Pada Juni tahun 2003 ada kejadian mengejutkan di Islamic Study Center Paramadina kompleks Pondok Indah Plaza Jakarta Selatan. Seorang pemuda muslim bernama Ahmad Nurcholis menikahi seorang amoy (gadis Tionghua) beragama Kong Hucu bernama Ang Mei Yong. Bertindak sebagai penghulu adalah Dr. Kautsar Azhari Noer salah seorang guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah). Kautsar Azhari Noer yang diminta tanggapannya tentang hal itu menjelaskan bahwa sejak dulu dia sudah berpaham seperti itu (bolehnya pemuda muslim menikahi wanita Budha atau Kong Hucu).1
Selain Kautsar ada pula Zainun Kamal, lulusan Al Azhar Mesir yang juga menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini juga berpendapat bahwa ahli kitab tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Dia mengatakan,
”Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya, al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.”2
Menikahi wanita kafir selain ahli kitab haram berdasarkan ijmak
Apakah sudah ada ijmak dalam hal ini? Mari kita lihat pernyataan para ulama panutan umat:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, ”Semua orang kafir selain ahli kitab seperti mereka yang menyembah berhala, batu, pohon dan hewan, maka tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharaman menikahi wanitanya dan memakan sembelihannya.”3
Ibnu Abdil Barr juga menegaskan, “Para ulama sudah sepakat bahwa haram menikahi wanita Majusi dan penyembah berhala.”4
Bila Majusi yang sudah dikenal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mempunyai nabi dan kitab tersendiri saja dilarang menikahi wanitanya, apalagi semisal Hindu, Buda dan Kong Hucu yang jelas-jelas lebih banyak menyembah berhala.
Kesepakatan para ulama ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman…” (Qs. Al-Baqarah: 221).
Ayat ini menegaskan bahwa wanita musyrik haram dinikahi, lalu pada ayat kelima surah Al-Maidah Allah Ta’ala membuat pengecualian dengan membolehkan menikahi wanita ahli kitab.
Benarkah ada ahli kitab lain selain Yahudi dan Nashrani?
Mengkritisi dalil yang dikemukakan Zainun Kamal dan kelompok Islam liberal pada umumnya bahwa ahli kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja lantaran banyak pula agama yang memiliki kitab dan nabi. Bahkan, hampir semua agama punya nabi dan kitab suci. Sebut saja agama Buda yang punya Nabi bernama Sidharta Gautama dengan kitab suci bernama Tri Pittaka, Kong Hucu punya nabi bernama Kong Fu Tse dengan kitab suci bernama Wu Jing dan Si Shu.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa memang madzhab Hanafi memberi keluasan makna ahli kitab yaitu mereka yang mengikuti ajaran Nabi-Nabi tertentu yang diutus oleh Allah dan memiliki kitab suci. Akan tetapi, pendapat Hanafiah itu hanya terbatas pada nabi-nabi yang telah ditetapkan dalam Islam, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Daud dan lainnya.
Sedangkan Budha, Kong Fu Tse, Hindu, Shinto dan lain-lain tidak ada ketetapan bahwa mereka benar-benar nabi yang diutus oleh Allah kepada kaumnya, dan bukan mereka yang dimaksud oleh Abu Hanifah. Memang betul bahwa Allah mengutus nabi dan rasul untuk setiap umat sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلٌ ۚفَاِذَا جَاۤءَ رَسُوْلُهُمْ قُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
”Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang Rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.” (Qs. Yunus : 47).
Juga Firman-Nya:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
”….Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al-Isra` : 15).
Dalam ayat ini tersirat bahwa setiap umat akan diberikan Allah seorang rasul agar menjelaskan kepada mereka bagaimana beribadah yang benar kepada-Nya. Sebab, suatu umat tidak akan disiksa atas perbuatan dosanya bila memang tidak ada utusan Allah kepada mereka yang mengajarkan mana yang haq dan mana yang bathil.
Lalu dari mana bisa menetapkan bahwa rasul yang diutus oleh Allah kepada umat di Nepal sana adalah Sidharta Gautama, atau kepada bangsa Cina adalah Kong Fu Tse? Tidak ada jalan untuk menetapkan itu kecuali prasangka tanpa dasar yang kuat dan ini tidak boleh dijadikan landasan dalam mengambil hukum halal dan haram, karena hukum halal dan haram harus berdasarkan dalil yang pasti.
Menetapkan suatu hukum dengan dalil kira-kira atau dalil ”bisa jadi” seperti yang diterapkan oleh kelompok Islam Liberal ini adalah sesuatu yang sudah dikecam oleh Allah dalam Al-Qur`an,
وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلَّا ظَنًّاۗ اِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۗ
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran….” (Qs. Yunus : 36).
Di sini jelas Allah mengecam orang yang main kira-kira atau prasangka dengan metode ”bisa jadi iya bisa jadi pula bukan” dalam menetapkan keyakinan. Maka, mereka yang menetapkan bahwa agama-agama selain Yahudi dan Nashrani sebagai ahli kitab hanya lantaran teranggap punya nabi dan kitab suci masuk pula dalam kecaman ayat ini secara umum.
Agama Hindu dan Buda itu sudah ada di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika Al-Qur`an diturunkan, tapi tidak sedikitpun Allah menyinggungnya sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak mungkin lupa. Sehingga, kelancangan orang-orang liberal menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah benar-benar hanya dengan prasangka dan memperturutkan hawa nafsu semata, sebagaimana firman Allah,
اِنْ هِيَ اِلَّآ اَسْمَاۤءٌ سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُۚ وَلَقَدْ جَاۤءَهُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدٰىۗ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (Qs. An-Najm: 23).
Ayat ini jelas mengena untuk mereka, keadaan mereka sama dengan orang-orang kafir yang menetapkan nama-nama Latta dan Uzza serta Manaah sebagai anak perempuan Allah, padahal Allah tidak pernah menjelaskan itu. Begitu pula mereka yang menetapkan Hindu, Bunda, Kong Hucu dan lain-lain sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak pernah menyebutkan demikian sedangkan Allah tidak mungkin lupa.
Berdasarkan ini semua maka akad nikah yang dilakukan oleh pria muslim dengan wanita selain agama Yahudi dan Nashrani adalah batal dan hasilnya adalah zina sehingga konsekuensi hukumnya sama dengan zina.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
- Lihat detil peristiwanya dalam buku Bahaya Islam Liberal hal. 87-90 karya Hartono Ahmad Jaiz, mengutip dari majalah GATRA.
- Dari situs: http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/
- Al-Mughni 7/101, kitab Nikah, bab: Maa yahrumu nikaahuhu wal jam’i bainahu wa baina ghairih.
- Al-Istidzkar 16/268.