Ini adalah pertanyaan dari jamaah masjid Ar-Rahmah Perumnas 3 Bekasi Timur.
Tanya:
Kaget ketika shalat lalu refleks baca istighfar apakah shalat jadi batal?
Jawab:
Bila kejadiannya karena kaget lalu refleks mengucapkan istighfar maka itu tidak membatalkan shalat menurut semua ulama madzhab.
Bahasan lanjutan
Para ulama sepakat bahwa yang membatalkan shalat adalah pembicaraan kepada sesama manusia, berdasarkan hadits Mu’awiyah bin Hakam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada di dalamnya pembicaraan manusia. Dia hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur`an.” — HR. Muslim
Membaca zikir apalagi karena kaget bukanlah bentuk pembicaraan kepada manusia melainkan bicara kepada Allah, sehingga tidak termasuk hal yang membatalkan shalat.
Adapun pembicaraan zikir kepada Allah maka tidak membatalkan shalat. Semua madzhab sepakat bahwa pembicaraan yang membatalkan shalat adalah yang merupakan jawaban terhadap seseorang, semisal menjawab salam, menjawab bersin dan lain-lain. Tapi kalau bentuk zikir atau ayat Al-Qur`an atau doa untuk diri sendiri yang bukan dimaksudkan dialog maka itu tidak membatalkan shalat.
Dalam madzhab Hanafi misalnya Al-Marghinani mengatakan,
ومن عطس فقال له آخر يرحمك الله وهو في الصلاة فسدت صلاته ” لأنه يجري في مخاطبات الناس فكان من كلامهم بخلاف ما إذا قال العاطس أو السامع الحمد لله على ما قالوا لأنه لم يتعارف جوابا
“Siapa yang bersin lalu orang lain mengucapkan kepadanya, “yarhamukallaah” (semoga Allah mengasihimu) maka batallah shalatnya karena itu merupakan bentuk dialog kepada sesama manusia. Berbeda kalau yang bersin ini atau yang mendengarnya mengucapkan “Al-Hamdu lillaah” sebagaimana pendapat mereka, karena itu bukanlah jawaban.” — Al-Hidayah syarh Al-Bidayah 1/59
Al-‘Aini juga mengatakan menjelaskan ini dalam Al-Binayah (2/414):
فإنه لا تفسد صلاته؛ لأنها لم تكن خطابا لغيره لم يعتبر من كلام الناس فلم يكن مفسدا
“Itu tidak membatalkan shalat karena dia bukan dialog kepada orang lain sehingga tidak termasuk pembicaraan antar sesama manusia, sehingga tidak membatalkan.”
Sementara madzhab Maliki diperoleh keterangan dari Al-Qarafi dalam kitab Adz-Dzakhirah:
لَا يُدْعَى إِلَّا بِمَا فِي الْقُرْآنِ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا لَا يسئل بِهِ النَّاسُ فَإِنْ قَالَ أَطْعِمْنِي أَوْ زَوِّجْنِي فَسَدَتْ صَلَاتُهُ لِأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْكَلَامِ كَرَدِّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَالشِّعْرِ الْمِنَظُومِ دُعَاءً أَوْ ثَنَاءً فَإِنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ يُفْسِدُ الصَّلَاةَ
“Tidak boleh berdoa kecuali dengan yang ada dalam Al-Qur`an atau yang semakna yang tidak mungkin dimintakan kepada manusia. Kalau dia mengucapkan (dalam shalat) “ath’imnii” (berilah aku makan) atau “zawwijnii” (nikahkan aku) maka batallah shalatnya karena itu termasuk pembicaraan dengan manusia, sama seperti menjawab salam atau mendoakan orang yang bersin atau membaca syair yang berisi doa dan pujian, semua itu membatalkan shalat.”
Dalam kitab Mawahib Al-Jalil jilid 2 hal. 33, Al-Haththab menukil perbedaan di kalangan ulama Maliki tentang menjawab bersin dengan mendoakan orang yang bersin ucapan yarhamukallaah. Ada yang membolehkan karena itu adalah dzikir atau doa dan bukan pembicaraan manusia, ada yang tidak membolehkan lantaran itu adalah pembicaraan manusia. Intinya, kaidah dasar mereka kalau zikir maka tidak membatalkan shalat, sehingga ucapan istighfar yang jelas bukan bentuk dialog kepada sesama manusia tidak membatalkan shalat.
Dalam madzhab Asy-Syafi’i ada pernyataan dari An-Nawawi dalam kitab Raudhatu Thalibin mengatakan,
وَلَوْ أَتَى بِكَلِمَاتٍ لَا يُوجَدُ فِي الْقُرْآنِ عَلَى نَظْمِهَا، وَتُوجَدُ مُفْرَدَاتُهَا، كَقَوْلِهِ: (يَا إِبْرَاهِيمُ) (سَلَامٌ) (كُنْ) بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا حُكْمُ الْقُرْآنِ بِحَالٍ. وَأَمَّا الْأَذْكَارُ وَالتَّسْبِيحَاتُ وَالْأَدْعِيَةُ بِالْعَرَبِيَّةِ فَلَا يَضُرُّ، سَوَاءٌ الْمَسْنُونُ وَغَيْرُهُ. لَكِنْ مَا فِيهِ خِطَابُ مَخْلُوقٍ غَيْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِبُ اجْتِنَابُهُ. فَلَوْ سَلَّمَ عَلَى إِنْسَانٍ أَوْ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ بِلَفْظِ الْخِطَابِ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. وَيَرُدُّ السَّلَامَ بِالْإِشَارَةِ بِيَدِهِ أَوْ رَأْسِهِ وَلَوْ قَالَ: عَلَيْهِ السَّلَامُ، لَمْ يَضُرَّ. وَلَوْ قَالَ لِلْعَاطِسِ: يَرْحَمُهُ اللَّهُ لَمْ يَضُرَّ. وَلَوْ قَالَ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ بَطَلَتْ عَلَى الْمَشْهُورِ.
“Jika dia mengucapkan kalimat yang tidak ada dalam Al-Qur’an susunannya tapi ada persatuan katanya saja seperti kata, “Yaa Ibrahim”, “salaam”, “kun” maka batallah shalatnya dan tidak termasuk membaca Al-Qur’an dalam keadaan itu. Adapun zikir dan tasbih dengan bahasa arab maka itu tidak membatalkan shalat, baik yang sunnah maupun yang lain. Tapi, yang mengandung dialog selain kepada Rasulullah hendaklah dijauhi. Kalau dia mengucapkan salam atau menjawabnya dengan bentuk dialog maka batallah shalatnya. Menjawab salam hanya boleh dengan isyarat tangan atau kepala. Tapi kalau dia mengucapkan “’alaihis salam” maka itu tidak membatalkan. Begitu pula kalau dia mengucapkan setelah mendengar yang bersin “yarhamuhu” (semoga Allah merahmatinya, bukan merahmatimu -penerj) maka itu juga tidak membatalkan. Tapi kalau dia mengatakan, “yarhamukallah” maka itu membatalkan.” Selesai pernyataan An-Nawawi.
Saya katakan, mengapa kalau yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu) batal, karena itu adalah bentuk dialog, dia seakan bicara dengan orang yang bersin itu. Sedangkan kalau dia mengucapkan “yarhamuhullaah” (semoga Allah merahmatinya) maka dia tidak bicara pada orang itu tapi hanya berdoa.
Dalam madzhab Hanbali diperoleh keterangan dari Manshur Al-Buhuti dalam kitab Kasysyaf Al-Qina’ (1/361):
( ولا تبطل بقوله ) أي المصلي : ( لعنة الله عند ذكر إبليس ولا بتعويذ نفسه بقرآن لحمى ولا بحوقلة في أمر الدنيا ونحوه ) كمن لدغته عقرب فقال : بسم الله لوجع ووافق أكثرهم على قول بسم الله لوجع مريض عند قيام وانحطاط
“Shalat seseorang tidak batal kalau dia mengucapkan la’anahullaah ketika mendengar Iblis disebut, juga tidak batal kalau dia mengucapkan doa perlindungan dari demam yang ada dalam Al-Qur`an, tidak pula batal bila dia mengucapkan hawqalah bila mendengar urusan dunia. Misalnya ketika disengat kalajengking dia mengucapkan “bismillah”. Kebanyakan ulama juga membolehkan bagi orang yang kesakitan mengucapkan bismillah dalam shalatnya ketika dia hendak berdiri atau turun.”
Sebelumnya Ibnu Qudamah telah menguraikan panjang lebar dalam kitabnya al-Mughni (1/396):
النَّوْعُ الثَّانِي: مَا لَا يَتَعَلَّقُ بِتَنْبِيهِ آدَمِيٍّ، إلَّا أَنَّهُ لِسَبَبٍ مِنْ غَيْرِ الصَّلَاةِ، مِثْلُ أَنْ يَعْطِسُ فَيَحْمَدَ اللَّهَ، أَوْ تَلْسَعَهُ عَقْرَبٌ فَيَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ. أَوْ يَسْمَعَ، أَوْ يَرَى مَا يَغُمُّهُ فَيَقُولَ: {إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ} أَوْ يَرَى عَجَبًا فَيَقُولَ: سُبْحَانَ اللَّهِ. فَهَذَا لَا يُسْتَحَبُّ فِي الصَّلَاةِ وَلَا يُبْطِلُهَا نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ الْجَمَاعَةِ
“Bentuk kedua, ucapan bukan mengingatkan manusia tapi lantaran ada sebab lain yang juga tidak berhubungan dengan shalat. Misalnya, bersih lalu mengucap hamdalah, disengat kalajengking lalu mengucap basmalah, atau kalau dia mendengar dan melihat sesuatu yang menyusahkan hatinya lalu dia mengucap Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, atau ketika dia melihat sesuatu yang menkajubkan dia mengucapkan “subhanallaah” maka semua ini tidak disunnahkan dalam shalat tapi tidak pula membatalkannya. Ini adalah pernyataan Imam Ahmad dalam riwayat jama’ah.”
Kesimpulannya, mengucap zikir apapun apalagi kalau kaget atau lantaran ada sebab tertentu tidak membatalkan shalat karena tidak termasuk pembicaraan antar sesama manusia.
Dijawab dan disusun oleh
Anshari Taslim
Pimpinan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta
Izin bertanya ustadz, di kampung kami ad imam tertentu yang mengucapkan allahummafighrlii setelah kalimat waladdhooollliin, dan sebelum kalimat amiiin.
Bgaimna hukumya ustadz? Syukron ustadz
oh ternyata ada pertanyaan, baik insya Allah akan dijawab dalam tulisan tersendiri, intinya memang ada riwayatnya tapi dhaif dan sebagian ulama Syafi’iyyah memang menyunnahkan.