Bentuknya, bila pembeli telah berbelanja dalam jumlah tertentu maka dia berhak membeli beberapa item yang telah ditentukan toko dengan harga yang sangat murah, bisa setengahnya bisa sampai ¼ dari harga asli. Kesimpulan dari ustadz tersebut adalah haram dengan alasan itu termasuk dua akad dalam satu transaksi.
Benarkah demikian?
Dalam hal ini kalau diperhatikan ada ketidakcermatan dalam menganalisa masalah dan juga dalam memahami sifat dari dua akad dalam satu transaksi yang dilarang. Maka kita perlu menjelaskan dulu apa yang dimaksud dengan dua akad dalam satu transaksi yang dilarang itu.
Ada beberapa hadits yang memuat larangan ini, antara lain:
- Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata,
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة
“Rasulullah ﷺ melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”
- Hadits Abdullah bin Amr bin Ash RA,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، وَعَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ، وَعَنْ رِبْحِ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَعَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli, juga melarang jual beli sekaligus hutang piutang uang, melarang dapat keuntungan dari apa yang tidak ditanggung kerugiannya, dan juga melarang menjual sesuatu yang belum ada padamu.” (HR. Ahmad dan para penulis kitab sunan)
- Hadits Abdullah bin Umar, dengan redaksi yang sama tapia da kelemahan padanya yaitu keterputusan sanad di mana Yunus bin Ubaid tidak mendengar dari Nafi’. Tapi riwayat Abu Hurairah dan riwayat Abdullah bin Amr menjadi syahid (penguat) baginya.
- Atsar pernyataan Ibnu Mas’ud RA,
الصفقتان في الصفقة رباً
“Dua shafaqah dalam satu shafaqah berarti riba.”
(Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri dan Israil dari Simak bin Harb dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya. Ini adalah redaksi yang paling shahih dan jelas.)
Shafaqah artinya secara Bahasa adalah tepukan tangan yang menimbulkan bunyi. Kemudian orang arab biasa menyebutnya sebagai kiasan jual beli. Ibnu Al-Manzhur dalam Lisan Al-‘Arab mengatakan, (وإِنما قِيلَ لِلْبَيْعَةِ صَفْقَةٌ لأَنهم كَانُوا إِذا تبايَعوا تَصافَقُوا بالأَيدي) (Dikatakan jual beli dengan istilah shafaqah karena mereka biasa berjabat tangan ketika jual beli). (Lisan Al-‘Arab jilid 10 hal. 201 terbitan Dar Shadir Beirut 1414 H).
Ada beberapa tafsiran para ulama terhadap hadits ini yaitu apa yang dimaksud dua jual beli dalam satu jual beli atau dua transaksi dalam satu akad.
Sufyan Ats-Tsauri menafsirkan,
إِذَا قُلْتَ: أَبِيعُكَ بِالنَّقْدِ إِلَى كَذَا، وَبِالنَّسِيئَةِ بِكَذَا وَكَذَا، فَذَهَبَ بِهِ المُشْتَرِي، فَهُوَ بِالْخِيَارِ فِي الْبَيْعَيْنِ، مَا لَمْ يَكُنْ وَقَعَ بَيْعٌ عَلَى أَحَدِهِمَا، فَإِنْ وَقَعَ الْبَيْعُ هَكَذَا، فَهَذَا مَكْرُوهٌ، وَهُوَ بَيْعَتَانِ فِي بَيْعَةٍ، وَهُوَ مَرْدُودٌ، وَهُوَ الَّذِي يُنْهَى عَنْهُ، فَإِنْ وَجَدْتَ مَتَاعَكَ بِعَيْنِهِ أَخَذْتَهُ، وَإِنْ كَانَ قَدِ اسْتُهْلِكَ، فَلَكَ أَوْكَسُ الثَّمَنَيْنِ، وَأَبْعَدُ الأَجَلَيْنِ.
“Jika mengatakan, “Aku jual ini kepadamu tunai dengan harga sekian, dan kalau tempo maka harganya sekian.” Lalu si pembeli pergi begitu saja membawa barang maka dia punya hak pilih khiyar di antar dua harga yang ditawarkan selama belum terjadi akad jual beli. Kalau sudah terjadi akan seperti itu (tanpa menentukan mana yg dipilih -penerj) maka itu tidak boleh dan itulah yang dimaksud dua jual beli dalam satu jual beli dan ini tertolak serta dilarang. Kalau kau dapati barangmu padanya maka kau boleh mengambilnya, kalau sudah dipakai maka kau hanya berhak dapat pembayaran dengan harga penawaran terendah dan dengan tempo pembayaran yang paling lama.” (Mushannaf Abdurrazzaq, cetakan Dar At-Ta`shil 6/476, no. 15488).
