Bolehkah Pemberangkatan Relawan Menggunakan Dana Zakat Dari Saham Ibnu Sabil?

Bolehkah Pemberangkatan Relawan Menggunakan Dana Zakat Dari Saham Ibnu Sabil?

Ada satu masalah yang terkenal dalam fikih zakat ttg siapa ibnu sabil yang boleh dibayarkan zakat, apakah orang yang baru mau berangkat tapi belum berangkat untuk sebuah safar yg bukan maksiat boleh menerima zakat?

Ada dua pendapat:

Jumhur ulama tidak boleh, dan ini adalah pendapat mu’tamad Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Madzhab Syafi’i serta satu riwayat Imam Ahmad membolehkan.

Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan,

وَابْنُ السَّبِيلِ عِنْدِي ابْنُ السَّبِيلِ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ الَّذِي يُرِيدُ الْبَلَدَ غَيْرَ بَلَدِهِ لِأَمْرٍ يَلْزَمُهُ.

“Ibnu Sabil yang berhak menerima zakat itu menurutku adalah orang yang hendak pergi ke suatu negeri yang bukan negerinya untuk sebuah urusan yang harus dia kerjakan.” (Mukhtashar Al-Muzani hal. 258).

Al-Mawardi menjelaskan dalam Al-Hawi Al-Kabir jilid 8 hal. 513,

وَبَنُو السَّبِيلِ هُمُ الْمُسَافِرُونَ؛ لِأَنَّ السَّبِيلَ الطَّرِيقُ سُمُّوا بِهَا لِسُلُوكِهِمْ لَهَا وَهُمْ ضَرْبَانِ: مُجْتَازٌ، وَمُنْشِئٌ. فَأَمَّا الْمُجْتَازُ فَهُوَ الْمَارُّ فِي سَفَرِهِ بِبَلَدِ الصَّدَقَةِ. وَأَمَّا الْمُنْشِئُ: فَهُوَ الْمُبْتَدِئُ لِسَفَرِهِ عَنْ بَلَدِ الصَّدَقَةِ وَهُمَا سَوَاءٌ فِي الِاسْتِحْقَاقِ.

“Ibnu sabil adalah musafir, karena sabil artinya jalan. Dinamakan demikian karena mereka menempuhnya. Ibnu sabil ini ada dua:

  1. Al-Mujtaaz yaitu yang singgah di kampung tempat harta zakat,
  2. Al-Munsyi` yaitu yang baru mau memulai perjalanan dari negeri tempat harta zakat.

Keduanya sama dalam hal hak menerima zakat.”

Lalu al-Mawardi menyebutkan dalil pendapat ini adalah adanya kesepakatan semua madzhab bahwa biaya yang dibayarkan dari uang zakat adalah biaya perjalanan ke depan, bukan yang telah lalu. Maksudnya, kalau ada musafir minta uang zakat, maka yang diberikan kepadanya adalah biaya untuk perjalanan yang akan dia tempuh nantinya. Adapun biaya perjalanan yang telah lalu tidak bisa dia mintakan gantinya dari uang zakat. Dengan begitu, harusnya disamakan antara mujtaaz (orang yang telah melakukan perjalanan tapi kehabisan bekal) dengan munsyi` orang yang baru akan memulai perjalanan tapi sejak awal tidak punya biaya. Letak kesamaannya adalah sama-sama harus menghadapi perjalanan yang hendak ditempuh.

Contoh ilustrasi, ada seorang santri yang hendak pulang kampung di luar kota atau luar pulau, dan dia tidak punya biaya untuk pulang, maka menurut semua ulama santri ini layak mendapatkan zakat atas dasar ibnu sabil untuk membiayai perjalanannya. Sehingga uang zakat yang diserahkan kepadanya bisa dalam bentuk tiket kendaraan. Berbeda kalau diberikan atas dasar miskin maka harus diberikan dalam bentuk uang. Kenapa dia dianggap sebagai ibnu sabil, karena dia adalah mujtaaz (pelintas negeri atau kampung orang).

Baca Juga:  Menikahi Pria atau Wanita Murtad

Maka menurut madzhab Syafi’i apa bedanya orang yang sedang berada di kampung orang dan ingin melanjutkan perjalanan ke kampungnya dengan orang yang di kampungnya sendiri tapi harus melakukan perjalanan yang memang diperlukan? Mereka sama-sama memerlukan perjalanan sehingga layak dinamakan Ibnu Sabil secara bahasa, dan juga dari sisi kebutuhan sama butuhnya terhadap bekal dan biaya perjalanan.

Artinya menurut madzhab Syafi’i orang yg baru merencanakan perjalanan boleh diberikan zakat DAN DIA TIDAK PUNYA ONGKOS YANG CUKUP UNTUK MELAKUKAN PERJALANAN ITU TAPI DIA PERLU PADA PERJALANAN ITU, maka dia boleh diberikan ongkos secukupnya guna melakukan perjalanan tersebut.

Berangkat dari pendapat Syafi’iyyah ini maka Prof Dr Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh Az-Zakah jilid 2 hal. 152 – 153 menguatkan pendapat madzhab Syafi’i untuk utusan yang harus berangkat demi kemaslahatan ummat Islam, misalnya utusan pelajar atau ilmuwan dan tim relawan dan semua yang manfaatnya terpulang untuk agama dan kaum muslimin.

Uniknya Al-Qaradhawi sendiri dalam bukunya tersebut sebenarnya merajihkan pendapat jumhur bahwa Ibnu Sabil tidak termasuk munsyi` atau orang yang belum melakukan safar, tapi dia memberi pengecualian untuk kasus relawan atau orang yang keberangkatannya demi manfaat kaum muslimin.

Dalil yang menguatkan pendapat ini adalah teori maqashid. Atau, mempertimbangkan apa sih tujuan syariat memberikan bagian kepada ibnu sabil? Kalau kita perhatikan maka didapati tujuannya adalah agar dia terbantu demi bisa melaksanakan perjalanan yang memang harus dia tempuh. Apalagi perjalanan itu bersifat taat yang hukumnya minimal sunnah.

Apalagi untuk kasus tim relawan kemanusiaan ataupun dakwah ataupun penuntut ilmu yang mana perjalanan mereka adalah sunnah atau bahkan bisa jadi fardhu kifayah.

Maka berdasarkan pendapat ini boleh memberikan ongkos berangkat dan pulang bagi tim relawan ke daerah bencana dan tim tersebut tidak punya ongkos ke sana, dengan syarat sesuai keperluan jadi bukan aji mumpung dibayarin zakat, dan itu dikembalikan kepada ahli atau tim khusus dari yayasan yg menilai siapa yg pantas berangkat sesuai keperluan.

Baca Juga:  Mafhum Mu'tabar Hadits Tentang Syarat Pemimpin Menegakkan Kitab Allah

Syarat-syarat pemberian ibnu sabil ini sekali lagi adalah dia tidak punya biaya yang mencukupi untuk melakukan perjalanan tersebut.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DK Jakarta
17 Desember 2024

Bagikan Artikel:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *