- I’tikaf 10 hari di bulan Ramadhan sama dengan pahala dua haji dan dua umrah.
Dari Ali bin Husain dari ayahnya yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah saw bersabda,
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Siapa yang berpuasa sepuluh hari di bulan Ramadhan maka itu sama seperti dua kali haji dan dua kali umrah.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 2888 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3680 dan 3681, semua dari jalur Sa’id bin Sulaiman, dari Hayyaj bin Bistham, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Muhammad bin Zadzaan, dari Ali bin Husain.
Dalam Ath-Thabarani tertulis Muhammad bin Sulaim, tapi yang benar adalah Muhammad bin Zadzaan sebagaimana yang dikoreksi oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab. Lalu Al-Baihaqi mengomentari, “Dia ini matruk”.
Sanad ini hancur parah karena diriwayatkan oleh tiga orang yang kelemahannya para secara berturut:
- Hiyaj bin Bastham, Al-Hafizh dalam At-Taqrib no 8286 mengatakannya dhaif. Dalam Al-Mizan Adz-Dzahabi memasukkannya di nomor rawi 9287 menukil pernyataan Imam Ahmad yang menganggapnya matruk, Ibnu Ma’in mengatakannya dhaif, dan Abu Hatim mengatakan masih boleh ditulis haditsnya, Abu Daud mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”.
- ‘Anbasah bin Abdurrahman bin Anbasah bin Sa’id bin Ash dinyatakan matruk oleh Al-Bukhari, bahkan Abu Hatim mengatakannya “pemalsu hadits” (Al-Mizan 3/301).
- Muhammad bin Zadzaan sebagaimana kata Al-Baihaqi, “matruk” Al-Bukhari mengatakan “tidak boleh ditulis haditsnya”.
Nuansa kepalsuan tampak dari kalimat hadits ini dimana amalan sunnah mengalahkan pahala amalan wajib bahkan sampai dua kali lipat. Makanya Syekh Al-Albani memasukkannya sebagai hadits palsu dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 518.
- Lima perkara yang membatalkan puasa dan wudhu.
Ibnu Al-Jauzi menyebutkan dalam kitab Al-Maudhu’aat (2/560), Muhammad bin Nashir memberitakan kepada kami, dia berkata, Hasan bin Ahmad bin Banna memberitakan kepada kami, dia berkata, Abu Fath bin Abi Al-Fawaris menceritakan kepada kami, dia berkata, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Ahmad bin Ja’far Al-Jammal menceritakan kepada kami, Sa’id bin ‘Anbasah menceritakan kepada kami, Baqiyyah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hajjaj menceritakan kepada kami, dari Jaban, dari Anas yang berkata, Rasulullah saw bersabda,
خَمْسٌ يُفَطِّرْنَ الصَّائِمَ وَيَنْقُضْنَ الْوُضُوءَ: الْكَذِبُ، وَالنَّمِيمَةُ، وَالْغَيِبَةُ، وَالنَّظَرُ لشَهْوَة، وَالْيَمِين الْكَاذِبَةُ
“Ada lima perkara yang dapat membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: Dusta, mengadu domba, ghibah, melihat dengan birahi, dan sumpah palsu.”
Kemudian Ibnu Al-Jauzi mengatakan, “Hadits ini palsu. Para perawinya dari Sa’id sampai kepada Anas semua terkritik. Yahya bin Ma’in mengatakan Sa’id ini pendusta.”
Sa’id di sini adalah Sa’id bin ‘Anbasah Ar-Razi disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/154) menukil pernyataan Ibnu Ma’in, “Pendusta” dan pernyataan Abu Hatim, “Tidak dipercaya”.
Muhammad bin Hajjaj disebutkan pula oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (3/510, no. 7356) menukil dari Al-Azdi, “Tidak ditulis haditsnya”.
Jaban tidak disebut oleh Adz-Dzahabi yang meriwayatkan dari Anas, tapi disebut oleh Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan (2/403, no. 1726) menukil dari Al-Azdi, “matrukul hadits”.
Maknanya juga jelas bertentangan dengan ijma’ bahwa hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa dan juga tidak membatalkan wudhu.
