, orang yanng menyewa sebuah kostum dan ia pergi berkeliling, lampu merah, warung, apakah termasuk meminta-minta?. dan apakah termasuk dalam artikel ini Larangan Meminta-minta Jika Bukan Faqir Dan Tak Terdesak.
    yang dimana mereka dalam sebuah siaran tanyajawab pendapatan mereka perhari berkisaran lebih dari 300 rb.

    terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *