Nishab Uang Standar Emas Ataukah Perak?

Nishab Uang Standar Emas Ataukah Perak?

Menggunakan metode asybah wan nazha`ir dalam menentukan standar nishab zakat uang

Sebagaimana diketahui ada perbedaan pendapat para ulama kontemporer tentang standar yang dipakai untuk menetapkan nishab zakat uang, apakah memakai standar emas ataukah standar perak. Para ulama Arab Saudi seperti yang tergabung dalam Haiah Kibar Ulama dan Lajnah Da`mah serta ketetapan Asosiasi Fikih Rabithah Alam Islami menetapkan bahwa nishab uang adalah yang nilainya paling rendah di antara emas atau perak. Kalau 20 dinar emas lebih rendah maka pakai emas, kalau 200 dirham perak lebih rendah maka pakai perak. Alasannya itulah yang lebih bermanfaat bagi mustahiq.

Sudah bisa dipastikan sepanjang masa bahwa nilai 200 dirham pasti lebih rendah, sehingga mereka bisa dianggap memakai standar perak, yaitu 200 dirham atau sekitar 595 gram perak.

Sementara ulama lain seperti Dewan Fatwa Mesir, Prof Dr Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqhuz Zakah-nya, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-fiqh Al-Islami, Prof Muhammad bin Sulaiman Al-Asyqar dan lain-lain memilih pendapat standar zakat uang mengikuti 200 dinar emas, karena mengunggulkan sisi kestabilan harga dan kesesuaiannya dengan harga barang zakat lain seperti hewan ternak.

Dalam menentukan tarjih manakah nishab yang dipilih untuk nishab uang, apakah memakai nishab emas ataukah perak maka ada beberapa faktor penguat (murajjih). Salah satunya menggunakan metode asybah wan nazha`ir.

Asybah di mana kita melihat kasus lain selain zakat yang juga menggunakan standar dinar dan dirham dalam perhitungannya lalu kita cocokkan mana yang dipakai oleh para fuqaha` baik yang disepakati atau tidak tapi punya dukungan kuat dari nash, atau qiyas awla.

Nazha`ir berarti kita mencari kasus pembanding, pernahkah Rasulullah menetapkan salah satu dari dinar maupun dirham sebagai standar satu kasus selain zakat.

Perbandingan harga Unta dan Kambing dengan Dinar dan Dirham

Di masa Rasulullah 5 ekor unta, 40 ekor kambing itu harganya adalah sekitar 20 dinar dan 200 dirham, karena waktu itu 1 dinar sama dengan 10 dirham. Lalu harga perak melemah di masa Umar sehingga 1 dinar menjadi 12 dirham. Harga perak terus jatuh sampai saat ini. Sementara harga dinar untuk saat ini masih stabil, sehingga harga 5 ekor unta relative dekat dengan harga 40 ekor kambing dan dekat dengan harga 20 dinar.

Harga kambing rata-rata saat ini (tahun 2025) adalah 3 juta rupiah, maka 40 ekor sama dengan 120 jt. Sementara harga emas 1 gram saat ini sekitar 1,5 jt, sehingga 85 gram emas = 127.500.000. Ini adalah angka yang mendekati. Bandingkan dengan harga 595 gram perang yang hanya sekitar 6 juta rupiah, sangat jauh standar kekayaannya.

Baca Juga:  Hukuman Untuk Pemerkosa Dalam Fikih Jinayah Islam

Kasus Diyat Pembunuhan

Dari Asybah kasus ini kita temukan dalam kasus diyat pembunuhan jiwa, di mana asalnya adalah 100 ekor unta termahal.

Terdapat riwayat-riwayat yang shahih bagaimana Umar bin Khaththab RA menetapkan harga diyat pembanding 100 ekor unta kala itu adalah seribu dinar atau 12 ribu dirham. Artinya saat masa itu 1 dinar sama dengan 12 dirham.

Patokan harga mendekati adalah 100 ekor unta atau berdasarkan riwayat Abu Daud dalam Sunannya dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya di mana Umar menetapkan besaran diyat adalah seribu dinar atau 12 ribu dirham atau 200 ekor sapi atau 2000 ekor kambing.

Nah kalau di masa sekarang (tahun 2022) harga dinar sekitar 4 juta, maka harga onta sekitar 40 juta, sapi sekitar 20 juta dan kambing 2 juta maka satu diyat memang akan ketemu nilai sekitar 4 – 5 milyar.

Tapi akan jauh beda dengan 12 ribu dirham di mana kalau satu dirham harga sekarang adalah 73.000 berarti cuma 800 – 900 juta.

Ketentuan diyat mengikuti asal yang ada dalam nash berarti 100 ekor unta dan itu masih setara dgn 1000 dinar emas kala itu.

Kasus Ghurrah Janin

Kasus lain adalah ghurrah pada janin sebagaimana riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya dari Asy-Sya’bi kala itu ditetapkan 500 dirham, dan dalam riwayat Zaid bin Aslam, Umar menetapkan 50 dinar. Itu klop dengan kurs 1 dinar = 10 – 12 dirham, dan nilai ghurrah adalah 1/20 diyat atau 5 ekor unta mahal kalau harganya 40 juta maka dapatnya adalah 200 juta rupiah dan sekitar itulah harga 50 dinar emas. Tapi 500 dirham hanya sekitar 36 juta saja, sudah jauh di bawahnya. Sementara ghurrah mengikuti standar hitungan diyat.

Kasus Nishab Potong Tangan untuk Pencuri

Berikutnya kita cari nazhir atau pembanding dalam kasus lain, pernahkah Rasulullah menetapkan standar emas sebagai nishab di kasus lain? Jawabnya pernah yaitu kasus nishab pencurian.

Berdasarkan riwayat yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim hadits Aisyah RA, bahwa Rasulullah bersabda,

لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

“Tidak ada potong tangan bagi pencuri kecuali kalau sampai seperempat dinar atau lebih.”

Ini redaksi Muslim dari Amrah dan Urwah.

Jadi dinar adalah nash dari Rasulullah.

Di sini Rasulullah menjadikan standar nishab itu adalah 1/4 dinar atau sekitar 1,06 gram. atau sekitar 1,5 juta kalau harga sekarang (tahun 2022).

Sementara kalau pakai standar dirham di masa Rasulullah yaitu 1/10 dinar berarti 2,5 dirham dan itu sekarang hanya seharga sekitar 200 rb kurang.

Baca Juga:  Jangan Terpesona dengan Istidraj

Memang ada beberapa riwayat yang memakai 10 dirham, tapi riwayat ini dhaif.

Yang shahih hanya riwayat 3 dirham, dan itu di masa itu sudah melampaui seperempat dinar.

Makanya para ulama madzhab beda pendapat ttg nishab potong tangan pencuri. Tapi yang shahih adalah riwayat Aisyah ini dan ini jadi pendapat madzhab Syafi’i. Di beberapa riwaayat lain harga seperempat dinar atau sekitar 3 dirham ini di masa Rasulullah setara dgn harga satu tameng perangn sebagaimana Riwayat Ibnu Umar RA yang berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ سَارِقًا فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

“Bahwasanya Rasulullah saw memotong tangan pencuri yang mencuri sebuah tameng senilai 3 dirham.” (Shahih Muslim, no. 1686).

Mana ada tameng perang beneran harganya cuma 200 rb, kalau tameng mainan mungkin. 200 ribu rupiah belumlah menjadi mahal untuk memotong tangan pencuri, karena mencuri jumlah segitu hanyalah orang yang benar-benar butuh atau tingkat yang masih dianggap rendah oleh masyarakat. Tapi kalau 1,5 juta maka itu sudah dianggap tinggi.

Inti dari semua ini adalah bahwa memakai patokan dinar atau emas maka harga lebih stabil dan sesuai dengan beberapa barang pembanding lain yang juga diwajibkan zakat dengan sama-sama memakai haul. Sementara kalau memakai standar dirham maka sungguh jomplang sekali dengan asybah atau kasus mirip barang lain yang sama-sama kena kewajiban zakat, atau diyat, atau ghurrah.

Sehingga, kalau menggunakan metode asybah wan nazha`ir maka memakai standar emas untuk nishab zakat lebih logis (aqyas).

Nazhir (kasus pembanding) lain adalah bahwa biasanya dalam pewajiban harta agama ini lebih menimbang kemaslahatan mukallaf daripada penerima manfaat. Di sini mukallaf adalah muzakki, penerima manfaat adalah mustahiq. Kalau standarnya rendah maka akan lebih bermanfaat buat mustahiq, sedangkan kalau standarnya tinggi lebih manfaat buat muzakki.

Contoh pada kasus kaffarah puasa dalam hadits urutannya adalah memerdekakan budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu barulah memberi makan 60 orang miskin. Seandainya kemanfaatan untuk mustahiq lebih dikedepankan maka seharusnya memberi makan 60 orang miskin yang diutamakan, tapi nyatanya dia diakhirkan.

Nah, biasanya syariat menerapkan kewajiban lebih mempertimbangkan kemaslahatan mukallaf. Sedangkan kemaslahatan mustahiq biasanya disyariatkan dalam bentuk yang sunnah, bukan kewajiban. Itu untuk mengukur tingkat kedermawanan dan kepelitan seseorang. Wallahu a’lam.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta

Bagikan Artikel:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *