Rifa’ah bin Zaid gundah. Betapa tidak, beberapa karung gandum yang baru kemarin dibelinya raib dari gudang. Lebih menyakitkan lagi, baju besi, pedang, dan beberapa alat perang lainnya yang disimpan jadi satu, ikut “disikat” juga. Benar benar maling keterlaluan. Dalam suasana sedih itu, Rifa’ah bin Zaid mencoba menemui Qatadah bin Nu’man, kemenakannya.
“Semalam gudang kita dibongkar orang, bahan makanan dan senjata digondol semua,” ucapnya kesal.
Qatadah kaget. Air mukanya memancarkan rasa turut berduka.
Sebelum pagi berganti siang, Qatadah mencoba mencari tahu ke beberapa tetangganya. Tidak ada informasi yang menggembirakan. Setelah ke sana ke mari ia bertanya, terbetik kabar bahwa keluarga Bani Ubairiq semalam mengadakan pesta besar. Bani Ubairiq terdiri dari tiga keluarga besar, semuanya masih bersaudara : Bisyr, Mubasyir, dan Busyair. Nama terakhir ini, Busyair, dikenal sebagai seorang munafik dan hidupnya melarat.
Qatadah segera menemui Bani Ubairiq. Tetapi mereka membantah. Malah, Busyair berusaha menyakinkan Qatadah dengan memberitahu siapa pencurinya.
“Kami telah bertanya-tanya dikampung ini, demi Allah kami yakin bahwa pencurinya adalah Labib bin Sahl,” ucap Busyair penuh semangat.
Qatadah menemui Labib. Setelah tahu duduk perkaranya, Labib marah dan mengambil pedangnya. Bersama Qatadah, ia menemui Bani Ubairiq.
“Demi Allah, pedang ini akan bicara tentang siapa yang mencuri.”
Wajar Labib bin Sahl marah, karena ia memang dikenal seorang muslim yang jujur lagi punya kedudukan. Buat apa mencuri, hidupnya lebih dari cukup.
“Kami tidak menuduhmu. Sebenarnya pencurinya bukan engkau,” sahut Bani Ubairiq membela diri.
Qatadah bingung. Ia segera pulang menemui pamannya. Mereka berdua mencoba mencari tahu lagi. Dari informasi tambahan, dugaan mereka semakin kuat bahwa Busyair-lah malingnya. Rifa’ah lalu menyarankan agar kemenakannya segera menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wahai Rasulullah, paman saya hanya ingin senjatanya dikembalikan, adapun gandum, biarlah,” ucap Qatadah setelah menceritakan semuanya.
Rupanya Bani Ubairiq mendengar laporan itu juga. Mereka sepakat mengutus Asir bin Urwah untuk menjadi pembela dan juru bicara di hadapan Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya telah menuduh salah seorang dari keluarga kami yang baik dan jujur sebagai pencuri, tanpa bukti apa pun,”
Sejenak Rasulullah diam. Kemudian menoleh kepada Qatadah
“Kau menuduh orang yang baik dan jujur sebagai pencuri, tanpa bukti yang jelas?”
Qatadah terdiam. Hatinya amat sedih. Tetapi ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Dengan sedih ia mohon diri, dan kembali menemui pamannya. Semua kejadian itu diceritakannya.
“Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan,” sahut pamannya singkat.
Tidak lama kemudian, Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, berisi teguran kepada Rasulullah berkenaan dengan pembelaannya terhadap Bani Ubairiq.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang selalu berkhianat lagi bergemilang dosa.” (Qs. An Nisa’ : 105-106-107)
Bahkan enam ayat sesudahnya pun, termasuk dari ayat yang turun berkenaan dengan cerita di atas.
Setelah turun ayat ini, Rasulullah sendiri yang mengambil senjata yang dicuri Busyair dan menyerahkannya langsung kepada Rifa’ah. Adapun Busyair, ia kabur dan bergabung bersama orang orang musyrik dan tinggal di rumah Salamah bin Sa’ad.
Kisah di atas menunjukkan, betapa Islam ingin agar umatnya hidup dalam sebuah masyarakat yang tangguh, ditopang oleh beberapa pilar utama berikut ini:
- Pertama, kredibilitas hukum.
Islam meletakkan hukum dan ketetapan Allah di atas segalanya, bagi siapapun. Karenanya, Rasulullah sekalipun, dibimbing dan diluruskan oleh Allah. Bahkan dalam kisah di atas, beliau diperintah Allah untuk beristighfar karena telah memojokkan Qatadah. Meski secara administratif tindakan Rasulullah itu beralasan, karena memang Qatadah tidak membawa bukti apa-apa.
Di sisi lain, peristiwa itu mengajarkan bahwa semua orientasi penegakan hukum dalam Islam adalah agar semua orang hanya menyembah kepada Allah saja. Dzat yang paling haq untuk disembah dan diterima hukum-Nya. Karenanya misi utama Rasulullah adalah bagaimana agar orang bisa menerima hidayah Islam, bisa keluar dari hidup yang gelap, dan masuk dalam cahaya Islam yang terang. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya (Allah) Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. An Nahl : 125)
- Kedua, kredibilitas pemimpin.
Dalam Islam, seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki kapasitas dan kredibilitas yang tinggi. Sebab, ia akan berhadapan langsung dengan berbagai urusan yang rumit, yang kadang tidak semuanya transparan. Lebih berat lagi, adalah ketika seorang pemimpin berbuat salah, ia dituntut untuk jujur dan berani mengakui kesalahannya.
Kita butuh seorang pemimpin yang tidak hanya shalih dan cerdas, tetapi juga lapang dada. Adakah contoh tentang itu yang melebihi sosok Rasulullah? Seorang Nabi, pemimpin umat, memanggul senjata, sendirian, dari rumah Busyair dan menyerahkan langsung kepada Rifa’ah, juga sendirian, sebagai tebusan atas kekhilafannya?
Jiwa yang lapang dan hati penuh kasih sayang yang dimiliki Rasulullah juga bisa kita lihat pada peristiwa penaklukan kota Mekah. Beliau memaafkan semua kaum musyrikin Mekah dan sama sekali tidak ingin mengusik kebebasan mereka. Padahal, sikap dan ulah mereka dulu sangat keterlaluan”menyakiti Rasulullah dan kaum muslimin. Benar-benar “Air tuba dibalas air susu.”
- Ketiga, kredibilitas sosial.
Masyarakat yang tangguh tidak cukup hanya dengan seorang pemimpin yang baik dan hukum yang diakui. Tapi ia perlu daya dukung lain, berupa anggota masyarakat yang baik, yang penuh damai menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kita perlu pribadi-pribadi seperti Labib bin Sahl yang tegas dalam menolak fitnah. Kita juga membutuhkan orang-orang seperti Qatadah yang tidak membiarkan kemungkaran merajalela.
Bila tiga unsur utama di atas berjalan dengan baik dalam sebuah mekanisme yang sehat, maka orang orang bejat dan tidak layak untuk hidup dalam masyarakat tersebut akan pergi karena tidak betah. Setidaknya, mereka akan takut mendapat sanksi yang berat, sebagaimana Busyair, yang kabur dan bergabung dengan orang-orang musyrik.
Betapa tragisnya kita, jika hidup di suatu negeri yang pemimpinnya culas, hukumnya tak berlaku, masyarakatnya bodoh lagi egois, dan para penjahatnya merajalela.
Wallahu a’lam bishawab
Bilal Zepa
Disalin dari Rubrik Ibroh Sabili No 16 TH. VI 8 Dzulqaidah 1419