Penegakkan Hujjah Menurut Ibnu Taimiyah

Penegakkan Hujjah Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah membagi masalah yang mengkafirkan (mukaffirah) menjadi dua:

  1. Masalah yang jelas (mas`alah zhahirah)
  2. Masalah yang samar (mas`alah khafiyyah)

Yang jelas adalah di mana semua orang tahu baik alim maupun orang awam bahkan orang kafir pun tahu bahwa itu adalah bagian dari agama Islam. Misalnya bahwa shalat lima waktu itu wajib, puasa Ramadhan itu wajib, makan babi itu haram, zina itu haram, minuman keras itu haram. Yang begini non muslim pun tahu bahwa dalam agama Islam itu dilarang sehingga kalau kita bertamu di rumah orang non muslim di pedalaman sana misalnya dia tidak akan menyuguhkan minuman keras maupun daging babi kepada kita.

Ada pun masalah yang samar adalah masalah yang hanya diketahui oleh para penuntut ilmu, karena harus belajar dulu dan juga jarang tersebar di masyarakat. Misalnya masalah rincian nama dan sifat Allah, masalah tawassul bahkan istighatsah karena banyak ulama dan tokoh agama yang menghalalkannya sehingga orang awam tidak mudah mengetahui mana yang benar mana yang salah dalam masalah ini.

Untuk masalah yang jelas maka Ibnu Taimiyah membagi subyek orang yang mengingkarinya atau jahil terhadapnya menjadi dua kategori:

  1. Orang yang berkesempatan untuk tahu
  2. Orang yang tak berkesempatan untuk tahu

Dia berkata dalam Majmu’ Fatawa:

وَأَمَّا ” الْفَرَائِضُ الْأَرْبَعُ ” فَإِذَا جَحَدَ وُجُوبَ شَيْءٍ مِنْهَا بَعْدَ بُلُوغِ الْحُجَّةِ فَهُوَ كَافِرٌ وَكَذَلِكَ مَنْ جَحَدَ تَحْرِيمَ شَيْءٍ مِنْ الْمُحَرَّمَاتِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرُ تَحْرِيمُهَا كَالْفَوَاحِشِ وَالظُّلْمِ وَالْكَذِبِ وَالْخَمْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Adapun kewajiban yang empat (shalat, zakat, puasa dan haji –penerj) bila ada yang mengingkari kewajibannya setelah sampainya hujjah maka dia kafir. Demikian pula yang mengingkari haramnya sesuatu yang telah jelas mutawatir keharamannya seperti haramnya fahisyah (zina dan sejenisnya), kezaliman, dusta, khamer dan lain-lain.” — Majmu’ Fatawa jilid 7 hal. 609 – 610

Artinya di sini, orang yang telah sampai hujjah artinya telah tahu bagaimana ajaran Islam sebenarnya lalu dia mengingkari hukum tersebut maka dia kafir.

Dalam kitab Ar-Radd ‘alal Manthiqiyyiin Ibnu Taimiyah memberi contoh bila ada orang yang mengatakan, “Masalah ini tidak mutawatir pada diriku sehingga tidak bisa ditegakkan hujjah padaku.” Tinggal dikatakan kepadanya, “Kamu harus mendengar sebagaimana orang lain mendengar, maka dengan itu terhasillah ilmu (pengetahuan).” Ini sama juga dengan orang yang tidak mengakui telah terbit hilal (bulan baru) karena dia tidak melihatnya.

Untuk menjawab itu Ibnu Taimiyah mengatakan,

ومن جواب هؤلاء أن حجة الله برسله قامت بالتمكن من العلم فليس من شرط حجة الله تعالى علم المدعوين بها.
ولهذا لم يكن إعراض الكفار عن استماع القرآن وتدبره مانعا من قيام حجة الله تعالى عليهم وكذلك إعراضهم عن استماع المنقول عن الأنبياء وقراءة الآثار المأثورة عنهم لا يمنع الحجة إذ المكنة حاصلة.

“Untuk menjawab mereka: hujjah Allah itu telah tegak dengan adanya tamakkun (kesempatan dan kemampuan) untuk mendapatkan ilmu. Bukanlah syarat tegaknya hujjah Allah itu harus ada pengetahuan dari orang yang didakwahi. Makanya, penolakan orang kafir untuk mendengar Al-Qur`an atau ketidakmuan mereka mentadabburinya bukanlah penghalang tegaknya hujjah Allah atas diri mereka. Begitupun keengganan mereka mendengarkan berita dari para Nabi, membaca riwayat-riwayat dari mereka, semua itu tidak menjadi penghalang tegaknya hujjah, karena tamakkun (kesempatan dan kemampuan untuk mendapatkan informasi) telah terhasil.” — Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyyiin hal. 99, terbitan Dar Al-Ma’rifah

Makanya, ketika akses untuk mendapatkan ilmu dan mengetahui hukum agama yang elementer sudah bisa didapatkan, tidak ada lagi uzur bagi orang yang masa bodoh, karena mereka sendiri yang malas mencari tahu. Dengan begitu, mereka bisa dikafirkan secara ta’yin bila melakukan pembatal keislaman yang sudah jelas dan disepakati semua ulama, sampai-sampai orang non muslim pun tahu bahwa itu diwajibkan atau dilarang dalam agama Islam ini.

Baca Juga:  Jika Tidak Percaya Bahwa Allah Berkalam Dengan Suara

Dalam syarh Al-‘Umdah beliau mengatakan,

هذا أصل مضطرد في مباني الإسلام الخمسة وفي الأحكام الظاهرة المجمع عليها من مكلف أن كان الجاحد لذلك معذورا مثل أن يكون حديث عهد بالإسلام أو قد نشأ ببادية هي مظنة الجهل بذلك لم يكفر حتى يعرف أن هذا دين الإسلام لأن أحكام الكفر والتأديب لا تثبت إلا بعد بلوغ الرسالة لا سيما فيما لا يعلم بمجرد العقل

“Ini adalah dasar umum dalam rukun Islam yang lima serta hukum-hukum yang jelas disepakati oleh semua mukallaf. Meski bila ada yang mengingkari masih diberikan uzur seperti bila dia baru masuk Islam atau tumbuh di negeri yang kejahilan merebak di sana sehingga tidak dikafirkan sampai dia tahu bahwa ini adalah agama Islam, karena hukum pengkafiran dan pendisiplinan tidak bisa ditetapkan kecuali setelah sampainya risalah, apalagi untuk masalah yang tidak bisa diketahui hanya dengan akal.” — Syarh Al-Umdah, kitab Ash-Shalaah hal. 51

Kemudian beliau menyebutkan beberapa ayat Al-Qur`an tentang itu. Di sini jelas bahwa yang diberi uzur adalah yang memang belum sampai risalah agama ini kepadanya. Mungkin dia sekedar tahu akan Islam karena keturunan tapi tidak ada da’i atau ulama yang datang ke tempatnya mengajarkan agama, atau aksesnya kepada dunia pendidikan dan informasi terputus, dan itu masih ada di beberapa tempat di negeri ini dan negeri-negeri lainnya. Bahkan ada negara yang rezimnya sengaja memutus rakyatnya dari informasi luar, sehingga bisa jadi penduduknya tak pernah kenal dengan bangsa lain atau perkembangan apapun, konon Korea Utara seperti itu.

Akan tetapi berbeda dengan tempat yang mana akses ilmu dan informasi sudah mudah didapatkan, tinggal lagi orangnya mau tahu apa tidak. Maka itu sudah masuk kategori dalam kalimat Ibnu Taimiyah selanjutnya,

فالإنذار لمن بلغه القرآن بلفظه أو معناه فإذا بلغته الرسالة بواسطة أو بغير واسطة قامت عليه الحجة وانقطع عذره

“Peringatan itu berlaku bagi yang Al-Qur’an telah sampai kepadanya dengan redaksi dan makna. Jika Al-Qur’an telah sampai baik dengan perantara maupun tanpa perantara berarti tegaklah hujjah atas dirinya dan tak ada lagi uzur.” — Ibid, hal. 51

Kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan keadaan lain yaitu orang yang telah sampai hujjah kepadanya,

فأما الناشئ بديار الإسلام ممن يعلم أنه قد بلغته هذه الأحكام فلا يقبل قوله أي لم أعلم ذلك ويكون ممن جحد وجوبها بعد أن بلغه العلم في ذلك فيكون كافرا كفرا ينقل عن الملة سواء صلاها مع ذلك أو لم يصلها وسواء اعتقدها مستحبة أو لم يعتقد وسواء رآها واجبة على بعض الناس دون بعضا أو لا وسواء تأول في ذلك أو لم يتأول لأنه كذب الله ورسوله وكفر بما ثبت أن محمدا صلى الله عليه وسلم بعث به

“Adapun yang tinggal di negeri Islam di mana dipastikan telah sampai hukum-hukum ini kepadanya maka tidak diterima kalau dia mengaku tidak tahu. Maka siapa yang mengingkari kewajiban shalat setelah sampainya ilmu dia akan dianggap kafir keluar dari Islam terlepas dia shalat atau tidak. Juga sama saja apakah dia meyakini hukumnya hanya sunnah (bukan wajib), atau dia memandang shalat ini hanya wajib bagi orang tertentu sementara orang tertentu lainnya tidak wajib. Sama saja apakah dia menkawil atau tidak menakwil, karena semua itu adalah pendustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan ingkar bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus membawa hukum tersebut.” — Ibid, hal. 52

Jadi, menurut Ibnu Taimiyah orang yang telah sampai hukum Islam kepadanya tidak lagi bisa diuzur karena ketidaktahuan, karena itu merupakan keteledoran dirinya sendiri yang mengabaikan agama, atau menganggap agama ini tidak penting untuk dipelajari dan membiarkan dirinya dalam kebodohan.

Baca Juga:  Menguburkan Di Dalam Masjid Tidak Diperbolehkan

Terakhir Ibnu Taimiyah memberikan kaidah tentang orang zindiq, dan ini banyak tak disadari oleh para penguzur kekafiran lantaran jahil atau syubhat. Zindiq sendiri artinya dia memang punya kesengajaan untuk merusak agama ini, baik lantaran kepentingan pribadi atau bekerja untuk musuh Islam. Insya Allah akan ada bahasan tersendiri tentang zindiq.

Dalam Majmu’ Fatawa jilid 11 hal. 405 Ibnu Taimiyah menyebutkan,

وَهَذَا الَّذِي اتَّفَقَ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ هُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ لَا يَتَنَازَعُونَ فِي ذَلِكَ وَمَنْ جَحَدَ وُجُوبَ بَعْضِ الْوَاجِبَاتِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ: كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَصِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ أَوْ جَحْدِ تَحْرِيمِ بَعْضِ الْمُحَرَّمَاتِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ: كَالْفَوَاحِشِ وَالظُّلْمِ وَالْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالزِّنَا وَغَيْرِ ذَلِكَ. أَوْ جَحْدِ حِلِّ بَعْضِ الْمُبَاحَاتِ الظَّاهِرَةِ الْمُتَوَاتِرَةِ: كَالْخُبْزِ وَاللَّحْمِ وَالنِّكَاحِ. فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ يُسْتَتَابُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ

“Dan inilah yang disepakati oleh para sahabat Nabi dan para imam kaum muslimin bahwa yang mengingkari wajibnya beberapa hukum yang telah jelas dan mutawatir seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, Haji, atau tidak mau mengharamkan sebagian keharaman yang telah jelas dan mutawatir seperti fahisyah (zina dan semua yang berhubungan dengan dosa kelamin –penerj) kezaliman, khamer, judi, zina dan lain sebagainya, atau menolak penghalalan hal yang mubah yang sudah jelas dan mutawatir kebolehannya seperti halalnya roti, daging, nikah maka dia kafir murtad. Dia harus diminta bertobat kalau tidak mau maka dihukum mati.”

Di sini berlaku untuk hukum orang yang mengingkari secara umum baik karena tidak tahu atau berusaha mencari takwil. Lalu selanjutnya Ibnu Taimiyah bicara tentang jenis yang lebih spesifik yaitu zindiq, dia berkata,

وَإِنْ أَضْمَرَ ذَلِكَ كَانَ زِنْدِيقًا مُنَافِقًا لَا يُسْتَتَابُ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ؛ بَلْ يُقْتَلُ بِلَا اسْتِتَابَةٍ إذَا ظَهَرَ ذَلِكَ مِنْهُ.

“Kalau dia menyembunyikan itu (pendapatnya bahwa yang wajib tidak wajib dan yang haram tidak haram –penerj) maka dia adalah zindiq munafiq tak perlu lagi dimintai bertobat. Begitu dia menampakkan pendapatnya itu maka dia dihukum mati tanpa diminta bertobat.”

Lalu beliau memberi contoh beberapa kalangan zindiq yang membolehkan perbuatan haram termasuk membolehkan zina atau liwath dengan dalil milkul yamin,

وَقَدْ يَسْتَحِلُّونَ الْفَاحِشَةَ الْكُبْرَى كَمَا يَسْتَحِلُّهَا مَنْ يَقُولُ: إنَّ التلوط مُبَاحٌ بِمِلْكِ الْيَمِينِ

“Kadang mereka sampai menghalalkan fahisyah kubra (homoseks) sebagaimana yang menghalalkannya dengan dalih itu boleh atas dasar milkul yamin.”

Di sini maksudnya ada orang yang membolehkan perbuatan liwath kepada budaknya atas dasar milkul yamin boleh digauli. Padahal yang dibolehkan hanya menggauli budak wanita, sementara yang pria tetap haram karena perbuatan homoseks tidak pernah dihalalkan dengan akad apapun. Wallahu a’lam.

Intinya, orang zindiq kadang luput dari perhatian para ulama penguzur kejahilan. Padahal betapa banyak toeri yang mengubah hukum syariat ini berdasarkan ghazwul fikri dari para zindiq yang sengaja ingin mengubah Islam dari dasarnya. Termasuk mereka yang mau mengubah hukum waris, membolehkan nikah sejenis dan lain-lain. Mereka itu bukan jahil, tapi zindiq. Wallahu a’lam.

Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
Bekasi, 6 Januari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *