Tanya:
Ustadz dan teman-teman lainnya, kalo istinja ketika kencing di urinoir tapi air yg keluar di situ adalah air sabun (keruh, wangi, berbusa), berarti istinja`nya menjadi ngga sah ya karena airnya bukan air mutlak (thohir) ? dan harus istinja’ lagi dengan air mutlak (thohur) ?
Mohon sharing pendapatnya
Jawab:
Menurut pendapat yang kami pilih bahwa hal itu dibolehkan, jadi tak perlu mengulang cebok dengan air muthlaq dan air tercampur sabun yang mengubah warna dan bau air tetap bisa digunakan untuk menghilangkan najis.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dari kalangan hanabilah muhaqqiqin.
Bahasan lanjutan:
Masalah ini terpulang pada diskursus apakah membersihkan najis basah boleh dengan selain air? Ada dua pendapat utama dalam masalah ini:
Pendapat Pertama: Maliki, Syafi’i dan Hanbali, didukung oleh Muhammad bin Hasan dan Zufar dari kalangan Hanafi.
Pendapat mayoritas ulama bahwa najis basah hanya bisa dihilangkan dengan air yang sifatnya thahur atau suci dan mensucikan, bahkan air yang hanya thahir seperti air musta’mal atau air yang bercampur benda suci sampai berubah salah satu sifatnya maka tidak bisa dipergunakan untuk membersihkan najis.
a. Madzhab Maliki:
Ibnu Juzay mengatakan dalam kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah hal. 28:
(الْمَسْأَلَة السَّابِعَة) لَا يجوز إِزَالَة النَّجَاسَة بمائع غير المَاء
“Masalah ketujuh: Tidak boleh menghilangkan najis dengan cairan selain air.”
Di kitab yang lebih tua yaitu Al-Muqaddimaat karya Ibnu Rusyd Al-Jad Ketika menjelaskan macam-macam air, lalu dia berkata,
والماء الطاهر غير المطهر هو الماء الذي تغيرت أحد أوصافه بما ينفك عنه من الطاهرات. ومعنى قولنا فيه إنه طاهر أنه غير نجس فلا يجب غسله من ثوب ولا بدن. ومعنى قولنا فيه غير مطهر أنه لا يرفع الحدث ولا حكم النجاسة وإن أزال عينها.
“Air yang suci tapi tidak mensucikan adalah air yang berubah salah satu sifatnya lantaran adanya benda suci lain yang terpisah darinya. Maksud dia suci artinya dia bukan najis, sehingga tidak wajib dicuci kalau kena badan atapun pakaian. Maksud tidak mensucikan artinya dia tidak bisa menghilangkan hadats dan hukum najis meski benda najis itu hilang karenanya.” (Al-Muqaddimaat Al-Mumahhidaat 1/86).
b. Madzhab Syafi’i
An-Nawawi berkata,
يشترط لرفع الحدث والنجس ماء مطلق وهو ما يقع عليه اسم ماء بلا قيد فالمتغير بمستغنى عنه كزعفران تغيرا يمنع إطلاق اسم الماء غير طهور
“Disyaratkan untuk menghilangkan hadats dan najis adalah air mutlak yaitu yang masih melekat nama “air” padanya tanpa embel-embel lain. Maka air yang berubah karena masuknya sesuatu yang bisa terpisah dari air itu seperti za’faran sehingga mengubah sifat air tak mutlak lagi, maka bukanlah air yang thahur (suci mensucikan).” (Minhaj Ath-Thalibin 1/78, Dar Al-Basya`ir Al-Islamiyyah 2005).
c. Madzhab Hanbali
Ibnu Balban berkata dalam Akhshar Al-Mukhtasharaat hal. 88:
الثاني طاهر لا يرفع الحدث ولا يزيل الخبث وهو المتغير بممازج طاهر ومنه يسير مستعمل في رفع حدث
“Jenis air kedua adalah thahir, yang ini tidak bisa menghilangkan hadats dan tidak pula membersihkan najis, yaitu air yang tercampur dengan benda suci lainnya serta air sedikit yang bekas pakai digunakan menghilangkan hadats (musta’mal).”
Pendapat Kedua: Air yang tercampur benda suci lainnya sampai mengubah sifat air sehingga bukan lagi air mutlak tetap bisa mensucikan najis.
Pendapat ini adalah pendapat resmi madzhab Hanafi dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf, didukung oleh Ibnu Taimiyah. Kemudian ada rincian lagi apakah air ini juga bisa menghilangkan hadats, artinya bisa dipakai berwudhu atau mandi wajib. Ada khilafiyyah lagi di kalangan mereka pula. Tapi ini bukan topik bahasan kita kali ini, kita focus apakah bisa digunakan menghilangkan najis dari badan maupun pakaian.
Konsep utama dari madzhab ini adalah bahwa yang bisa dijadikan alat mensucikan najis bukan hanya air tapi semua benda yang bisa menghilangkan zat najis itu. Maka bila ada cairan selain air bisa menghilangkan najis basah sehingga tak tersisa lagi wujudnya di badan maupun pakaian atau tempat maka sucilah ia kembali dan bisa dipakai shalat. Itu artinya yang masih air, hanya saja tercampur benda lain sebagai tambahan pembersih seperti sabun, kapur barus, kembang dan lain-lain akan lebih mampu membersihkan najis, karena dia berarti air ++.
