Pada dasarnya memberi maaf dan tidak mendoakan keburukan kepada orang yang telah menzalimi kita adalah perbuatan baik dan afdhal. Tapi ada masa di mana orang tidak bisa menahan diri untuk tidak mendoakan keburukan. Bahkan ada masa di mana doa keburukan itu lebih baik, agar menimbulkan efek jera, apalagi kalau kezaliman itu dirasakan oleh banyak orang sehingga orang jahat yang zalim bisa dimusnahkan sehingga hasilnya banyak orang yang bisa diselamatkan.
An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar membuat pasal khusus tentang ini dengan judul (بابُ جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه) (bab:Bolehnya mendoakan buruk atas diri orang zalim baik kepada kaum muslimin maupun kepada diri sendiri). Di sana An-Nawawi menyatakan,
اعلم أن هذا الباب واسعٌ جداً، وقد تظاهرَ على جوازه نصوصُ الكتاب والسنّة وأفعالُ سلف الأمة وخلفها، وقد أخبرَ الله سبحانه وتعالى في مواضع كثيرة معلومة من القرآن عن الأنبياء صلواتُ الله وسلامُه عليهم بدعائهم على الكفّار.
“Ketahuilah bahwa bab ini luas sekali. Telah banyak nash Al-Qur’an dan sunnah serta perbuatan ulama salaf maupun khalaf yang menunjukkan kebolehannya. Allah SWT telah menginformasikan di banyak tempat dalam Al-Qur’an berita para nabi yang mendoakan keburukan kepada orang-orang kafir.” — Al-Adzkar hal. 305, Dar Al-Fikr 1994
Ibnu Allan memberikan penjelasan terhadap pernyataan An-Nawawi ini,
المراد من الجواز ما يشمل الاستحباب فهو بمعنى عدم الحرمة والكراهة ثم إن كان الدعاء على من ظلم النّاس ليندفع أذاه فهو مستحب وإن كان على من ظلمه هو أو آذاه فإنه يباح له الدعاء والأفضل أن يعفو ويصفح كما تقدم في أذكار الصباح والمساء في حديث ما ضر أحدكم أن يكون كأبي ضمضم وأفضل منه أن يترحم على ظالمه ويدعو له بأن الله يهديه كما وقع له -صلى الله عليه وسلم- يوم أحد لما شجوا رأسه وكسروا رباعيته فقال الصحابة: يا رسول الله ادع الله عليهم فقال: “اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون” فصفح فيما يتعلق بحقه -صلى الله عليه وسلم- ودعا لهم بغفران ما يتعلق بذلك الذنب واعتذر عنهم
“Maksud dari kata “boleh” mencakup hukum sunnah (mustahab) dan juga tidak haram ataupun makruh. Kalau doa itu ditujukan kepada orang yang menzalimi orang lain agar kejahatannya terhentikan maka itu mustahab (sunnah dianjurkan). Tapi kalau doa itu untuk orang yang menzalimi pribadinya saja maka dia boleh mendoakan keburukan, tapi yang lebih baik adalah memaafkan sebagaimana dijelaskan di bahasan doa pagi dan sore tentang hadits, “Apa kalian tak mau seperti Abu Dhamdham”.
Yang lebih afdhal lagi adalah mendoakan kasih sayang kepada orang yang telah menzaliminya itu dan agar Allah memberinya hidayah, sebagaimana yang terjadi pada Rasulullah saw pada perang Uhud ketika kepala beliau bocor dan giginya patah, maka para sahabat pun berkata, “Ya Rasulullah, doakan keburukan atas diri mereka.” Tapi beliau malah berdoa, “Ya Allah berilah ampunan kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” — Al-Futuuhaat Ar-Rabbaniyyah jilid 6 hal. 201
Sudah terkenal bagaimana Rasulullah selain memaafkan tapi juga pernah mendoakan kehancuran kepada kaum kafir yang jadi musuh Islam, misalnya doa beliau atas kaum Quraisy pada perang Khandaq,
مَلَأَ اللهُ قُبُورَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا، كَمَا حَبَسُونَا، وَشَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ
“Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan neraka, sebagaimana mereka telah membuat kita tak sempat shalat wustha sampai terbenam matahari.” — Shahih Al-Bukhari, no. 6396, Shahih Muslim, no. 627
Juga terkenal bagaimana beliau mendoakan dalam qunut nazilah kehancuran untuk beberapa suku yang telah berkhianat dan membunuh para sahabat.
Beberapa contoh salaf yang mendoakan keburukan kepada orang yang telah menzalimi pribadinya misalnya Sa’id bin Zaid RA yang berkasus dengan Arwa binti Aus, di mana Arwa ini menuduh Sa’id telah menyerobot tanahnya sampai masalahnya dibawa kepada gubernur Marwan bin Hakam. Sa’id bin Zaid tentu saja menyangkal dengan mengatakan, “mana mungkin aku berani menyerobot tanah orang padahal aku telah mendengar Rasulullah bersabda,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
“Siapa yang menyerobot sejengkal tanah secara zalim maka Allah akan menjepitnya dengan tujuh bumi.”
Tapi karena Arwa ini pandai bersilat lidah akhirnya Sa’id yang terzalimi karena difitnah berdoa,
اللهُمَّ، إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَعَمِّ بَصَرَهَا، وَاقْتُلْهَا فِي أَرْضِهَا
“Ya Allah, kalau dia dusta maka butakan matanya dan matikanlah dia di tanahnya sendiri.”
Akhirnya Arwa ini buta dan suatu ketika dia berjalan di tanah itu lalu terjatuh ke lubang dan mati di sana, dalam satu riwayat itulah kuburnya karena tak dapat diangkat. — Kisah lengkapnya ada dalam Shahih Muslim, no. 1610, dan haditsnya ada dalam Shahihain
Contoh kedua adalah doa Sa’d bin Abi Waqqash yang difitnah berlaku tidak adil oleh seorang bernama Usamah bin Qatadah ketika ditanya oleh Umar yang waktu itu sebagai khalifah pendapat penduduk tentang Sa’d, maka Usamah ini memberi kesaksian palsu dengan mengatakan bahwa Sa’d ini tidak adil dan tidak becus mengurus negeri. Maka Sa’d pun berdoa,
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ عَبْدُكَ هَذَا كَاذِبًا قَامَ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَأَطِلْ عُمْرَهُ وَأَطِلْ فَقْرَهُ وَعَرِّضْهُ بِالْفِتَنِ
“Ya Allah, bila hambamu (Usamah) ini berdusta, bicara demikian karena riya dan cari perhatian maka panjangkan umurnya, lamakan kemiskinannya dan jatuhkan dia ke dalam fitnah.”
Maka Usamah ini pun panjang umur dan melarat tapi tak hanya itu dia juga jadi seperti orang gila yang suka menggoda wanita di jalanan. — Kisah ini ada dalam Shahih Al-Bukhari, no. 755
Dalil dari Al-Qur’an
Ada izin dari Allah Ta’ala untuk mendoakan keburukan kepada orang yang menzalimi baik secara pribadi apalagi yang zalim terhadap ummat. Yaitu firman Allah pada surah An-Nisa’ ayat 148
۞ لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا
- Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Penjelasan para ahli tafsir bahwa dalam ayat ini Allah tidak menyukai kata-kata kotor baik itu makian ataupun doa keburukan kecuali bagi orang yang terzalimi, maka mereka diberi izin untuk sekedar membalas kezaliman terhadap diri mereka.
