Profesional Ahlu Sunnah Atsariyah dalam Status Keberadaan

Sikap Proporsional, Profesional Ahlu Sunnah Atsariyah dalam Status Keberadaan (Ontologis/Eksistensialis)

Objek ilmu yang kita kenal sebagai keberadaan atau eksistensi Khaliq dan makhluk secara mandiri termasuk hal dasar yang perlu diketahui dengan baik. Karena, dengan mengenal keberadaan ini, kita bisa mengurai persoalan pelik yang menimpa filsafat, dari dulu hingga zaman modern. Yaitu persoalan yang menyangkut inti keberadaan.

Inti masalah:

Apakah materi/benda (realitas) atau pikiran (Ide) yang pertama dan paling utama?

Keduanya adalah Mazhab yang saling berebut klaim sebagai yang pertama dan utama. Kata materialisme, “Materilah yang pertama dan utama. Pikiran itu hanya cerminan atau citra benda dan materi’. Idealisme tidak mau kalah klaim. Katanya, ‘Idelah yang pertama dan utama. Benda atau materi hanyalah perwujudan dari ide.”

Demikianlah klaim ahli pikir dari kalangan filosof yang tidak tercerahkan oleh wahyu.

Maka pendekatan materialisme dan idealisme saling menafikan dari dulu hingga sekarang. Seolah tidak ada titik temu yang memungkinkan mereka setara, lalu berdiskusi secara elegan agar bisa saling melengkapi. Mereka, pada hakikatnya sepakat pada realitas keberadaan materi. Mereka hanya bertengkar pada persoalan, siapa yang pertama dan utama.

Atas dasar materialisme modern inilah terbentuk sekularisme modern, yang mengatakan bahwa semua yang tidak bisa diukur keberadaannya berdasarkan standar materi (empiris) dianggap tidak ada (nothing/ma’dum). Baik ukuran itu adalah kasat mata atau dengan alat modern yang diciptakan untuk itu. Seperti, teleskop untuk benda-benda langit. Mikroskop untuk benda-benda kecil, dll.

Solusi Islami.

Sebagai pertunjuk dan berita langit yang maha sempurna dan supra rasional, Islam mengatakan, wujud ontologis itu ada 2 sekaligus:

  1. Wujud Pikiran (wujud zihni/internal)
  2. Wujud Materi (wujud khariji/eksternal)

Dengan kedua wujud tersebut, Islam menyatukan status keberadaan dengan cara moderat, seperti karakter Islam secara umum; idealis tanpa kehilangan realitas. Realitas tanpa kehilangan idealisme. Materi dan spiritual sekaligus. Ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah) sekaligus dan seluruh ciri dan karakter kesempurnaan Islam sebagai bukti maha sempurnaNya Allah dari berbagai kekurangan dan kesempurnaan pada setiap hal; pribadi (zat), sifat (karakter) dan perbuatanNya (fi’il).

Ciri Islam yang mengakurkan antara dua hal berbeda dalam sebuah kolaborasi maksimal. Antara rasa dan rasio. Seperti suami istri yang terbentuk dalam sebuah keluarga yang menghasilkan keturunan. Dengan rasionya, suami mengatur kehidupan berumah tangga dengan berupaya objektif. Dan, dengan rasanya seorang istri berinteraksi dengan detil tanggungjawab rumah tangga secara subjektif, terutama anak-anak dengan kasih sayangnya yang dominan.

Itulah ciri makhluk; berpasangan dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Walaupun, kelelakian sebagai simbol kepemimpinan (qiwamah) yang menjadikan akal sebagai basis kepemimpinan. Yaitu rasio fitrawi yang menjadi alasan kenapa manusia semuanya dianggap layak untuk ditugaskan dengan beban syariat (taklif) yang menjadi standar praktis dan prosedural demi membawa kebaikan berupa keadilan dan keihsanan secara maksimal pada hati, lisan, fisik setiap orang. Keluarga, masyarakat, pendidikan, pasar hingga ke level politik kenegaraan. Dengan demikian, kezhaliman bisa diminimalisir karena kini keadilan dan keihsanan merajai seluruh sektor kehidupan.

Baca Juga:  Baik Buruk dalam Internal Ahlu Sunnah dan Muktazilah

Dengan sikap adil dan ihsan ini, Allah dipuji secara baik dan profesional. Setiap pribadi memenuhi kewajibannya kepada mata, telinga, akal dan hati agar mendapatkan hak-haknya untuk menerima petunjuk Allah berupa hidayah yang terpampang secara penuh pada Qur’an sebagai kitab suci dan sunnah nabi sebagai pengawal setiap detil kehidupan. Itulah hidayah. Yaitu terbukanya mata, telinga, akal dan hati menerima petunjuk Allah dan RasulNya pada semua bidang ilmu dan semua bentuk amal. Mulai dari Tauhid teoretis (ilmi) seperti yang ada di surat al-Ikhlas. Dan tauhiid praktis (thalabi) sebagaimana dalam surat al-Kafirun. Juga seperti Penegasan yang terdapat dalam surat al-Fatihah, iyyaka na’budu (hanya Engkau yang kami sembah) dan iyyaka Nastain (hanya Engkau yang kami mintai pertolongan via do’a). Tauhid pada sisi ibadah dan pada aspek doa, yang merupakan perpaduan sempurna antara ibadah dan tawakkal.

Manusia dan seluruh makhluk dari tiada menjadi ada. Ilmu dari kejahilan menuju kecerdasan/pengetahuan.

Sebagai makhluk, manusia dan semua makhluk lainnya, keberadaan mereka sebenarnya karena diciptakan oleh Allah. Mereka diciptakan dari sesuatu yang tidak ada yang serupa dengan mereka sebelumnya. Dengan tegas Allah menghubungkan antara perintah membaca sebagai basis ilmu dan iman dengan pengenalan ringkas tentang diriNya. Yaitu Rab yang memiliki kemampuan mencipta (Khalaq). Dialah sang pencipta manusia dari segumpal darah (melalui proses kelahiran). Dialah pencipta Adam dengan kedua tanganNya yang mulia sebagai bentuk kemuliaan dan penghargaan khusus terhadap Adam a.s. Dia pula dengan kekuasaanNya (qudrah), menciptakan seluruh makhluk.

Demikian pula ilmu, sebelumnya manusia kosong dari pengetahuan. Lalu lewat interaksi antara pikiran/ide dengan realitas berupa materi, mereka mulai menyerap ilmu. Allah hanya menegaskan, bacalah! Sungguh Rabmu maha pemurah (akram). Dialah yang mengajar dengan pena. Sebagaimana Dia pula yang mengajar via wahyu kepada para nabi dan rasul.

Allah; puncak keberadaan. Eksis secara wujud pribadi (zat), karakteristik (sifat) dan perbuatan (fi’il).

Keberadaan Allah secara mendasar dikenal lewat fitrah suci. Kecuali kalau fitrah suci itu bermasalah akibat pengaruh rasio hawa nafsu via filsafat material, baru didebat dengan pengarahan rasional wahyu yang presesi pada setiap argumennya. Argumentasi yang tampak sederhana namun sangat efektif dalam menumpas rasio bermasalah (adillah aqliyah naqliyah). Itulah debat qur’an sunnah dengan kelompok keras kepala, seperti kaum Yahudi, Munafik, Nasrani dan kaum pagan.

Baca Juga:  Makna Diwafatkannya Nabi Isa Di Dalam Al-Qur'an

Keberadaan Allah secara pribadi diinformasikan bahwa dia maha hidup (hayyy). KehidupanNya sangat sempurna. Tidak kenal lesu, loyo, ngantuk, tidur dan sakit, seperti yang menimpa makhlukNya. Sebagai konsekwensi dari kehidupanNya yang sempurna, Dia maha sibuk mengurus seluruh makhluk (Qayyum). Dunia akhirat diurus, baginya tidak ada beban dan tidak ada rasa berat. Itulah substansi ayatul kursi.

Kejadian di Alam Karena IzinNya (baik karena keridhaanNya (ibadah) atau karena kebencianNya (maksiat).

Sebagai konsekwensi dari rububiyahNya yang meliputi seluruh alam, maka tidak ada kejadian dan peristiwa yang terjadi tanpa izinNya. Jika keburukan, itu berarti bukti bahwa Allah mengizinkannya terjadi dengan beberapa hikmah:

  • Bukti bahwa manusia memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini manusia akan terbukti trac recordsnya sebagai orang beriman atau orang kafir atau orang musyrik atau munafik.
  • Sekaligus Allah menyatakan bahwa semua hal tersebut dibenci olehNya, walaupun Dia mengizinkan hal tersebut terjadi.

Jika kebaikan, berarti itu diizinkan sekaligus dicintai dan diridhai olehNya. Itulah hidayah taufik.

Mudahnya Ketaatan, ibadah dan ketakwaan karena faktor iman dan keyakinan. Mudahnya kekafiran, nifak dan syirik karena karena kikir dan tidak mau memberi dengan tulus serta tidak merasa butuh terhadap Allah dan tidak percaya adanya Surga.

Lalu kenapa ada orang dimudahkan untuk taat/patuh penuh cinta? Karena mereka memberi waktu untuk Allah dan akhiratnya disertai ketakwaan yang melatari tindakan mereka. Mereka juga sangat percaya adanya surga yang begitu indah. Sehingga keimanan mereka membuat segalanya dimudahkan oleh Allah. Demikianlah ilmu dan amal menghasilkan istiqomah dan sikap konsistensi dalam beragama.

Ada juga yang begitu berat melakukan ketaatan. Sebabnya, tidak adanya perhatian terhadap agama dan hilangya rasa butuh terhadap Allah. Di samping itu, mereka juga tidak percaya amat akan adanya surga.

Demikianlah, titah Allah. Rasulullah menegaskan, “Semuanya dimudahkan sesuai kadar ketetapan terkait penciptaan mereka”. Semoga kita senantiasa dikawal oleh Allah agar menetapi jalan lurus menuju kepadaNya. Menjauhkan kita dari kemurkaan dan kesesatan. Aamiin.

Citayam, 30 Juni 2023

Ustadz H. Idrus Abidin, Lc.. M.A
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah al-Manar (STIS) Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.