Adapun mengenai berwudu dengan air yang berubah karena bercampur sesuatu yang suci, maka mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa campuran benda suci tidak menghilangkan sifat “mutlak” pada air. Hanya saja, Hanafiyah mensyaratkan bahwa perubahan itu bukan karena dimasak atau yang semisalnya, karena hal itu mengeluarkannya dari sebutan “air” (secara mutlak). Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Bayhaqi dari Ummu Hani’ radhiyallāhu ‘anhā: “Bahwa Rasulullah ﷺ mandi bersama Maimunah dari satu bejana, dalam sebuah wadah yang di dalamnya terdapat sisa adonan.” Seandainya air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci, tentu Nabi ﷺ tidak akan mandi dengannya.
Al-‘Allāmah Ibn Nujaym berkata dalam al-Baḥr ar-Rā’iq (1/71, cet. Dār al-Kitāb al-Islāmī):
(قَوْلُهُ: وَإِنْ غَيَّرَ طَاهِرٌ أَحَدَ أَوْصَافِهِ) أَيْ يَجُوزُ الْوُضُوءُ بِالْمَاءِ وَلَوْ خَالَطَهُ شَيْءٌ طَاهِرٌ فَغَيَّرَ أَحَدَ أَوْصَافِهِ الَّتِي هِيَ الطَّعْمُ وَاللَّوْنُ وَالرِّيحُ، وَهَذَا عِنْدَنَا
“(Ucapannya: ‘Jika sesuatu yang suci mengubah salah satu sifatnya’) maksudnya: boleh berwudu dengan air meskipun ia bercampur dengan sesuatu yang suci dan mengubah salah satu sifatnya—baik rasa, warna, ataupun baunya—dan ini adalah pendapat kami (mazhab Hanafi).”
Karena menurut madzhab Hanafi biarpun air tadi berubah lantaran kemasukkan benda suci yang mengubah bau atau rasa atau warna selama airnya tetap dominan maka dia tetaplah air mutlak yang suci dan mensucikan.
Kecuali bila air itu sudah mengeras dan dominan terasa tanah sampai berat mengalir maka dia sudah termasuk lumpur yang tak bisa lagi dipakai bersuci. Disebutkan dalam al-Fatāwā al-Hindiyyah sebagai berikut:
وَلَوْ تَوَضَّأَ بِمَاءِ السَّيْلِ يَجُوزُ وأن خَالَطَهُ التُّرَابُ إذَا كان الْمَاءُ غَالِبًا رَقِيقًا فُرَاتًا أو أُجَاجًا وان كان ثَخِينًا كَالطِّينِ لَا يَجُوزُ بِهِ التَّوَضُّؤُ
“Apabila seseorang berwudu dengan air banjir, maka hal itu boleh meskipun bercampur dengan tanah, selama air tersebut tetap dominan, ringan, dan mengalir (jernih atau mengalir seperti air pada umumnya). Namun jika air itu menjadi sangat pekat seperti lumpur kental, maka tidak boleh berwudu dengannya.” (al-Bākhī, 1892, 1:21)
Sementara dalam madzhab Maliki kita dapati pernyataan Al-Qurṭubī berkata dalam tafsirnya:
الْمِيَاهُ الْمُنَزَّلَةُ مِنَ السَّمَاءِ وَالْمُودَعَةُ فِي الْأَرْضِ طَاهِرَةٌ مُطَهِّرَةٌ عَلَى اخْتِلَافِ أَلْوَانِهَا وَطُعُومِهَا وَأَرْيَاحِهَا حَتَّى يُخَالِطَهَا غَيْرُهَا، وَالْمُخَالِطُ لِلْمَاءِ عَلَى ثَلَاثَةِ أضرب: ضرب يوافقه فِي صِفَتَيْهِ جَمِيعًا، فَإِذَا خَالَطَهُ فَغَيَّرَهُ لَمْ يَسْلُبْهُ وَصْفًا مِنْهُمَا لِمُوَافَقَتِهِ لَهُمَا وَهُوَ التُّرَابُ
“Air yang diturunkan dari langit dan yang tersimpan di bumi adalah suci dan menyucikan, meskipun berbeda warna, rasa, dan baunya—hingga ada sesuatu yang bercampur dengannya. Adapun benda yang bercampur dengan air ada tiga jenis: jenis pertama adalah sesuatu yang sesuai dengan air dalam dua sifatnya sekaligus; maka apabila ia bercampur dengan air lalu mengubahnya, hal itu tidak menghilangkan salah satu dari dua sifat tersebut karena kesesuaiannya dengan air, dan contohnya adalah tanah.” (Tafsir al-Qurthubi, cet. 1964, jilid 13, hal. 41-42)
Dari pernyataan ini dipahami bahwa air tetap memiliki status suci dan menyucikan meskipun berubah warna, rasa, atau baunya karena bercampur dengan sesuatu yang merupakan bagian darinya, seperti tanah, karena tanah adalah salah satu unsur yang menjadi bagian dari air. Campuran tersebut terjadi secara alami dan sesuai dengan asal penciptaannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum asal sesuatu tetap sebagaimana keadaannya semula.
Sementara madzhab Syafi’I konsepnya adalah semua benda suci yang tak bisa dilepaskan dari tempat asal air maka dia tak merusak sifat thahurnya air itu, patokannya adalah yang tak bisa dipisahkan (kecuali dengan penyulingan modern) atau susah menghindarinya karena memang bagian dari fenomena alam. Misalnya daun yang jatuh, ikan yang bersarang sehingga air jadi berbau anyir karena banyaknya ikan dan lain-lain.
Asy-Syirazi mengatakan dalam Al-Muhadzdzab:
وإن تغير أحد أوصافه من طعم أو لون أو رائحة نظرت، فإن كان مما لا يمكن حفظ الماء منه كالطحلب، وما يجري عليه الماء من الملح والنورة وغيرهما جاز الوضوء به؛ لأنه لا يمكن صون الماء منه، فعفي عنه
““Apabila salah satu sifat air—rasa, warna, atau baunya—berubah, maka diperhatikan (penyebabnya). Jika perubahan itu berasal dari sesuatu yang tidak mungkin menghindarkan air darinya, seperti lumut, atau benda-benda seperti garam, nūrāh (kapur), dan lainnya yang dilalui air, maka boleh berwudu dengan air tersebut; karena tidak mungkin menjaga air dari hal-hal tersebut, maka hal itu dimaafkan.”
Al-Nawawī berkata dalam masalah ini:
وَأَمَّا الْمُتَغَيِّرُ بِمَا لَا يُمْكِنُ صَوْنُ الْمَاءِ عَنْهُ، كَالطِّينِ، وَالطُّحْلُبِ، وَالْكِبْرِيتِ، وَالنُّورَةِ، وَالزِّرْنِيخِ، فِي مَقَرِّ الْمَاءِ وَمَمَرِّهِ، وَالتُّرَابِ الَّذِي يَثُورُ وَيَنْبَثُّ فِي الْمَاءِ، وَالْمُتَغَيِّرِ بِطُولِ الْمُكْثِ، وَالْمُسَخَّنِ، فَطَهُورٌ
“Adapun (air yang) berubah karena sesuatu yang sulit menjaga air darinya, seperti tanah liat yang lembut, tanah liat yang licin, kapur, belerang, nūrāh (sejenis bahan kimia pembersih), dan zarnīkh (arsenik), yang berada pada tempat mengalirnya air atau jalur air; serta debu yang berterbangan dan jatuh ke dalam air; dan (air) yang berubah karena lama tersimpan; serta (air) yang dipanaskan—(semuanya) tetap suci dan menyucikan (ṭahūr).” (al-Nawawī, Raudhatu Ath-Thalibin jild 1, hal.10)
Dari pernyataan ini dipahami bahwa jika air tidak mungkin dijaga dari benda-benda yang biasanya menyertai dan menempel padanya—dan air mengalir dalam keadaan tersebut sebagai kondisi yang wajar baginya—maka air tersebut tetap ṭahūr (suci dan dapat menyucikan). Oleh karena itu, air banjir yang bercampur dengan tanah adalah ṭahūr (suci dansucikan).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/25) mengatakan:
الثاني ما لا يمكن التحرز منه، كالطحلب، وسائر ما ينبت في الماء، وكذلك ورق الشجر الذي يسقط في الماء، أو تحمله الريح فتلقيه فيه، وما تجذبه السيول من العيدان والتبن ونحوه، فتلقيه في الماء، وما هو في قرار الماء كالكبريت والقار وغيرهما إذا جرى عليه الماء فتغير به، أو كان في الأرض التي يقف فيها الماء، فهذا كله يعفى عنه؛ لأنه يشق التحرز منه
“Jenis kedua adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, seperti lumut dan semua yang tumbuh di dalam air; demikian pula daun-daun pohon yang jatuh ke dalam air, atau yang terbawa angin lalu terjatuh ke dalamnya; juga benda-benda yang terbawa banjir seperti ranting, jerami, dan semisalnya lalu terbawa ke dalam air; serta benda-benda yang berada di dasar air seperti belerang, aspal, dan lainnya, apabila air mengalir melewatinya lalu berubah karenanya, atau benda-benda tersebut berada di tanah tempat air itu tergenang. Semua hal ini dimaafkan, karena sulit untuk menghindarinya.”
Di sini, illat sifat thahur pada air itu adalah kesulitan menghindari, karena mana mungkin menghindari air banjir dari sentuhan terhadap lumpur dan benda lain yang disapunya. Padahal dia tetaplah air yang membasahi dan bisa membersihkan. Lihatlah betapa banyak orang bisa cuci piring dan baju dari air banjir, atau dari air muara sungai atau parit yang butek sebab lumpur yang memang tak bisa dipisahkan dari air itu. Semua tetap menamakan itu air, sehingga dia menjadi air mutlak.
Berdasarkan hal tersebut, kami memandang bahwa hukum asal air banjir adalah suci, sehingga boleh digunakan untuk bersuci guna menghilangkan hadas dan najis, asalkan tidak berubah salah satu sifatnya karena pencampuran yang berlebihan. Jika air bercampur dengan sesuatu yang suci dengan campuran yang sangat dominan, maka air itu suci tetapi tidak dapat menyucikan. Adapun jika bercampur dengan benda najis, maka air tersebut menjadi najis.
Inilah hukum air banjir dari sisi fikih secara umum. Namun, harus dilihat juga dari sisi lain, yaitu kesehatan dan medis. Tidak diragukan bahwa air banjir adalah air yang tercemar sehingga berdampak buruk pada kesehatan manusia. Dengan demikian, apabila air banjir membahayakan tubuh manusia, maka penggunaannya haram dan wajib dihindari.
Berdasarkan ini, perlu dibedakan antara hukum kesucian air banjir dan hukum penggunaannya untuk minum atau memasak.
Ringkasan hukum air banjir adalah sebagai berikut:
- Hukum asal air banjir adalah suci dan boleh digunakan untuk bersuci.
Jika ditemukan air lain dari sumber yang lebih bersih, maka air tersebut lebih utama digunakan untuk bersuci. - Hukum asal air banjir adalah membahayakan, sehingga tidak boleh digunakan untuk minum atau keperluan lainnya, kecuali dalam keadaan darurat.
Ustadz Anshari Taslim, Lc.
Mudir Pesantren Bina Insan Kamil – DKI Jakarta
28 November 2025