Abu Ja’far Ath-Thabari dalam tafsirnya setelah mengatakan ada perbedaan qiraat pada kata (ظُلِمَ) lalu menyebutkan takwil bagi qiraat dhammah adalah bahwa Allah tidak menyukai doa keburukan kecuali orang yang dizalimi maka dia diberi keringanan untuk mendoakan keburukan atas orang yang menzaliminya. Lalu Ath-Thabari menyebutkan beberapa riwayat antara lain dari Ibnu Abbas yang berkata,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ أَنْ يَدْعُوَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَظْلُومًا , فَإِنَّهُ قَدْ أَرْخَصَ لَهُ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى مَنْ ظَلَمَهُ , وَذَلِكَ قَوْلُهُ: {إِلَّا مِنْ ظُلِمَ} [النساء: 148] وَإِنْ صَبَرَ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ “
“Allah tidak menyukai seseorang mendoakan keburukan kepada orang lain kecuali kalau dia dizalimi maka dia diberi keringanan untuk mendoakan keburukan kepada orang yang menzaliminya. Itulah firman Allah “Kecuali orang yang dizalimi”. Tapi kalau dia bersabar (tidak mendoakan keburukan) maka itu lebih baik lagi.” — Tafsir Ath-Thabari 7/624-625 terbitan Hajr
Boleh ngga sih berdoa agar kita melihat orang zalim itu dihukum Allah di hadapan kita?
Bukan boleh lagi tapi sunnah.
Karena salah satu doa yang biasa dibaca Rasulullah ﷺ adalah:
اللهُمَّ مَتِّعْنِي بِسَمْعِي، وبَصَرِي واجْعَلْهُمُا الوَارثَ مِني، وانْصُرْنِي عَلى مَن ظَلمَنِي وأَرِنِيْ مِنْهُ ثَأرِيْ
“Ya Allah, berilah aku kesenangan dengan pendengaran dan pandanganku dan jadikanlah keduanya sebagai pewarisku. Tolonglah aku menghadapi orang yang menzalimiku dan PERLIHATKAN KEPADAKU PEMBALASANMU ATAS DIRINYA (lantaran menzalimiku).” — HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adab Al-Mufrad dari Abu Hurairah dan dari Jabir dgn redaksi mirip
Menjadi pewarisku di sini maksudnya sehat terus sampai aku tua meski anggota tubuh lain sudah melemah, tak berkurang jadi rabun ataupun tuli. Supaya terus bisa mendengar lantunan ayat suci dan digunakan membaca Al-Qur’an mengagumi ciptaan Allah dan lainnya yg diperbolehkan. — Lihat An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar, karena doa ini ada di sana di bab Doa bagi yang hendak tidur dan merebahkan badan di ranjang, hal. 94 (terbitan Dar Al-Fikr 1994), dan juga Al-Futuhat Ar-Rabbaniyyah, karya Ibnu Allan 3/166
Ibnu Allan juga menjelaskan maksud (وأَرِنِيْ مِنْهُ ثَأرِيْ) adalah perlihatkan bagaimana dia dibalas sehingga itu menjadi lebih jelas berupa pertolongan dari Allah memenangkan orang yang terzalimi.
Doa ini diriwayatkan oleh banyak sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Jabir, Abu Hurairah, Anas, Abdullah bin Syikhkhir, Jarir bin Abdullah.
Untuk lebih lengkapnya silakan dilihat takhrijnya di kitab As-Silsilah Ash-Shahihah Syekh Al-Albani nomor hadits 3170 yaitu di jilid 7 mulai halaman 506.
Jalur Abu Hurairah hasan li dzatih, jalur Ali bin Abi Thalib hasan li ghairih, jalur yang lain ada kelemahan tapi karena banyaknya penguat (syawahid) maka jadi hasan. Al-Hafizh juga menyebutkan doa ini dalam kitab Nata’ij Al-Afkar jilid 3 hal. 87 dan mengatakan riwayat Ali statusnya hadits hasan. Meski dari jalur Ali Zainal Abidin dari kakeknya yaitu Ali bin Abi Thalib, di mana dia tidak bertemu dengan kakeknya ini, tapi mungkin karena ahlul bait dan ada penguatnya sehingga dianggap hasan. Wallahu a’lam.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
22 Mei 2023