- Yang Mendapati Ramadhan di Mekah, hadits dari Ibnu Abbas
Ibnu Majah meriwayatkan, “Muhammad bin Abi Umar Al-Adani menceritakan kepada kami, Abdurrahim bin Zaid al-‘Ammi menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas yang berkata, Rasulullah saw bersabda,
“مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ بِمَكَّةَ فَصَامَه وَقَامَ مِنْهُ مَا تَيَسَّرَ لَهُ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِائَةَ أَلْفِ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيمَا سِوَاهَا، وَكَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ لَيْلَةٍ عِتْقَ رَقَبَةٍ، وَكُلِّ يَوْمٍ حُمْلَانَ فَرَسٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَفِي كُلِّ يَوْمٍ حَسَنَةً، وَفِي كُلِّ لَيْلَةٍ حَسَنَةً”
“Siapa yang mendapati Ramadhan di Mekah dan dia puasa di sana serta shalat malam di sana sedapatnya, maka Allah mencatat untuknya seratus ribu Ramadhan di tempat lain. Setiap harinya Allah tuliskan pahalanya seperti membebaskan seorang budak, setiap hari seperti membawa kuda dalam perang di jalan Allah, setiap hari ada sati kebaikan dan setiap malam ada satu kebaikan.”
(Sunan Ibni Majah, no. 3117).
Status: sanad sangat lemah dan tanda kepalsuan dari susunan kalimat amat tampak.
Dalam sanadnya ada dua orang bermasalah yaitu ayah dan anak Abdurrahim dan Zaid Al-‘Ami.
Abdurrahim ini disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan 2/605, no. 5030.
Al-Bukhari mengatakannya, “Mereka meninggalkannya”. Ibnu Ma’in sekali mengatakan dia pendusta, di lain waktu mengatakan, “Tidak tsiqah”. Al-Jauzajani mengatakan, “tidak tsiqah”. Abu Daud mengatakan “dhaif”, Abu Hatim mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”, Abu Zur’ah mengatakan, “waah (sangat lemah)”.
Ini semua menunjukkan dia lemah parah bahkan bisa jadi berdusta.
Sedangkan ayahnya, Zaid bin Hawari Al-‘Ami disebut oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan 2/102, no. 3003. Keadaannya lebih baik daripada anaknya, Ibnu Ma’in sekali mengatakan dia dhaif sekali mengatakan shalih, Abu Hatim juga mengatakan, dhaif tapi boleh ditulis haditsnya. Beberapa mengatakan shalih artinya masih bisa dipertimbangkan haditsnya bila ada penguat. Itu menunjukkan kelemahannya tidak parah.
Jadi pangkal kelemahan paling parah ada di Abdurrahim anaknya. Belum lagi susunan kalimat dalam menjelaskan pahala yang begitu besar dan seakan bukan kalimat Rasulullah yang penuh balaghah, cukup menunjukkan bahwa hadits ini dibuat-buat.
- Ramadhan di Mekah, hadits Ibnu Umar:
Al-Bazzar meriwayatkan, “Amr bin Abdurrahman bin Hammad bin Mas’adah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Nafi’ menceritakan kepada kami, ‘Ashim bin ‘Umar menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, dia berkata, Rasulullah saw bersabda,
رمَضَانُ بِمَكَّةَ أفْضَلُ مِنْ أَلْفِ رَمَضَانَ بِغَيْرِ مَكَّةَ.
“Ramadhan di Mekah lebih utama daripada seribu Ramadhan di selain Mekah.”
(Musnad Al-Bazzar, no. 6144).
Al-Bazzar mengatakan, Hadits ‘Ashim ini tidak ada yang meriwayatkannya selain dia dan kami tidak mengetahui ada yang meriwayatkan hadits ini sampai kepada Nabi saw selain jalur ini.” Ini menunjukkan bahwa hadits ini Gharib.
Pangkal kelemahan hadits ini terletak pada ‘Ashim yaitu putra Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Dia adalah rawi yang ditinggalkan (matruk).
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan memuat biografinya di jilid 2, hal. 355, nomor rawi: 4060. Menukil bahwa Imam Ahmad melemahkannya, Al-Bukhari mengatakannya, “munkarul hadits”, An-Nasa`iy mengatakan, “Matruk”, Ibnu Hibban mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengannya”.
Cukuplah ini semua sebagai pelemahan yang parah meski Ibnu ‘Adi mengatakan, “Meski dia lemah tapi haditsnya boleh ditulis.” (Al-Kamil 6/402).
- Qiyam Ramadhan adalah Bid’ah yang harus dilestarikan
Ath-Thabarani dalam Al-Awsath meriwayatkan, “Muhammad bin Aban menceritakan kepada kami, Ismail bin Amr menceritakan kepada kami, Husyaim menceritakan kepada kami, dari Zakariya bin Abi Maryam, dia berkata, Aku mendengar Abu Umamah Al-Bahili berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda
إن الله فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدوموا عليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم الله بتركها وقال
“Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan tapi tidak mewajibkan qiyamnya (shalat malam). Qiyamnya merupakan sesuatu yang kalian adakan maka lestarikanlah dia karena ada sebagian orang di kalangan Bani Israil telah mengkreasi satu bid’ah tapi Allah mengecam mereka lantaran mereka meninggalkannya. Allah berfirman tentang mereka,
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۖ
“Dan kerahiban yang mereka ada-adakan, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka kecuali bahwa mereka mencari keridhaan Allah. Tapi mereka tidak menjaga amalan itu sebaik-baiknya….. (sampai akhir ayat) (Qs. Al-Hadid: 27).
Status hadits munkar.
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, no. 7450.
Dalam sanadnya ada dua rawi yang bermasalah:
- Ismail bin Amr bin Nujaih Al-Bajali.
Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Al-Mizan, no. 922. Abu Hatim dan Ad-Daraquthni menganggapnya dhaif. Ibnu ‘Adi mengatakan, “Dia punya beberapa hadits yang tidak ada penguatnya.” Lalu Ibnu ‘Adi menyebutkan 6 hadits yang pangkal rusaknya dari dia.
Sementara Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab Ats-Tsiqaat. Tapi yang melemahkan lebih kuat karena menjelaskan kelemahannya apalagi sekelas Abu Hatim dan Ad-Daraquthni.
Tambahan lagi ada Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 1/37 sempat menyebut namanya dan mengatakan dia ini (صاحب غرائب ومناكير عن سفيان الثوري وعن غيره) (Orang yang meriwayatkan hal-hal munkar dan bersendirian dari Ats-Tsauri dan lainnya). Ini merupakan kalimat jarh mufassar (pelemahan yang detil) sehingga jelas kelemahannya.
- Zakariya bin Abi Maryam
Adz-Dzahabi memasukkannya dalam Al-Mizan, no. 2885 dan menukil perkataan An-Nasa`iy, “tidak kuat”. Kemudian juga menukil cerita Abdurrahman bin Mahdi di mana disebut nama Zakariya ini kepada Syu’bah dan Syu’bah malah berteriak.
Ibnu Abi Hatim yang merupakan sumber kisah teriaknya Syu’bah ini mengatakan, “Teriakan Syu’bah itu menunjukkan dia tidak ridha pada Zakariya.” (Al-Jarh wa At-Ta’dil 3/592).
Tambahan lagi tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Husyaim, cukuplah ini semua membuktikan dia dhaif bile bersendirian. Apalagi riwayat ini munkar maknanya karena menganggap qiyam Ramadhan (shalat malam di bilan Ramadhan) adalah bid’ah, padahal jelas qiyam Ramadhan dilakukan Rasulullah dan beliaupun menyatakan pensyari’atannya dalam hadits yang shahih, “Siapa yang melaksanakan qiyam di bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
- Yang Masih ada Hutang Puasa, maka puasanya tidak diterima
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, Hasan menceritakan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menceritakan kepada kami, Abu Aswad menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Rafi’, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw yang bersabda,
” مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ، وَمَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَعَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْءٌ لَمْ يَقْضِهِ، فَإِنَّهُ لَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ حَتَّى يَصُومَهُ”
“Siapa yang mendapati Ramadhan sementara dia masih pumya hutang puasa Ramadhan dulu maka tidak diterima puasanya. Siapa yang puasa sunnah sementara dia masih punya hutang puasa dulu yang belum dia qadha` (ganti) maka puasa sunnah itu juga tidak diterima darinya sampai dia bayar dulu hutang puasanya.”
(Musnan Ahmad, no. 4621).
Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath dari jalur Abdullah bin Yusuf dari Ibnu Lahi’ah. Lalu Ath-Thabarani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah kecuali dengan jalur ini, hanya diperoleh dari jalur Ibnu Lahi’ah.”
Sebagaimana diketahui bahwa Abdullah bin Lahi’ah ini dhaif dan terbukti dalam riwayat ini dia simpang siur (idhthirab) sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah, 2/235-237, nomor hadits 838.
Maknanya juga munkar karena yang shahih dari Abu Hurairah adalah puasa orang yang ada hutang puasa tetap sah hanya saja bila sampai Ramadhan berikutnya dia belum membayar tanpa uzur maka dia dikenakan denda membayar fidyah memberi makan satu orang miskin untuk tiap puasa yang masih terhutang. Riwayat Abu Hurairah ini ada dalam Sunan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.
Maka status hadits ini munkar, karena Ibnu Lahi’ah bersendirian lalu maknanya bertentangan dengan riwayat Abu Hurairah sendiri.
Bersambung…..
Anshari Taslim, 12 April 2022
Pimpinan Pesantren Bina Insan Kamil Jakarta