Tanya:
Asalamuallaikum warohmatullohi wabarokatuh,,, maaf ustadz saya …. dari bekasi, saya ada pertanyaan ustardz. Saya LDR sama istri terus pernah terjadi pertengkaran akhirnya saya mengucapkan talak. pertanyaan nya:
- klw saya mau rujuk apakah harus berhubungan suami istri di masa iddah
- saya sudah ishlah (rujuk) di masa iddah , tapi blm berhubungan suami istri apakah rujuk saya batal?
Jazakallah khoiron ustadz.
Jawab:
Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Bila masih talak 1 atau 2 maka dan masih di masa iddah maka suami punya hak rujuk.
Rujuk itu bisa dilakukan dengan perkataan maupun perbuatan.
- Rujuk dengan perkataan misalnya mengatakan, “Kita rujuk ya.” Atau aku rujuk” atau merujukmu, dan ini semua adalah redaksi sharih (tegas) maka ini disepakati semua ulama sah rujuknya bahkan tanpa perlu niat. Atau kalimat kinayah (kiasan) seperti “mari kita bersama lagi”, “Sekarang kau istriku selamanya” dan semisalnya dengan niat rujuk maka itu menurut mayoritas ulama sudah sah rujuknya. Hanya mu’tamad madzhab Hanbali yang mensyaratkan rujuk tidak boleh pakai kalimat kinayah.
- Rujuk dengan perbuatan yaitu persetubuhan atau permulaan yang mengarah ke sana seperti cumbuan, ciuman dan pelukan bersyahwat dan lain semisalnya tanpa kata-kata. Ini menjadi perbedaan pendapat para ulama. Madzhab Syafi’I tidak mengakui perbuatan tanpa pernyataan sebagai bentuk rujuk. Sementara mayoritas ulama mengakui perbuatan sebagai bentuk rujuk tapi mereka berbeda dalam hal rinciannya.
Dengan demikian maka rujuk antum dengan kalimat ishlah (damai) yang sudah dipahami sebagai bentuk rujuk dan istripun paham akan hal itu maka sudah sah tanpa harus ada persetubuhan, apalagi kalau di masa terlarang seperti sedang haidh. Jadi, tidak ada syarat harus ada persetubuhan sebagai pembuktian rujuk. Maka kalaupun berada di tempat yang jauh cukup dengan mengatakan, “kita rujuk”, atau “aku merujukmu” maka itu sudah sah tanpa perlu persetujuan istri.
Referensi:
- Madzhab Hanafi
Al-Quduri mengatakan dalam Mukhtasharnya:
والرجعة أن يقول: راجعتك، أو راجعت امرأتي، أو يطأها، أو يقبلها، أو يلمسها بشهوةٍ، أو أن ينظر إلى فرجها بشهوةٍ.
ويستحب أن يشهد على الرجعة شاهدين، فإن لم يشهد صحت الرجعة.
“Raj’ah (rujuk) adalah suami berkata, “Aku merujukmu” atau “Saya telah merujuk istri saya”, atau dia menyetubuhinya, atau menciumnya, atau memegangnya dengan syhawat, atau melihat kemaluannya dengan syahwat. Dianjurkan rujuk ini menghadirkan dua saksi (rujuk dengan kata-kata maksudnya -penerj), tapi kalaupun tidak disaksikan maka rujuknya sah.” (Mukhtashar Al-Quduri Bersama syarhnya al-Lubab, hal. 475, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah).
- Madzhab Maliki:
Ibnu Juzaiy dalam Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah hal. 155 mengatakan:
أما الرّجْعَة من الطَّلَاق الرَّجْعِيّ فَتكون بالْقَوْل كَقَوْلِه ارتجعتك أَو مَا أشبه ذَلِك وَتَكون بِالْفِعْلِ وَهُوَ أَن يسْتَمْتع مِنْهَا بِالْوَطْءِ فَمَا دونه وَقَالَ الشَّافِعِي لَا رَجْعَة إِلَّا بالْقَوْل وَلَا بُد أَن يَنْوِي الارتجاع مَعَ القَوْل أَو مَعَ الْفِعْل خلافًا لأبي حنيفَة وَالْإِشْهَاد على الرّجْعَة مُسْتَحبّ فِي مَشْهُور الْمَذْهَب
“Adapun rujuk dari talak raj’iy maka dilakukan dengan perkataan seperti, “Aku merujukmu” dan yang semisalnya, bisa pula dengan perbuatan yaitu dengan bersetubuh atau pengantarnya. Sementara Asy-Syafi’I mengatakan rujuk tidak bisa kecuali dengan ucapan. Tapi harus ada niat rujuk baik rujuk dengan ucapan maupun perbuatan (persetubuhan dan pengantarnya), ini berbeda dengan Abu Hanifah. Persaksian hanyalah sunnah menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab.”
- Madzhab Asy-Syafi’i:
An-Nawawi mengatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (8/217):
لَا تَحْصُلُ الرَّجْعَةُ بِالْوَطْءِ وَالتَّقْبِيلِ وَشِبْهِهِمَا
“Tidak terhasil rujuk dengan persetubuhan, atau ciuman, atau semisalnya.”
- Madzhab Hanbali:
Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Muqni’
وَتَحْصُلُ الرَّجْعَةُ بِوَطْئِهَا، نَوَى الرَّجْعَةَ بِهِ أوْ لَمْ يَنْو
“Terhasil rujuk dengan menyetubuhi istri baik diniatkan maupun tidak.”
Lalu Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf menjelaskan:
هذا المذهبُ مُطْلَقًا. وعليه جماهيرُ الأصحابِ
“Inilah madzhab secara mutlak dan itu diadopsi oleh mayoritas ulama madzhab.” (Al-Muqni’ dicetak bersama Al-Inshaf jilid 23 hal. 85-86 tahqiq: At-Turki).
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta