Aqidah Imam Ibnu al-Jauzi Dalam Pandangan Ulama Mazhab Hambali

Tidak dipungkiri bahwa imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah adalah salah satu tokoh dan ulama besar dalam mazhab Hambali. Beliau telah menuliskan karya-karya berharga untuk kaum muslimin yang dirasakan manfaatnya hingga hari ini. Semoga Allah membalas semua kebaikannya dengan surga.

Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah, dalam hal fiqh memang seorang Hambali. Tapi, dalam perkara akidah terkhusus pada sifat-sifat Allah, ulama-ulama madzhab Hambali menjelaskan bahwa beliau tidak mewakili akidah imam Ahmad bin Hambal rahimahullah.

Hal ini ditegaskan oleh imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah ketika menyebutkan biografi imam Abu al-Fadhl Ishaq bin Ahmad al-Alatsi Al-Hambali rahimahullah.

Beliau berkata:

وارسل رسالة طويلة إلى الشيخ أبي الفرج بن الجوزي بالانكار عليه فيما يقع في كلامه من الميل ألى أهل التأويل

“Dan beliau menulis satu surat yang cukup panjang kepada Syaikh Abu al-Faraj Ibni al-Jauzi rahimahullah, berupa pengingkarannya terhadap perkataannya yang condong pada kelompok yang suka menakwil (ayat-ayat sifat Allah).”

(Ibnu Rajab al-Hmabli, Dzail Thabaqaat al-Hanabilah, jilid 4, hal.205, Daar al-Ma’rifah-Beirut, T.cet, T.Th)

Disini, imam al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali menegaskan sebab penulisan surat tersebut, yaitu bahwa imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah condong pada kelompok ahli takwil. Walau demikian, beliau tidaklah mengikuti kelompok Asya’irah. Sebab dalam karyanya yang lain, beliau tegas mencela pemahaman Al-Asy’ari.

Dalam risalah Imam Ishaq bin Ahmad al-Alatsi al-Hambali rahimahullah tersebut menyebutkan:

واعلم قد كثر النكير عليك من العلماء والفضلاء والأخيار في الافاق بمقالتك الفاسدة في الصفات… واذا تأولت الصفات على اللغة وسوغته لنفسك وأبيت النصيحة فليس هو مذهب الامام الكبير أحمد بن جميل قدس الله روحه فلا يمكنك الإنتساب إليه بهذا..

“Ketahuilah, telah banyak pengingkaran terhadapmu dari para ulama dan orang-orang mulia serta orang-orang terbaik di seluruh ufuq akan perkataannmu yang rusak dalam perkara sifat-sifat Allah. … Dan jika engkau menakwilkan ayat-ayat sifat Allah berdasarkan bahasa lalu engkau bolehkan hal itu terhadap dirimu dan mengabaikan nasehat, maka itu bukanlah Mazhab Imam besar, imam Ahmad bin Hambal semoga Allah menyucikan ruhnya. Olehnya, engkau dalam hal ini tidak bisa menisbatkan dirimu kepadanya.

(Ibnu Rajab al-Hmabli, Dzail Thabaqaat al-Hanabilah, jilid 4, hal.206-210, Daar al-Ma’rifah-Beirut, T.cet, T.Th)

Pada penggalan kalimat surat ini, beliau menjelaskan sangat banyak ulama yang mengingkari perkataan Ibnu al-Jauzi rahimahullah. Bahkan disebutkan dalam surat itu pula bahwa orang-orang yang mengambil ilmu kepada Ibnu al-Jauzi rahimahullah ketika pulang ke rumah mereka, mereka mencela perkataan Ibnu al-Jauzi rahimahullah tersebut dalam masalah sifat Allah.

Baca Juga:  Argumentasi Rasional Ahlu Sunnah Atsariyah Tentang Posisi Rasio Dalam Studi Akidah/Teologi (Mengenal Allah) – Bagian Kedua

Maka, sekali lagi, para ulama Mazhab Hambali telah mengingkari apa yang diyakini oleh imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah tersebut.

Ilmu Kalam memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan ulama pada zaman dahulu. Diantara mereka, bahkan ada yang mengetahui keyakinan para salaf dalam masalah sifat yaitu melakukan itsbat makna tanpa mengetahui kaifiyahnya. Hanya saja, karena pengaruh ilmu Kalam itu, diantara mereka ada yang tidak memilih perkataan salaf dan condong pada takwil. Misalnya, imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya, ketika menyebutkan firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 54, beliau berkata:

وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك ، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله . ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة . وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته ، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته . قال مالك رحمه الله : الاستواء معلوم – يعني في اللغة – والكيف مجهول ، والسؤال عن هذا بدعة . وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها . وهذا القدر كاف ، ومن أراد زيادة عليه فليقف عليه في موضعه من كتب العلماء . والاستواء في كلام العرب هو العلو والاستقرار

“Para salaf Radhiyallahu ‘anhum dahulu tidak berkata dengan menafikan arah dan tidak berkata pula dengannya. Mereka seluruhnya berkata dengan mengitsbat (menetapkan) untuk Allah sebagaimana yang KitabNya sebutkan dan yang dikabarkan para rasulNya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkari bahwa Aah bersemayam di atas ArsyNya secara hakikat. Allah mengkhususkan ArsNya karena ia merupakan makhlukNya yang paling agung. Hanya saja, mereka tidak tahu bagaimana kaifiyah bersemayam itu, sehingga tidak mengetahui hakikatnya seperti apa. Imam Malik berkata, “Istiwa (bersemayam) itu sesuatu yang telah diketahui -yaitu dari sisi bahasa- tapi kaifiyahnya (tata caranya) tidak diketahui, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Demikianlah perkataan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ini sudah cukup, dan siapa yang ingin penjelasan lebih silahkan ia kembali pada buku-buku ulama. Dalam bahasa Arab, Istiwa itu bermakna tinggi dan istiqrar (menetap).

(al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Tahqiq Dr. Hamid Ahmad ath-Thahir, Jilid 4, Juz 7, hal. 151, Daar al-Ghad al-Jadid-Kairo, cet. 1, 1431 H.)

Walau beliau mengetahui ini adalah keyakinan para salaf, tapi belia berkeyakinan bahwa makna Istiwa adalah suatu ibarat dari ketinggian akan keagunganNya, kerajaanNya, serta sifat.

Olehnya, para ulama sangat memperingati kaum muslimin dari pengaruh ilmu Kalam ini. Sebab, jika terpengaruh olehnya, seseorang bisa saja menolak sifat yang telah Allah sebutkan untuk diriNya sendiri.

Baca Juga:  Sebab dan Alasan Timbulnya Syubhat Rasional Seputar Kalamullah.

Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata:

“Dahulu para salaf menisbatkan penakwilan ayat-ayat sifat dan hadits-hadits sahih pada kelompok Jahmiyah. Karena Jahm dan pengikutnya adalah kelompok yang pertama kali terkenal bahwa mereka meyakini Allah disucikan dari apa yang ditunjukkan oleh nash-nash berdasarkan dalil akal, yang mereka namakan sebagai dalil-dalil yang pasti dan ini sebagai sesuatu yang muhkam. Lalu mereka anggap bahwa lafaz-lafaz kitab dan sunnah sesuatu yang mutasyabih hingga menolak apa yang terkandung padanya berdasarkan khayalan-khayalan mereka. Mereka menerima apa yang Tsabit berdasarkan klaim mereka dan menolak yang dinafikan berdasarkan klaim mereka. Mereka sesuai dengan seluruh kelompok ahli Kalam dari kalangan Muktazilah dan selainnya…Para ulama salaf dan imam-imam Islam seperti imam Syafi’i, Imam Ahmad rahimahumallah dan selain mereka berdua tidaklah melarang ilmu Kalam dan memperingatkan manusia darinya kecuali karena khawatir akan terjatuh dalam perkara seperti itu.

(Ibnu Rajab al-Hanbali, Fathul Bari Fi Syarh Sahih Bukhari, Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin Awadhullah bin Muhammad, Jilid 5, hal. 75, Daar Ibnu al-Jauzi-Damam, cet. 1, 1440 H).

Dan hidayah hanyalah milik Allah Azza wajalla. Kita bersyukur, sebagian ulama ahli Kalam seperti imam Abul Hasan al-Asy’ari, Al-Baqillani, al-Juwaini rahimahumullah yang dahulu terjatuh dalam penakwilan terhadap sifat-sifat Allah, diakhir hayatnya taubat dan kembali pada Mazhab salaf, sebagimana kabar dari imam al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah setelah menyebutkan marhalah kedua beliau, yaitu bahwa beliau menakwilkan sebagian sifat Allah pada marhalah tersebut namun mengitsbat sebagian. Ketika menyebutkan marhalah ketiga imam Abul Hasan al-Asy rahimahullah beliau berkata,

“Dan marhalah ketiga dari kehidupan Abul Hasan adalah mengitsbat seluruh sifat Allah tanpa mentakyifnya, tanpa tasybih, dan memahaminya sesuai pemahaman salaf. Itulah jalan beliau dalam al-Ibanah yang merupakan kitab terakhir yang beliau tulis dan kemudian disyarh oleh imam al-Baqillani dan dinukil oleh imam Ibnu al-Asakir. Ini pula keyakinan al-Baqillahni yang beliau condong padanya, juga imam al-Haramian dan selainnya dari imam-imam madzhab yang terdahulu pada akhir perkataan mereka.

(Ibnu Katsir, Thabaqaat al-Fuqahaa ay-Syafi’iyyin, Tahqiq Muhamma Ahmad Abdul Halim, Jilid 1, hal.265, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, cet.1, 1439 H.)

Semoga Allah berikan kita semua hidayah pada jalan yang benar

Aamiin.

Ustadz M Ode Wahyu

Da’i Wahdah Islamiyyah Sulawesi Tenggara, alumni STIBA Makassar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *