Ada sebagian orang, yang belum sempat diakikah oleh orangtuanya ketika dia lahir. Itu bisa jadi karena ketidaktahuan atau bisa pula ketidakmampuan orangtua.
Lalu, ketika sudah dewasa dan mampu untuk melaksanakan akikah, bolehkah melakukannya sebagai penebus akikah di waktu kecil? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebelum menjawab pertanyaan ini harus dipahami dahulu bahwa akikah itu merupakan tanggung jawab siapa?
Sebagian ulama mengatakan dia adalah tanggung jawab ayah. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab wali. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab anak.
Dalam hemat saya tak ada keterangan pasti bahwa akikah hanya menjadi hak orangtua. Sebab berdasarkan hadits, Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
”Setiap anak yang lahir akan tertanggung oleh akikahnya.” — HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan Ahmad
Artinya, kalau dia masih tertanggung atau terhutang sampai melaksanakan akikah untuk dirinya, maka tak ada salahnya akikah itu dilaksanakan menggunakan harta si anak itu sendiri. Wallahu a’lam.
Kembali ke permasalah di atas ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Boleh saja orang yang sudah dewasa melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri.
Ini adalah pendapat ’Atha`, Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin dari kalangan tabi’in. Sedang para ulama madzhab yang mendukung pendapat ini adalah sebagian ulama madzhab Hanbali1 dan sebagian Syafi’iyyah2.
Diantara para ulama modern yang mendukung pendapat ini adalah Syekh Abdul Aziz bin Baz ketika menjelaskan perbedaan pendapat dalam masalah ini maka beliau berkesimpulan,
“Pendapat pertama lebih kuat yaitu disunnahkan baginya mengakikahkan dirinya sendiri, karena akikah adalah sunnah muakkadah (yang dikuatkan). Ayahnya tidak melakukannya maka disyariatkan baginya untuk melakukan kalau dia sudah mampu. Ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang membahas masalah ini, antara lain sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Setiap anak akan tertanggung dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama.” — HR. Ahmad dan para penyusun sunan dari Samurah bin Jundub RA dengan isnad yang shahih.
Juga hadits Ummu Kurz Al-Ka’biyyah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan untuk mengakikahkan atas nama anak laki-laki berupa dua ekor kambing dan atas nama anak perempuan satu ekor.” (HR. Yang berlima). At-Tirmidzi juga mengeluarkan hadits senada dari Aisyah dan dia menganggapnya shahih.
Ini tidak hanya ditujukan kepada ayah semata, sehingga berlaku umum untuk anak, ibu dan anggota keluarga yang lain.”3
Juga menjadi fatwa resmi Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Arab Saudi,
“Telah tsabit dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau mengakikahi diri beliau sendiri ketika telah diutus menjadi nabi. Akikah untuk anak yang dilahirkan adalah sunnah, bukan kewajiban. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Syarat-syarat hewannya sama dengan syarat hewan pada kurban. Yang afdhal adalah menyembelihnya di hari ketujuh pasca kelahiran. Kalau disembelih sebelum atau setelahnya maka itu sudah sah. Kalau seseorang mengakikahkan dirinya sendiri setelah dia dewasa maka itu baik bila memang orang tuanya belum mengakikahkannya.”
Ttd, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Abdul Aziz Alu Syaikh (Wk ketua), Bakr Abu Zaid (Anggota)4.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberi kesimpulan bahwa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan akikah adalah ayah, tapi bila si ayah tidak melaksanakannya dengan alasan apapun maka si anak bisa saja melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri ketika sudah dewasa tapi dengan niat mewakili atau menggantikan ayahnya yang dulu belum sempat mengakikahkan. (Mudzakkiratu Fiqh, Al-Utsaimin, Dar Al-Bashirah, juz 2 hal. 237).
Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan itu, karena bukan sunnah.
Ini adalah pendapat madzhab Maliki
Dalil-dalil:
Dalil yang membolehkan adalah hadits dari Anas RA bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-akikah-kan dirinya sendiri setelah menjadi Nabi.
Shahihkah riwayat ini?
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan riwayat Anas ini. Ada yang menganggap dha’if, seperti Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, An-Nawawi dalam Al-Majmu` syarh Al-Muhadzdzab, bahkan beliau mengatakan hadits ini batil. Demikian halnya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir.
Ada pula yang menganggapnya shahih seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits nomor 2726. Beliau menjelaskan panjang lebar perbedaan para ulama mengenai hadits ini dan beliau berkesimpulan hadits ini shahih.
Hadits ini punya dua jalur dari Anas bin Malik:
Jalur pertama, dari Qatadah, dari Anas.
Ini sebagaimana Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (juz 4, hal. 329, no. 7960) berkata, ”Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah SAW mengakikahkan dirinya ketika beliau telah diangkat menjadi Nabi.”
Jalur ini lemah sekali, karena Abdullah bin Muharrar telah disepakati kelemahannya.
Tapi Abdullah bin Muharrar diperkuat oleh Ismail bin Muslim Al-Makki sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2726 yang menukil dari Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa ada mutabi’ bagi Abdullah bin Muharrar yaitu Ismail bin Muslim Al-Makki, dari Qatadah, dari Anas.
Ismail bin Muslim lemah dari segi hafalan, tapi Abu Hatim mengatakan dia lemah tapi haditsnya masih boleh ditulis, meski dia sendiri tidak mau menulis haditsnya (Al-Jarh wa At Ta’dil 2/199).
Jalur kedua, dari Tsumamah bin Anas.
Ath-Thahawi berkata,
1053 – مَا حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَنْصُورٍ الْبَالِسِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ: ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ “
“Al-Hasan bin Abdullah bin Manshur Al-Balisi menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya ketika beliau sudah diangkat menjadi Nabi.” — Syarh Musykil Al-Aatsar, juz 3 hal. 78, no. 1053
Al-Hasan bin Abdullah ini diperkuat oleh Al-Husain bin Nashr, yang juga dalam riwayat Ath-Thahawi.
Penguat lain adalah riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dia berkata, “Ahmad menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah menceritakan kepada kami, dari Tsumamah, dari Anas, bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah diutus menjadi Nabi.” (Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 1006).
Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id mengomentari riwayat Ath-Thabarani ini, “Perawi riwayat Ath-Thabarani ini adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih kecuali Al-Haitsam bin Jamil, tapi dia sendiri tsiqah. Sedangkan guru Ath-Thabarani yaitu Ahmad bin Mas’ud Al-Khayyath Al-Maqdisi tidak terdapat dalam Al-Mizan (maksudnya kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi).”
Maksud pernyataan Al-Haitsami diatas bahwa Ahmad bin Mas’ud tidak masuk dalam kitab Al-Mizan karya gurunya Al-Hafizh Adz-Dzahabi, yang mana kitab tersebut memuat para perawi yang dha’if. Artinya, Ahmad bin Mas’ud bukan perawi yang dha’if. Wallahu a’lam.
Ahmad bin Mas’ud di sini adalah Abu Al-Hasan, ada pula yang mengatakan Abu Abdullah Al Khayyath, sebagaimana diungkapkan oleh Syekah Nayif bin Shalah Al Manshuri dalam kitab Irsyad Al-Qadhi wa Ad-Dani ila Tarajum Syuyuukh Ath-Thabarani hal. 186, biografi nomor 229, sebagai rawi yang shaduq, bahkan kalau ada yang mengatakan tsiqah juga tidak bisa disalahkan.
Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdullah bin Anas memang masih diragukan kredibilitasnya, tapi Al-Bukhari sendiri memakainya dalam Shahihnya bila dia meriwayatkan dari pamannya yaitu Tsumamah bin Abdullah bin Anas. Coba lihat Shahih Al-Bukhari, no. 92, 93, 954 dan banyak lagi (berdasarkan penomoran maktabah syamilah). Artinya, bila Abdullah bin Al-Mutsanna ini meriwayatkan dari Tsumamah maka haditsnya diterima. Sebab, tidak mungkin Al-Bukhari memasukkan jalur tersebut ke dalam shahihnya bila bermasalah. Wallahu a’lam.
Lihat lebih lengkap bahasannya di As-Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani 6/502-506.
Akan tetapi ada satu riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Al-‘Iyal:
66 – حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ جَمِيلٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ» قَالَ: وَرُبَّمَا قَالَ: حَدَّثَنِيهِ رَجُلٌ مِنْ آلِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ
‘Amr An-Naqid menceritakan kepada kami, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, Abdullah bin Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, Tsumamah bin Abdullah bin Anas menceritakan kepadaku, dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengakikahkan dirinya sendiri setelah beliau menjadi nabi.”
Dia (kemungkinan Haitsam -penerj) berkata, ada kemungkinan pula dia (Abdullah bin Mutsanna) mengatakan, “Aku diceritakan oleh salah seorang keluarga Anas.”
Nah ini menunjukkan bahwa Abdullah bin Mutsanna tidak ingat betul siapa yg menceritakan itu kepadanya, apa benar Tsumamah atau keluarga yang lain. Inilah salah satu illat hadits ini, karena Amr An-Naqid adalah seorang imam yang tsiqah, guru dari Al-Bukhari dan Muslim.
Kesimpulannya hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengakikahkan dirinya ketika sudah diutus menjadi Nabi masih diperselisihkan shahih atau tidaknya. Riwayat Ibnu Abi Ad-Dunya menunjukkan ada illah dalam riwayat Abdullah bin Tsumamah. Selain itu para mutaqaddimin seperti Imam Ahmad dan juga Al-Baihaqi menilainya munkar. Ini menunjukkan bahwa hadits ini memang bermasalah, karena biasanya yang seperti ini tidak tersembunyi dari riwayat para sahabat yang lain atau para murid Anas bin Malik yang lain.
Riwayat atsar para salaf:
Meski demikian, amalan ini difatwakan oleh para tabi’in, antara lain Muhammad bin Sirin sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah,
24718- حَدَّثنا حَفْصٌ، عَنْ أَشْعَثَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، قَالَ: لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.
Hafsh menceritakan kepada kami, dari Asy’ats, dari Muhammad (Ibnu Sirin) dia berkata, “Andai kutahu bahwa aku belum diakikahkan, niscaya aku akan mengakikahkan diriku sendiri.” — Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/319, terbitan Dar Al-Qiblah, tahqiq Muhammad Awwamah
Juga difatwakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sebagaimana riwayat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, juz 7 hal. 528 (terbitan Dar Al-Fikr) dari jalur Waki’, dari Ar-Rabi’ bin Shubaih, dari Al-Hasan yang berkata, “Jika kamu belum diakikahkan, maka berakikahlah meski engkau sudah jadi orang dewasa.” Perkataan Al-Hasan ini juga dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz 11 hal. 264 (terbitan Al-Maktab Al-Islami, 1403 H).
Dalil yang melarang:
Mereka menganggap bahwa akikah itu adalah tanggungan orangtua, maka tak ada hubungannya dengan si anak. Bila memang belum diakikahkan oleh orangtua maka tak ada hak si anak mengakikahkan dirinya. Lalu mereka mengatakan bahwa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengakikahkan diri sendiri adalah hukum spesial untuk beliau.
Tapi dalil ini lemah, darimana bisa menentukan bahwa itu spesial untuk Rasulullah saja? Tidak ada keterangan valid untuk itu, sehingga apapun yang dilakukan beliau dan tidak ada keterangan valid bahwa itu spesial buat beliau semata, maka itu menjadi sunnah bagi ummatnya. Wallahu a’lam.
Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud (hal. 61 cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), Ibnu Al-Qayyim menukil dari Al-Khallal bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “kalau ada orang yang mengakikahkan dirinya ketika dewasa maka aku tidak mempermasalahkannya.”
Kesimpulannya silahkan bagi yang ingin mengakikahkan dirinya bila belum diakikahkan di waktu kecil. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Bogor, Minggu 24 Mei 2009.
Diedit kembali 11 Juli 2019.
- Al-Buhuti mengatakan dalam Kassyaf Al-Qina’:
( ولا ) يعق ( المولود عن نفسه إذا كبر ) نص عليه
لأنها مشروعة في حق الأب فلا يفعلها غيره كالأجنبي
( فإن فعل ) أي عق غير الأب والمولود عن نفسه بعد أن كبر ( لم يكره ) ذلك ( فيهما ) لعدم الدليل عليها
قلت لكن ليس لها حكم العقيقة
و ( اختار جمع يعق عن نفسه ) استحبابا إذا لم يعق عنه أبوه منهم صاحب المستوعب والروضة والرعايتين والحاويين والنظم
قال في الرعاية تأسيا بالنبي صلى الله عليه وسلم ومعناه في المستوعب
وهو قول عطاء والحسن لأنها مشروعة عنه
ولأنه مرتهن بها
فينبغي أن يشرع له فكاك نفسه
“Tidak perlu mengakikahkan diri ketika telah dewasa. Ini adalah nash Imam Ahmad, karena itu hanyalah disyariatkan untuk para ayah, maka tidak disyariatkan untuk dilakukan orang lain seperti halnya orang asing.
Tapi kalau dia lakukan, seperti orang lain yang mengakikahkan, atau dia sendiri mengakikahkan dirinya sendiri ketika dewasa maka tidak dimakruhkan.
Tidak disyariatkannya mengakikahkan diri sendiri karena tidak ada dalil tentangnya.
Saya (Manshur al-Buhuti) katakan, tapi ini tidak jadi akikah hukumnya.
Tapi ada sebagian ulama kami (Hanbali) yang memilih pendapat istihbab (disunnahkan) mengakikahkan diri sendiri bila ayahnya belum mengakikahkan dirinya.
Pendapat ini dipilih oleh penulis kitab Al Mustaw’ib, Ar-Raudhah, Ar-Ri’ayatain, Al-Hawiyain, dan An-Nazhm.
Dalam Ar-Ri’ayah disebutkan ini demi mengikuti yang dilakukan Nabi saw. Ini pula yang senada dikatakan dalam kitab Al-Mustaw’ib. Ini adalah pendapat ‘Atha’ dan Hasan, karena itu disyariakan dilakukan olehnya lantaran dia tergadai dengan itu, hingga selayaknyalah dia membebaskan dirinya sendiri.”
- Lihat Al-Majmu’ oleh An-Nawawi 8/431:
قَالَ الرَّافِعِيُّ فَإِنْ أَخَّرَ حَتَّى بَلَغَ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي حَقِّ غَيْرِ الْمَوْلُودِ وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الْعَقِيقَةِ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ وَاسْتَحْسَنَ الْقَفَّالُ وَالشَّاشِيُّ أَنْ يَفْعَلَهَا لِلْحَدِيثِ الْمَرْوِيُّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ) وَنَقَلُوا عَنْ نَصِّهِ فِي الْبُوَيْطِيِّ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ وَاسْتَغْرَبُوهُ هَذَا كَلَامُ الرَّافِعِيِّ
وَقَدْ رَأَيْت أَنَا نَصَّهُ فِي الْبُوَيْطِيِّ قَالَ (وَلَا يَعُقُّ عَنْ كَبِيرٍ) هَذَا لَفْظُهُ بِحُرُوفِهِ نَقَلَهُ مِنْ نُسْخَةٍ مُعْتَمَدَةٍ عَنْ الْبُوَيْطِيِّ وَلَيْسَ هَذَا مُخَالِفًا لِمَا سَبَقَ لِأَنَّ مَعْنَاهُ (لَا يَعُقُّ عَنْ الْبَالِغِ غَيْرُهُ) وَلَيْسَ فِيهِ نَفْيُ عَقِّهِ عَنْ نَفْسِهِ
=================
Juga Mughni Al-Muhtaj oleh Al-Khathib Asy-Syarbini 6/139:
فَإِنْ بَلَغَ سُنَّ أَنْ يَعُقَّ عَنْ نَفْسِهِ تَدَارُكًا لِمَا فَاتَ
- Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 26/266-267.
- Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah edisi 2 jilid 10 hal. 456, fatwa nomor 18672.