Pembagian tauhid bersifat “istiqra’i”1 , yaitu merupakan hasil ijtihadi dari telaah mendalam dan terperinci terhadap teks Al Quran dan As Sunnah terkait dengan Allah –Ta’ala-.
Dalam membagi jenis-jenis tauhid, terdapat perbedaan dikalangan Ahlusunnah wal Jama`ah, antara lain;
Membagi tahuid kepada tiga jenis, yaitu:
- Tauhid rububiyah, yaitu mengikrarkan bahwa Allah –Ta`alah- adalah Tuhan segala sesuatu, Ialah Pemilik, Pencipta, dan Pemberi rezki, serta Ialah Yang menghidupkan dan mematikan, memberi manfaat dan madarat, hanya Ialah yang dapat mengabulkan doa, segala usurun kembali kepada-Nya, segala kebaikan berada ditangan-Nya, Maha Kuasa atas segalanya, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal tersebut.
- Tauhid uluhiyah, yaitu tauhid yang didasarkan pada keikhlasan beribadah kepada Allah –Ta’ala-, baik yang ibadah bersifat “qalbiyah”, seperti tawakkal, mahabbah, khasyyah, khauf, rajaa, dan lainya, atau ibadah “badaniyah”, seperti shalat, berdo’a, zakat, puasa, haji, dan lainnya. tanpa menyekutukan-Nya dengan siapa dan apa pun.
- Tauhid asmaa wa sifaat, menetapkan bahwa Allah –Ta’la- memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang baik, sempurna dan layak bagi keagungan-Nya, sebagaimana yang Allah –Ta’ala- tetapkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah, seperti “Ar Rahmaan, Ar Rahiim, Al Khaliiq, Al Aziiz, Al Hayyu, Al Qayyuum, dan sifat-sifat-Nya, seperti al ghadhab, al hub, as sam’u, al basharu, al istiwa, an nuzuul, al yadain, al’ain, dan lainnya. Seluruh nama dan sifat Allah –Ta’ala-, termasuk yang dicontohkan tersebut, wajib diimani dan dipahami maknanya sesuai dengan lafaz menurut bahasa aslanya yaitu bahasa Arab tanpa melakukan “tahriif” atau “ta’thiil” (penyimpangan), “ta’thiil” (penafian), “takyiif” (menanyakan bagaimana hakikatnya atau cara dan bentuknya), “tamtsiil” dan “tasybiih” (permisalan dan penyerupaan dengan makhluk).
Sebagian ulama membagi tauhid menjadi empat, yaitu tauhid “ar rububiyah”, “al uluuhiyah”, “al asma wa ash shifaat” serta menambahkan “tauhid al ittiba’ atau tauhid al haakimiyah, yaitu berhukum dengan Al Quran dan As Sunnah. Akan tetapi, kalau dicermati, tauhid “Al haakimiyah” sebenarnya masuk dalam kategori tauhid tauhid “al uluuhiyah”, karena pada dasarnya ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat, yaitu “ikhlas” (semata untuk Allah –ta’ala-) dan “mutaaba`ah” (sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah).
Mayoritas ulama terdahulu membagi tauhid menjadi dua jenis dengaan istilah yang berbeda, namun subtansinya sama, berikut penjelasannya;
- Jenis pertama adalah “tauhid al ma’rifah” atau “tauhid al itsbaat”2. Jenis ini tak lain adalah “tauhid rububiyah” dan “asmaau wa shifaat”, karena mengenal Allah tidak terwujud kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-Nya. Sedangkan istilah “itsbaat” merujuk pada penetapan seluruh nama dan sifat serta perbuatan yang telah ditetapkan oleh Allah –Ta’ala- untuk-Nya.
Jenis kedua adalah “tauhid al qashdu” atau “ath thalab”. Jenis ini masuk dalam kategori “tauhid al uluuhiyah”, karena seorang hamba menyembah beribadah kepada Allah –Ta’ala- dengan segenap hati, lisan dan anggota tubuhnya penuh rasa takut dan harapan demi menuntut ridha Allah –Ta’ala- semata.
- Jenis pertama adalah “tauhid al ‘ilmi alkhabari”3 . Sama halnya dengan pembagian sebelumnya, jenis ini masuk dalam kategori “tauhid rubuubiyah” dan “tauhid asmaa dan shifaat”. Istilah “tauhid’ilmi” digunakan merujuk pada pengetahuan seorang hamba terhadap Rabnya, sedangkan istilah “tauhid khabari” merujuk pada penetapan sifat-sifat dan nama-nama Allah serta perbuatan-Nya harus berdasarkan “khabar” yaitu berita atau informasi dari Al Quran atupun As Sunnah.
Jenis kedua adalah “tauhid al iradi ath thalabi”. Jenis masuk dalam kategori “tauhid uluuhiyah”, Karena seorang hamba dalam beribadah didasari oleh “iradah” (keinginan), sehingga dengan itu ia bisa memilih antara mau beribadah atau tidak. Sedangkan istilah “tauhid ath thalabi”, karena seorang hamba dalam beribadah kepada Allah –Ta’ala- didasari oleh tuntutan demi mendapat atau mencari keridhaan Allah –Ta’ala- semata.
- Jenis pertama adalah “tauhid Qawli”. Jenis ini masuk dalam kategori “tauhid rubuubiyah” dan “asmaa wa sifaat” karena berkaitan dengan sisi “’ilmi” atau pengetahuan terhadap nama-nama dan sifat-sifat serta perbuatan Allah –Ta’ala-.
Jenis kedua adalah “tauhid `amali”. Tauhid ini masuk dalam kategori “tauhid uluuhiyah”, karena berkaitan dengan amalan hati, lisan, dan anggota tubuh lainnya. Maka secara garis besar, tauhid memiliki dua sisi, yaitu sisi pembenaran dengan ilmu, dan sisi kepatuhan dengan amal.
- Tauhid As Siyadah dan Tauhid Ibadah; Jenis pertama yaitu “tauihid assiyadah” masuk dalam kategori “tauhid rubuubiyah dan asmaa wa shifaat”, istilah “siyadah” menunjukkan bahwa Allah –Ta’ala- dengan kekhususan nama-nama dan sifat-sifat serta perbuatan-Nya lebih utama, melebihi segala sesuatu, Allah -Ta`ala- bertindak terhadap segala yang dikehendaki-Nya.
Jenis kedua adalah “tauhid ibadah”, dari segi namanya, sudah jelas bahwa jenis ini masuk dalam kategori “tauhid uluuhiyah”.
Dasar argumentasi pembagian tauhid kepada tiga jenis.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi –rahimahullah- mengatakan, “berdasarkan proses penalaran induktif, maka secara umum Al Quran menunjukkan bahwa tauhid terbagi tiga, yaitu rubuubiyah, uluuhiyah, asmaa dan sifaat.
Syaikh Bakar Abu Zaid –hafidzahullah- mengatakan, “pembagian –tauhid kepada tiga jenis- merupakan hasil penalaran induktif dari para ulama salaf, seperti Ibnu Mandah, Ibnu Jarir Ath Thabari, dan lainnya. lalu ditegaskan juga oleh Ibnu Taimiyah, bnu Al Qayyim, Az Zabaidi dalam kitab “Taaju Al ‘Aruus”, dan Asy Syinqithi dalam kitab “Adhwaau Al Bayaan”, dan lainnya. Pembagian tersebut merupakan hasil telaah secara menyeluru terhadap nas atau teks syar’I, ia bersifat umum, sebagaimana para ahli nahwu yang menelaah ungkapan-ungkapan orang Arab, lalu menyimpulkannya menjadi isim, fi`il, dan huruf, padahal orang Arab sendiri tidak menggunakan pembagian dan istilah tersebut sebelumnya, namun demikian, tidak seorang pun yang mempermasalahkannya…6 .
Pembagian tauhid sudah ada sejak awal dimulainya kodifikasi masalah-masalah akidah, berikut beberapa bukti yang memperkuat hal tersebut;
Pertama, Al Imam Abu Hanifah (w.150), berkata dalam kitabnya “Al Fiqhu Al Absath”:
“والله يدعى من أعلى، لا من أسفل، لأن الأسفل ليس من وصف الربوبية والألوهية في شيء”
“Allah dimintai melalui doa dari atas bukan dari bawah, karena arah bawah sama sekali bukan sifat rububiyah dan uluhiyah” . Pernyataan beliau tersebut, jelas mengukuhkan tiga bagian tauhid, yaitu pertama, penyebutan sifat “al ‘uluw” bagi Allah –Ta’ala- yang masuk dalam kategori tauhid “al asmaa dan ash shifat”, kedua, penyebutan sifat rububiyah, yang masuk dalam kategori tauhid “rububiyah”, dan ketiga penyebutan sifat “uluhiyah”, yang masuk dalam kategori tauhid “uluhiyah”.
Kedua, Ibnu Jarir Ath Thabari (w.310) ketika menafsirkan firman Allah –Ta`ala- dalam surat Muhammad, ayat 19:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۢبِكَ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مُتَقَلَّبَكُمۡ وَمَثۡوَىٰكُمۡ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”
Beliau menjelaskan berkata:
“فاعلم يا محمد، أنه لا معبود تنبغي أو تصلح له الألوهية، ويجوز لك وللخلق عبادته إلا الله الذي هو خالق الخلق، ومالك كل شيء، يدين له بالربوبية ما دونه”
“Maka ketahuilah, wahai Muhammad, bahwa sesungguhnya tidak ada sesmbahan yang pantas atau layak mendapatkan sifat uluhiyah, serta boleh disembah olehmu dan seluruh makhluk kecuali hanya Allah Pencipta seluruh makhluk, dan Pemilik segala sesuatu, semuanya tunduk kerububiahan-Nya”
Ketiga, Ubaidullah bin Muhammad bin Baththtah Al `Ukbari (304-387) menyebutkan dalam kitabnya “Al Ibanah” sebagai berikut:
“وذلك أن أصل الإيمان بالله الذي يجب على الخلق اعتقاده في إثبات الإيمان به ثلاثة أشياء…”
”Demikianlah, bahwa pokok kimanan kepada Allah yang wajib diyakini oleh hamba-Nya dalam mengukuhkan iman kepada-Nya ada tiga hal;
- Meyakini sifat “rabbaniyah” Allah –Ta’ala- agar menyelisihi mazhab ahli ta’thil yang tidak menetapkan zat yang menciptakan.
- Meyakini sifat “wahdaniyah” Allah –Ta`ala- agar menyelisihi mazhab ahli syirik yang menetapkan Sang Pencipta, akan tetapi mereka menyekutukan-Nya dengan makhluk dalam ibadah.
- Meyakini bahwa Allah disifati dengan sifat-sifat yang tidak mungkin dinafikan dari-Nya, seperti sifat al`ilmu, al qudrah, al hikmah, dan seluruh sifat-sifat yang Ia sifatkan untuk diri-Nya dalam Al Quran,,,9.
Keempat, Muhammad bin Ishaq bin Yahya bin Mandah (310-395), dalam menjelaskan perkara tauhid dalam kitab “At Tauhid” beliau menjelaskan tentang tiga jenis tauhid, yaitu rubuubiyah, uluuhiyah, dan asmaa wa sifaat, hal itu dipertegas oleh peneliti buku tersebut, yaitu Doktor Ali Al Faqihi, beliau menyebutkan bahwa penulis buku “At Tauhid” yaitu Ibnu Mandah membagi tauhid kedalam empat sub bahasan, meliputi pembahasan tersendiri terkait “asmaaullah al husna”, lalu diikuti dengan pembahasan tentang sifat-sifat Allah. Adapun pembagian jenis tauhid yang ia sebutkan adalah, wahdaniyah dalam rububiyah Allah, tauhid uluuhiyah yaitu realisasi syahadah “laa ilaaha illallah”, serta tauhid asmaa al husna, dan sifat-sifat-Nya” .
Kelima, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad An NAisaburi Al Hairi Al Murta`isy (w.328) berkata:
“أصول التوحيد ثلاثة: معرفة الله بالربوبية، والإقرار له بالوحدانية، ونفي الأنداد عنه جملة”
“Pokok tauhid ada tiga; mengenal Allah dengan sifat “rubuubiyah”, mengikrarkan wahdaniyah-Nya, dan menafikan sekutu-sekutu dari Allah secara menyeluruh”11
Keenam, Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al Bisti (w.354) menyebutkan dalam mukaddimah kitabnya “Raudhaatu Al `Uqalaa Wa Nuzhatu Al Fudhalaa” tiga bagian tahuid, yaitu rubuubiyah, uluuhiyah, dan asmaa wa sifaat. Beliau berkata:
“الحمد لله المتفرد بوحدانية الألوهية المتعزز بعظمة الربوبية القائم على نفوس العالم بآجالها والعالم بتقلبها وأحوالها المان عليهم بتواتر آلائه المتفضل عليهم بسوابغ نعمائه الذي أنشأ الخلق حين أراد بلا معين ولا مشير وخلق البشر كما أراد بلا شبيه ولا نظير فمضت فيهم بقدرته مشيئته ونفذت فيهم بعزته إرادته”
“Segala puji bagi Allah Yang Tunggal dalam keesaan uluhiyah-Nya, Yang Maha Mulia dengan keagungan rububiyah-Nya, Yang Megawasi jiwa-jiwa, Maha Mengetahui ajal-ajalnya, Maha Mengetahui perubahan dan keadannya, memberinya karunia yang tiada henti, Yang bermurah dengan limpahan berbagai nikmat kepadanya, Yang menumbuhkan makhluk manakala ia menghendaki tanpa penolong dan pengarah, Yang menciptakan manusia sesuai yang dikehendaki-Nya tanpa serupa dan tandingan, takdir dan kehendak-Nya telah ditetapkan dan berlaku bagi mereka dengan segala kemuliaan dan kehendak-Nya…”12.
Ketujuh, Abu Bakar Muhammad bin Walid Ath Thurthusyi Al Maliki (w.520) berkata dalam mukaddimah kitabnya “Siraaju Al Muluuk”:
“وأشهد له بالربوبية والوحدانية. وبما شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى. والصفات العلى. والنعت الأوفى…”
“Dan saya menetapkan rububiyah dan wahdaniyah-Nya, serta apa saja yang Ia tetapkan untuk diri-Nya berupa nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang tinggi serta sempurna…”13.
Kedelapan, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi Al Maliki (w.671) ketika menafsirkan basmalah di surat Al Fatihah, beliau berkata:
“… فَاللَّهُ اسْمٌ لِلْمَوْجُودِ الْحَقِّ الْجَامِعِ لِصِفَاتِ الْإِلَهِيَّةِ، الْمَنْعُوتِ بِنُعُوتِ الرُّبُوبِيَّةِ، الْمُنْفَرِدِ بِالْوُجُودِ الْحَقِيقِيِّ، لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ …”
“Lafaz “Allah” adalah nama yang menunjukkan Wujud Yang Hak, Yang mengumpulkan seluruh sifat-sifat Ilahiyah, dan disifati dengan sifat-sifat rububiyah, tunggal dalam wujud yang hakiki, tidak ada Tuhan berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Suci”14.
Ketika menjelaskan tentang tiga tingkatan syirik, ia menyinggung jenis-jenis tauhid, ia berkata:
” الشِّرْكُ عَلَى ثَلَاثِ مَرَاتِبَ وَكُلُّهُ مُحَرَّمٌ؛ وَأَصْلُهُ اعْتِقَادُ شَرِيكٍ لِلَّهِ فِي أُلُوهِيَّتِهِ، وَهُوَ الشِّرْكُ الْأَعْظَمُ وَهُوَ شِرْكُ الْجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: (إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذلِكَ لِمَنْ يَشاءُ). وَيَلِيهِ فِي الرُّتْبَةِ اعْتِقَادُ شَرِيكٍ لِلَّهِ تَعَالَى فِي الْفِعْلِ، وَهُوَ قَوْلُ مَنْ قَالَ: إِنَّ مَوْجُودًا مَا غَيْرَ اللَّهِ تَعَالَى يَسْتَقِلُّ بِإِحْدَاثِ فِعْلٍ وَإِيجَادِهِ وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ كَوْنَهُ إِلَهًا…”
“Syirik ada tiga tingkatan, semuanya haram; intinya adalah meyakini adanya sekutu bagi Allah dalam sifat uluhiyah-Nya, inilah jenis syirik yang paling besar, dan merupakan syirik jahiliyah, jenis syirik ini pula lah yang dimaksud dalam firman Allah –Ta`ala- dalam surat An Nisa, ayat 48:
“إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا” (النساء: 48).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Selanjutnya adalah meyakini adanya sekutu bagi Allah –Ta’ala- dalam perbuatan-Nya, seperti orang yang mengatakan, “Ada wujud selain Allah –Ta’ala- yang dapat bertindak secara mandiri (menafikan peran Allah –Ta`ala-) mengadakan dan mewujudkan suatu perbuatan” sekalipun ia tidak meyakininya sebagai Tuhan…”15.
Syaikh bin Baaz –rahimahullah- menegaskan bahwa pembagian tauhid kepaada tiga jenis merupakan hasil telaah dan pendalaman terhadap nas-nas Al Quran dan Al Hadits, bahkan ada yang menambah jenis lain atau yang keempat, yaitu “tauhid al mutaab`ah” yang juga berdasarkan telaah dan pendalaman.
Orang yang mentadabburi Al Quran, akan menemukan kenyataan di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengajak untuk ikhlas beribadah kepada Allah –Ta’ala-, itulah yang menjadi landasan “tauhid uluhiyah”, juga terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah –Ta’ala- adalah “Al Khaliq” (Pencipta), “Ar Raaziq” (Pemberi Rezki), dan “Al Mudabbir” (Pengatur segala urusan), ayat-ayat ini yang menjadi landasan “tauhid rbubiyah”, jenis inilah yang juga diyakini oleh orang-orang musyrik, namun demikian, tetap tidak menjadikan mereka dianggap sebagai orang-orang Islam, serta ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah –Ta’ala- memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang tinggi, tidak serupa dan setara dengan apapun, inilah yang menjadi landasan “tahid uluhiyah”, jenis inilah yang diingkari oleh sebagian kelompok dalam Islam, seperti kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, Musyabbihah, dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Semantara itu, terdapat pula ayat yang menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam- dan menolak segala yang bertentangan dengan syariatnya, ini yang menjadi dasar “tauhid mutabaah”16.
Jadi, secara umum ayat-ayat yang terkandung dalam Al Quran serta hadits-hadits Rasulullah –sallallahu alaihi wasallam- yag terkait dengan perkara tauhid, tidak lepas dari ketiga atau keempat jenis pembagian tauhid tersebut, dan semuanya merupakan satu kesatuan dalam akidah Islam. Seseorang belum bisa dianggap “muwahhid” atau ahli tauhid belum mengimani seluruh jenis tauhid tersebut, walaupun dia meyakini salah satu bagiannya.
Oleh sebab itu, sekalipun orang-orang musyrik meyakini sisi rububiyah Allah –Ta`ala- sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran berikut, mereka tetap tidak dianggap muwahhid.
Mereka meyakini bahwa Allah-lah Yang menciptakan langit dan bumi, serta Yang mengatur peredaran matahari dan bulan, sebagaiman disebutkan dalam surat Al Ankabut, ayat 61, surat Luqman, ayat 25, dan surat Az Zumar, ayat 38. Allah berfirman;
“وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ” (العنكبوت: 61).
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”.
Mereka meyakini bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan yang menyuburkan bumi, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al Ankabut, ayat 63, Allah berfirman;
“وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ مِنۢ بَعۡدِ مَوۡتِهَا لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ” (العنكبوت: 63)
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”.
Mereka meyakini bahwa Allah-lah Yang menciptakan mereka, sebagaimana disebutkan dalam surat Az Zukhruf, ayat 87, Allah berfirman:
“وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ” (الزخرف: 87)
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”.
Namun kenyatannya, Allah tetap menyifati mereka sebagai kaum yang berpaling dari kebenaran dan menyebut mereka sebagai musyrikin, sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf, ayat 106, Allah –Ta`ala- berfirman:
“وَمَا يُؤۡمِنُ أَكۡثَرُهُم بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ” (يوسف: 106).
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”.
Ibnu Abbas –radiallahu anhuha- berkata, “sisi keimanan mereka adalah, apabila mereka ditanya, siapa yang menciptakan langit, bumi, gunng? Mereka menjawab, “Allah, padahal mereka musyrik”17.
Ikrimah berkata, “jika kamu bertanya kepada mereka, siapa yang menciptakan mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka menjawab, Allah, itulah sisi keimanan mereka kepada Allah, padahal mereka juga menyembah selain-Nya”18.
Mujahid berkata, “iman mereka nampak dari apa yang mereka ucapkan, bahwa Allah Yang menciptakan kami, Yang memberi rezeki, dan Yang mematikan kami, ini adalah bentuk keimanan dibarengi oleh kesyirikan beribadah kepada selain-Nya”19.
Meskipun mereka mengimani sisi rububiyah Allah tersebut mereka tetap tidak bisa dianggap ahli tauhid. Penyebabnya adalah kekufuran mereka dari sisi uluhiyah, yaitu menyekutukan Allah dalam ibadah tindakan, perkataan, dan hati diantara contohnya:
Mereka menyembah Tuhan selain Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Furqan, ayat 55:
“وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَنفَعُهُمۡ وَلَا يَضُرُّهُمۡۗ وَكَانَ ٱلۡكَافِرُ عَلَىٰ رَبِّهِۦ ظَهِيرٗا” (الفرقان: 55).
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. Adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya”.
Mereka sujud kepada selain Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat An Naml, ayat 24:
“وَجَدتُّهَا وَقَوۡمَهَا يَسۡجُدُونَ لِلشَّمۡسِ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَعۡمَٰلَهُمۡ فَصَدَّهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ فَهُمۡ لَا يَهۡتَدُونَ” (النمل: 24)
“Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk”.
Mereka berdoa kepada selain Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Hajj, ayat 12:
“يَدۡعُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُۥ وَمَا لَا يَنفَعُهُۥۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلضَّلَٰلُ ٱلۡبَعِيدُ” (الحج: 12).
“Ia menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”.
Mereka mencintai sesembahan mereka seperti mencintai Allah –Ta`ala-, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Baqarah, ayat 165:
“وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادٗا يُحِبُّونَهُمۡ كَحُبِّ ٱللَّهِۖ ” (البقرة: 165).
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”.
Tauhid uluhiyah merupkan konsekuensi dari tauhid rububiyah, dengan kata lain; keyakinan seseorang terhadap uluhiyah Allah –Ta’ala- merepukan realisasi dari tauhid “rububiyah” yang benar. Maka seseorang yang mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang telah menciptakannya, serta seluruh alam ini, sudah seharusnya ia menyembah Allah –Ta’ala- tanpa menyekutukan-Nya, dengan apapun dan dalam bentuk dan cara bagaimanapun.
Adapun orang yang yang tidak meyakini rububiyah Allah –Ta`ala-, maka sudah tentu dia tidak akan merealisasikan “tauhid uluhiyah”. Oleh karenanya, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bin Zaid berkata, “tidak seorang pun yang menyembah sesuatu selain Allah, kecuali berangkat dari keimanan kepada Allah, menyadari bahwa Allah adalah Tuhannya, Allah juga Yang menciptakan dan memberinya rezeki, sedangkan dalam waktu yang sama dia juga menyembah selain-Nya…”20
Adapun orang yang meyakini “rububiyah” dan “uluhiyah” Allah -Ta’ala- serta merealisasikannya, namun menyimpang dari sisi tauhid “asmaa dan sifaat”, seperti menyamakan hakikat nama dan sifat Allah –Ta’ala- dengan makhluk-Nya, atau tidak mengimani hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah –Ta’ala- baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian, yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah, atau menyelewengkan maknanya, maka tauhidnya tidak sempurna, dan bisa berimbas kepada kekufuran jika itu dilakukan dengan sengaja, sebagaimana disebutkan oleh Imam Syafi’i;
“لله أَسمَاء وصفات لَا يسع أحدا ردهَا وَمن خَالف بعد ثُبُوت الْحجَّة عَلَيْهِ فقد كفر وَأما قبل قيام الْحجَّة فَإِنَّهُ يعْذر بِالْجَهْلِ لِأَن علم ذَلِك لَا يدْرك بِالْعقلِ وَلَا الروية والفكر”
“Allah –Ta`ala- memiliki nama-nama dan sifat-sifat, tidak boleh seorang pun menolaknya, siapa yang menentang setelah ada hujjah menetapkannya, maka dia sungguh telah kafir, adapun sebelum hujjah ditegakkan, maka ia dapat dimaklumi karena ketidak tahuan, lagi pula untuk mengetahui perkara tersebut tidak bisa hanya dengan akal, pendapat, dan pikiran…”21.
Al Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata:
“قال القاضي: وممن كفره بذلك – أي بجهل الصفة – ابن جرير الطبري، وقاله أبو الحسن الأشعري أولاً. وقال الآخرون: لا يكفر بجهل الصفة، ولا يخرج به عن اسم الإيمان بخلاف جحدها، وإليه رجع أبو الحسن الأشعري، وعليه استقر قوله؛ لأنه لم يعتقد بذلك اعتقاداً يقطع بصوابه….، وإنما يكفر من يعتقد أن مقالته حق…”
“Al Qadhi berkata, “diantara ulama yang mengkafirkan –orang yang tidak mengetahui sifat Allah- adalah Ibnu Jarir Ath Thabari, pada awalnya Abu Al Hasan Al Asy`ari juga berpendapat demikian. Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa orang yang tidak tahu sifat Allah tidak dikafirkan, dan ketidak tahuannya tersebut tidaklah menyebabkan ia keluar dari keimanan, berbeda jika ia memang mengingkari dengan sengaja, pendapat kedua inilah yang akhirnya dipegang oleh Abu Al Hasan Al Asyari sebagia pendapatnya yang tetap; dengan alasan bahwa orang tersebut mengingkari karena tidak tahu, dan bukan didasari oleh keyakinan bahwa itulah yang benar…. Akan tetapi yang dikafirkan adalah orang yang mengigkari sifat Allah atas dasar keyakinan bahwa pendapatnya itulah yang benar…”22.
Dalil pembagian tauhid kepada tiga jenis.
Pembagian tauhid menjadi tiga jenis berdasarkan banyak dalil, baik dari Al Quran maupun As Sunnah. Bahkan, surat Al Fatihah saja sebenarnya sudah cukup menjadi dalil yang mencakup ketiganya; uluhiyah, rububiyah, dan asmaa dan sifaat23. Berikut pemaparan beberapa dalil terkait pembagian tiga jenis tauhid tersebut;
- Tauhid rubuubiyah, diantara dalil yang mendasari tauhid rubuubiyah;
Firman Allah dalam surat Al Fatihah, ayat 1, menyebutkan bahwa Allah adalah “Rab” sekalian alam:
“ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ” (الفاتحة: 2)
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Firman Allah dalam surat Al A`raf, ayat 54, menyebutkan bahwa Allah lah yang mencipta dan memerintah:
“… أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ” (الأعراف: 54)
“…Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.
Firman Allah dalam surat Ar Ra`d, ayat 16, menyebutkan bahwa Allah adalah “Rab” langit dan bumi:
“قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ قُلِ ٱللَّهُۚ …”
“Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”..
Firman Allah, dalam surat Al Mukminun, ayat 84-89, menyebutkan Allah Yang memiliki bumi dan seisinya, “Rab” tujuh susun langit dan “`Al Arsy” yang agung, di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari-Nya:
“قُل لِّمَنِ ٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ، قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ، قُلۡ مَنۢ بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيۡءٖ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيۡهِ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ، سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ فَأَنَّىٰ تُسۡحَرُونَ” (المؤمنون: 84-89)”
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?”, Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”, Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”, Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”, Katakanlah: “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”, Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”
Firman Allah, dalam surat Az Zumar, ayat 62, bahwa Allah lah Yang menciptakan segala sesuatu, serta memelihara segalaNya.
“ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ” (الزمر: 62).
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”.
- Tauhid Uluuhidayah, diantara dali-dalil yang menunjukkan aspek tauhid uluuhiyah Allah –Ta`ala-, adalah sebagai berikut:
Firman Allah dalam surat Al Fatihah, ayat 1 dan 6, bahwa Allah adalah Zat Yang berhak disembah, dan dimintai pertolongan:
“… ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ … إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ” (الفاتحة: 2/5)
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam…. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”.
Firman Allah, dalam surat Al Baqarah, ayat 21, perintah kepada manusia untuk menyembah Allah:
“يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ” (البقرة: 21)
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”,
Firman Allah, dalam surat Az Zumar, ayat 2-3, juga perintah untuk ikhlas menyembah Allah –Ta`ala-:
“إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُ،ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَٰذِبٞ كَفَّارٞ” (الزمر: 2-3).
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar”.
Firman Allah, dalam surat Al Bayyinah, ayat 5, perintah ikhlas beribadah kepada Allah –Ta`ala-:
“وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ …” (البينة: 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
- Tauhid Asmaa dan Sifaat, berikut beberapa dalil yang menunjukkan aspek tauhid asmaa dan sifaat bagi Allah –Ta`ala-:
Firman Allah, dalam surat Al Fatihah yang menetapkan nama “Ar Rahmaan” dan “Ar Rahiim”, serta “Al Malik” bagi Allah -Ta`ala-:
“الرحمن الرحيم… مالك يوم الدين…”
“Allah Yang “Ar Rahmaan” dan “Ar Rahiim”… “Malik” (Maha Raja) di hari pembalasan”.
Firman Allah, dalam surat Al Israa, ayat 110 yang menjelaskan bahwa Allah memiliki nama-nama yang baik:
“قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ …” (الإسراء: 110)
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)…”.
Firman Allah, dalam surat Maryam, ayat 65 yang menafikan tandingan bagi Allah –Ta`ala-:
“رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِيّٗا” (مريم: 65).
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”.
Firman Allah, dalam surat Asy Syura, ayat 11, yang menafikan permisalan bagi Allah, dan menetapkan nama “As Samii` dan Al Bashiir” bagi Allah:
فَاطِرُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ أَزۡوَٰجٗا يَذۡرَؤُكُمۡ فِيهِۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ” (الشورى: 11)
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”.
Berdasarkan pemaparan tersebut, beberapa poin penting dapat disimpulkan, sebagai berikut;
- Pembagian tauhid bukan perkara tauqifiyah, seseorang tidak dituntut untuk bertauhid dengan pembatasan dan penggunaan istilah tertentu, akan tetapi wajib mentauhidkan Allah –Ta’ala- dalam seluruh aspek yang meliputi pembagian tersebut berapapun bagian dan apapun namanya, selama itu didasari oleh dalil-dalil syar’i; Al Quran dan As Sunnah.
- Pembagian tauhid bukanlah perkara baru dalam khazanah keilmuan Islam.
- Pembagian dan penggunaan istilah-istilah dalam mengidentifikasi jenis-jenis tauhid telah ada sejak dimulainya pengkodifikasian ilmu-ilmu Islam, yaitu sekitar akhir abad pertama Hijriyah.
- Pembagian tauhid muncul agar mudah mengidentifikasi sisi-sisi kekeliruan dalam mentauhidkan Allah –Ta`ala-, sehingga kekeliruan tersebut dapat dicegah dan dihindari.
- Pembagian tauhid kepada tiga aspek atau jenis, didasari oleh telaah mendalam dan menyeluruh terhadap nas-nas Al Quran dan As Sunnah.
- Tiga aspek tauhid merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan wajib direalisasikan oleh orang beriman, mengingkari atau keliru dalam memahami salah satu dari aspek tauhid tersebut, berimbas pada ketidak sempurnaan tauhid dan kekufuran.
Tim Cyber Atsari.
- Adhwaau Al Bayaan, Muhammad Amin Asy Syinqithi, 3/410. At Tahdziir Min Mukhtashsaraat Ash Shabuni Fi At Tafsir, Bakar Abu Zaid. Thariiqu Al Hijratain, Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah, hlm. 30, Lawaami’u Al Anwaar, Assaffaarini, 1/128.
- Madaariju As Saalikiin, Ibnu Al Qayyim, 3/449.
- Ash Shafadiyah, Ibnu Taimiyah, 2/2228. Madaariju As Saalikiin, Ibnu Al Qayyim, 3/450.
- Mu’taqadu Ahli As Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid Al Asmaai wa Ash Shifaat, Muhammad bin Khalifah At Tamimi, hlm. 37.
- Adhwaau Al Bayaan, Muhammad Al Amiin Asy Syinqiti, 3/410.
- At Tahdziir Min Mukhtasharaat Ash Shaabuni Fi At Tafsiir, Bakar Abu Zaid, 133 Hasyiyah, no. 2, bagian dari bantahan, cet. 1/1414, Daar Al ‘Ashimah Ar Riyadh).
- Al Fiqhu Al Absath, An Nu’man bin Tsabit, hlm. 51.
- Jami’u Al Bayaan, Ath Thabari, 26/53-54.
- Al Ibanah, Ibnu Baththah, 1/172-173.
- Attauhid Ibnu Mandah, 1/33. Tahqiiq Ali bin Nashir Al Faqiihi, Cet. Al Jami’ah Al Islamiyah, Al Madinah Al Munawwarah. Lihat juga “Al Qaul As Sadiid Fi Arraddi ‘Ala Man Ankara Taqsiim At Tauhiid, Abdurrazzaq Al Badr, Cet. Daar Ibnu Affaan.
- Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab “Al Hilyah, 10/356.
- Raudhatu Al ‘Uqalaa Wa Nuzhatu Al Fudhalaa, Ibnu Hibban Al Bisti, ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Adul Hamid, Daaru Al Kutub, Beirut, hlm. 14.
- Siraaju Al Muluuk, Abu Bakar Ath Thurthusyi, hlm. 3.
- Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, 1/102.
- Tafsir Al Qurthubi, 5/118.
- Mahmuu’ Fataawa wa Maqalaat Mutanawwi’ah, Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, 6/215.
- Jaami’u Al Bayaan fii Ta’wiil Al Quran, Muhammad bin jarir Ath Thabari, 16/286.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid. Jaami’ Al Bayaan, 16/289.
- Idhaahu Ad Dalil Fi Qath’I Hujaj Ahli At Ta’thiil, Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah Al Kinani Asy Syafi’I, ditahqiq oleh Wahbi Sulaiman Ghauji, Cet. 1, Daar Assalaam: Mesir, 1/35.
- Srahu Muslim, An Nawawi, 5/598-599.
- Madaariju As Saalikiin, Ibnu Al Qayyim, 1/24.