Dalam kitab Bidayatul Mubtadi yang merupakan salah satu pegangan dalam madzhab Hanafi, Al-Marghinani mengatakan,
تطهير النجاسة واجب من بدن المصلي وثوبه والمكان الذي يصلي عليه ويجوز تطهيرها بالماء وبكل مائع طاهر يمكن إزالتها به كالخل وماء الورد ونحو ذلك بما إذا عصر انعصر
“Membersihkan najis adalah wajib baik dari badan mushalli, pakaian maupun tempat yang digunakan buat shalat. Boleh membersihkannya dengan air dan semua benda cair yang bersih dan bisa menghilangkan najis itu seperti cuka, air mawar dan semisalnya di mana bila dia diperas maka akan terperas.”
Badruddin Al-‘Aini dalam Al-Binayah Syarh Al-Bidayah (1/703) Ketika menjelaskan perkataan Al-Marghinani mengatakan,
وإنما قال: ويجوز ولم يقل ويجب لأن استعمال عين الماء ليس بواجب عند أبي حنيفة وأبي يوسف – رحمهما الله – بل إزالة النجاسة واجبة بأي مائع طاهر مزيل كان
“Dikatakan, “yajuuzu” (boleh) bukan “yajibu” (wajib) karena menggunakan air tidak wajib menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf -rahimahumallaah-. Menghilangkan najis itu wajib dengan menggunakan cairan apapun yang bersih dan mampu menghilangkan najis.”
Selanjutnya Al-‘Aini menjelaskan ada 3 syarat:
- Cairan itu bisa mengalir, seperti cuka misalnya. Sebab kalau dia kental seperti madu maka dia akan menempel.
- Hendaknya cairan itu suci, karena najis tidak bisa menghilangkan najis lain.
- Cairan itu harus licin dan bisa mencuci misalnya cuka dan air mawar, kalau dia lengket seperti madu, minyak, susu dan sebagainya maka tidak bisa menghilangkan najis.
Tarjih
Sepertinya kalau diperhatikan madzhab Hanafi dalam hal ini lebih kuat dalilnya berdasarkan penalaran maqashid. Bila tidak ada nash dari kitab dan sunnah ataupun fatwa para sahabat yang bisa menjadi kata putus dalam masalah ini, maka kita harus melihat sisi maksud syariat dalam pembersihan najis. Syariat menghendaki najis itu hilang, dan tidak secara eksplisit membatasi harus hilang dengan apa, yang penting dia hilang.
Tapi ternyata ada nash dari pernyataan Aisyah RA yang shahih dalam hal ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dan Abu Daud.
Al-Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ مَا كَانَ لِإِحْدَانَا إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ تَحِيضُ فِيهِ فَإِذَا أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ دَمٍ قَالَتْ بِرِيقِهَا فَقَصَعَتْهُ بِظُفْرِهَا
“Abu Nu’aim menceritakan kepada kami, Ibrahim bin Nafi’ menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, dia berkata, Aisyah RA berkata,
“Kami hanya punya satu pakaian yang dengan pakaian itulah dia haidh. Maka bila kena noda darah dia membasahi dengan liurnya lalu menguceknya.”
Hadits ini jelas menunjukkan para wanita di masa Rasulullah menggunakan air liur dan itu bukan al-maa` (air) mutlak untuk menghilangkan najis darah. Sehingga gugurlah klaim jumhur ulama bahwa hanya air mutlak yang bisa dipergunakan untuk memberisahkan najis.
Selain itu ada beberapa kasus syariat mengajarkan najis bisa dihilangkan dengan selain air misalnya boleh istinja’ dengan batu, dan semua madzhab sepakat penggunaan batu bukanlah ta’yin (pembatasan). Semua sepakat selain batu yang fungsinya sama bisa membersihkan maka bisa digunakan seperti tisu dan lain-lain. Juga hadits Rasulullah menerangkan bahwa kotoran yang mengenai pakaian wanita di jalanan akan dibersihkan oleh sapuan tanah berikutnya, juga hadits Rasulullah memerintahkan untuk mengesat sandal di tanah guna menghilangkan najis yang mungkin terinjak.
Semua ini menunjukkan bahwa syariat tidak membatasi dengan air, maka kalau dipakai metode asybah wan nazha`ir demikian pula penghilangan najis dari pakaian atau badan, tidak ditentukan hanya air tapi bisa oleh benda lain yang penting dia hilang.
Adapun penggunaan air yang ada dalam banyak riwayat tidaklah menunjukkan pembatasan tapi berlaku sebagai kejadian yang lebih sering (جَرَى مَجْرَ الغالِب) dan tidak menafikan adanya pembersih lain selain air. Dalam ushul fikih penyebutan kata “Air” dalam berbagai hadits dan ayat disebut mafhum laqab. Itu tidaklah bisa dijadikan hujjah menurut mayoritas ulama termasuk para pembesar Maliki, Syafi’I dan Hanbali sendiri.
Dari sisi qiyas cukuplah pembelaan Ibnu Taimiyah terhadap pendapat ini sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa jilid 21 hal. 474-478, di mana ini lebih kepda tinjauan maqashid, karena tujuannya adalah menghilangkan najis itu, kalau sudah hilang kenapa harus dipaksa belum hilang?.
Wallahu a’lam.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
Disempurnakan 19 Juli 2024.