Abdurrazzaq juga meriwayatkan dari Ma’mar pernyataan tiga orang tabi’in yaitu Thawus, Az-Zuhri dan Ibnu Al-Musayyib, mereka mengatakan,
لاَ بَأْسَ بِأَنْ يَقُولَ: أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ بِعَشَرَةٍ إِلَى شَهْرٍ، أَوْ بِعِشْرِينَ إِلَى شَهْرَيْنِ، فَبَاعَهُ عَلَى أَحَدِهِمَا، قَبْلَ أَنْ يُفَارِقَهُ فَلاَ بَأْسَ بِهِ
“Tidak mengapa kalau penjual mengatakan, saya jual ini kepada anda dengan harga 10 kalau temponya sebulan, tapi kalau temponya sampai dua bulan maka harganya dua puluh. Lalu dia menjualnya kepada pembeli dengan salah satu dari kedua penawaran tersebut sebelum mereka berpisah, maka itu tidak masalah.” (Al-Mushannaf 6/475).
At-Tirmidzi setelah mengeluarkan hadits Abu Hurairah mengatakan,
وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ قَالُوا: بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ: أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ بِنَقْدٍ بِعَشَرَةٍ، وَبِنَسِيئَةٍ بِعِشْرِينَ، وَلَا يُفَارِقُهُ عَلَى أَحَدِ البَيْعَيْنِ، فَإِذَا فَارَقَهُ عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَتِ العُقْدَةُ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمَا
“Sebagian ulama menafsirkan dua jual beli dalam satu jual beli adalah kamu mengatakan, “kujual pakaian ini tunai seharga sepuluh, tapi kalau tempo maka harganya dua puluh.” Lalu pembeli mengambil tanpa menentukan harga mana yang dia pilih. Kalau dia menentukan harga mana yang dia pilih maka itu tidak mengapa bila akad dijatuhkan pada salah satu dari kedua penawaran tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Syakir 3/525, nomor hadits 1231.)
Abu Ubaid dalam Gharib Al-HAdits menerangkan maknanya,
مَعْنَاهُ أَن يَقُول الرجل لْلرجل: أبيعك هَذَا الثَّوْب بِالنَّقْدِ بِكَذَا وبالتأخير بِكَذَا ثمَّ يفترقان على هَذَا الشَّرْط. وَمِنْه حَدِيث النَّبِيّ صلي اللَّه عَلَيْهِ وَسلم: أَنه نهى عَن بيعَتَيْنِ فِي بيعَة فَإِذا فَارقه على أحد الشَّرْطَيْنِ بِعَيْنِه فَلَيْسَ ببيعتين فِي بيعَة
“maknanya adalah, “aku jual pakaian ini kepadamu dengan harga sekian kalau tunai, tapi kalau tempo maka harganya sekian”. Lalu mereka berpisah dengan kedua harga yang masih ambigu itu. Ini juga sama dgn hadits Nabi saw yang melarang dua jual beli dalam satu jual beli. Tapi kalau pembeli menentukan salah satu dari dua penawaran harga tadi yang dia pilih maka tidak termasuk dua jual beli dalam satu jual beli.” (Gharib Al-Hadits, karya Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, terbitan Da`iratul Ma’arif Al-Utsmaniyyah, jilid 4, hal. 110, entri kata (صفق)).
Inilah tafsiran para salaf yang lengkap, berhubung banyak yang menukil tafsiran mereka sepotong, sehingga membuahkan hasil tidak boleh ada dua harga dalam penjualan satu barang meski dipilih salah satu. Yang benar dari tafsiran mereka adalah apa yang kami nukilkan di atas sehingga kalau dipilih salah satu oleh pembeli maka tidak termasuk jual beli yang terlarang.
Dengan begitu, kesemua riwayat ini tidak menunjukkan terlarangnya dua atau beberapa transaksi dalam satu akad yang terkait dan terikat. Sehingga larangan tersebut tidak diperoleh secara nash kecuali larangan menggabungkan antara akad qardh dengan jual beli dan sejenisnya, karena berarti piutang yang menyeret keuntungan bagi kreditur dan itu diharamkan oleh semua ulama. Itu diperoleh dari hadits Abdullah bin Amr di atas pada kalimat (لا يحل بيع وسلف) (Tidak halal jual beli sekaligus pinjam uang).
Makanya, para ulama pun punya rincian kapan akad terangkum dalam satu transaksi ini terlarang dan kapan dibolehkan. Tapi pada dasarnya selama tidak mengakibatkan hal terlarang maka dia dibolehkan sesuai hukum asal mu’amalah. Makanya, Ibnu Al-Qayyim mengatakan Ketika menjawab pendalilan orang yang mengharamkan penyewaan lilin dengan alasan itu berarti menggabung antara jual beli dengan sewa menyewa,
قيل: لا محذور في الجمع بين عقدين كل منهما جائز بمفرده، كما لو باعه سلعة وأجَّره دارًا شهرًا بمئة درهم
“Kita jawab, tidak ada larangan menggabung dua akad yang mana masing-masing akad dibolehkan secara tersendiri, misalnya menjual barangnya sekaligus menyewakan rumahnya sebulan, semua dengan harga 100 dirham.” (I’lam Al-Muwaqqi’in 5/310-311, terbitan Dar Ibni Al-Jauzi 1423 H).
Sebelumnya Ibnu Al-Qayyim juga menegaskan,
فكل ما لم يبين اللَّه ولا رسوله -صلى اللَّه عليه وسلم- تحريمَه من المطاعم و المشارب والملابس والعقود والشروط فلا يجوز تحريمها، فإن اللَّه سبحانه قد فصَّل لنا ما حرم علينا، فما كان من هذه الأشياء حرامًا فلا بد أن يكون تحريمه مفصلًا
“Semua yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya berupa makanan, minuman, pakaian, akad transaksi, syarat maka tidak boleh diharamkan, karena Allah SWT telah merinci apa yang diharamkan kepada kita, sehingga apa yang diharamkan dari itu semua pastilah akan dirincikan.” (Ibid 3/164).
Dari semua hadits ini ada larangan melakukan dua transaksi dalam satu akad. Tapi larangan ini bukan tanpa sebab, karena illat hukum dari pelarangan ini adalah akan terjadinya riba di mana hakekatnya adalah seseorang seolah mendapatkan keuntungan dari tanggungan orang lain. Atau terjadi judi, spekulasi tinggi atau menyebabkan ketidakjelasan pada harga dan obyek akad (jahalah) atau pada sifat spekulasi pada obyek akad (gharar). Bila factor ini tidak ada maka tidak ada larangan menggabungkan beberapa akad dalam satu transaksi (shafaqah).
Secara umum larangan dalam bab mu’amalah pasti ada illat (sebab hukumnya). Maka dari itu para ulama berusaha menemukan illat tersebut. Kalau illat itu ada maka sebuah transaksi bisa dikatakan terlarang, tapi bila tidak maka dia tidak terlarang dan kembali ke hukum asal yaitu dibolehkan.
Kesimpulannya, penggabungan akad dalam satu transaksi hukum asalnya adalah boleh selama tidak menyebabkan terjadinya riba, gharar, atau hal yang membahayakan salah satu pihak.
Apakah Tebus Murah Terdiri dari Dua Akad Terikat?
Jawabnya tidak, karena sebenarnya itu adalah dua akad yang terpisah meski terkait tapi tidak terikat. Terkait karena pembali hanya bisa menebus dengan harga murah kalau dia sudah membeli barang lain sampai harga yang ditentukan. Tidak terikat karena kalau dia tidak mau membelinya maka itu haknya dan tidak membatalkan apa yang telah dia beli sebelumnya. Ini hukumnya sama dengan gratis parkir bila belanja sejumlah tertentu yang biasa diberlakukan di mall-mall.
Yang dinamakan akad terikat adalah kedua transaksi harus dilakukan kalau salah satu tidak dilakukan maka yang lain ikut batal. Artinya tidak ada opsi kita mau membeli atau tidak. Sedangkan dalam tebus murah tidak ada keharusan menebus yang menyebabkan batalnya pembelian awal bila tidak ditebus.