Rasionalitas Islam Versi Salaf & Khalaf - Sebuah Perbandingan Karakter

Rasionalitas Islam Versi Salaf & Khalaf – Sebuah Perbandingan Karakter

Tulisan ini mendiskripsikan tentang rasionalitas Islam yang memiliki prinsip berbeda antara kalangan intelektual klasik (Salaf, Ahlul Hadits dan Fuqaha) dengan kalangan intelektual belakangan (Khalaf dan Ahlu Kalam). Tujuan tulisan ini untuk mendalami karakter rasionalitas Islam antara yang bentuknya fitrawi dan mutlak, sebagai mana tabiat Islam itu sendiri; dengan jenis rasionalitas yang sifatnya perolehan (iktisabi) dan nisbi berdasarkan pada corak pemikiran, peradaban, ideologi bahkan agama yang melatarinya. Tulisan ini bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dan perbandingan. Teknik pengumpulan datanya lebih bersifat library research. Data primer berupa rasionalitas Islam dalam bidang teologi. Sedang data sekunder berupa metode dan karakteristik (ushul) teologi intelektual klasik (salaf) dan cendekiawan belakangan (khalaf).

Rasionalitas Islam adalah sebuah corak berpikir logis yang bertumpu pada penuturan al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai referensi utama (Syari’ah). Referensi yang bertumpu pada teks-teks (nash) keagamaan yang diyakini tidak mungkin salah. Dan, inilah basis utama rasionalitas Islam. Di luar tradisi intelektual Islam berkembang pula corak pemikiran filsafat material yang menganggap bahwa asal muasal semua pengetahuan adalah materi. Ide dan pemikiran, termasuk rasionalitas hanyalah efek dari pengetahuan material ini. Inilah yang belakangan dikenal dengan filsafat empirisme yang dicetuskan di masa lalu oleh Aristoteles. Sedang di zaman modern dikembangkan oleh John Locke. Selain itu, berkembang juga filsafat rasional. Yaitu sebuah metode berpikir yang menyatakan bahwa akal/rasio/ide adalah inti pengetahuan. Materi hanyalah efek dari pikiran. Muncullah mazhab filsafat baru yang dikenal dengan istilah idealisme dalam filsafat pengetahuan yang dipelopori oleh Plato di masa klasik dan Descartes pada zaman modern.

Metode Rasionalitas ilmuwan dan intelektual klasik lebih bertumpu pada teks-teks keagamaan yang bersifat literal dan menjauhi upaya penyesuaian makna lahiriah teks dan konteks (makna kiasan) dengan metode takwil, pengalihan pemaknaan dengan cara tahrif, penyerahan makna kepada Allah dengan cara tafwid, penyerupaan Allah dengan makhlukNya melalui upaya tamtsil dan tasybih dan menganulir makna teks dengan cara ta’thil. Dengan metode ini, rasionalitas intelektual dan cendekiawan klasik lebih fitrawi dan selaras dengan maksud utama Islam serta tidak menghasilkan perbedaan kotradiktif (ikhtilaf tadhad) yang susah diakurkan melalui metode tarjih dan semisalnya dalam internal mereka. Kalaupun terjadi perbedaan, paling hanya bersifat variatif (tanawwu). Inilah akal sharih yang dikembangkan dalam tradisi pemikiran rasional ulama klasik sebagai antitesis dari akal perolehan (iktisabi) yang dikembangkan ulama khalaf. Prosedurnya pun berbeda. Rasionalitas salaf menyeleksi secara ketat kriteria teks dan rasio sebelum melakukan proses rasionalisasi menjadi 3 bagian. Pertama, akal sebenarnya dan swabukti (qath’i dan badihi) dan wahyu sebenarnya dan swabukti (qath’i dan badihi). Tidak mungkin ada kontradiksi pada bagian ini. Kedua, salah satunya pasti dan swabukti (qath’i dan badihi), sedang lainya hanya perkiraan (zhanni). Di sini, yang didahulukan adalah yang pasti; baik dia rasio atau pun wahyu. Ketiga, keduanya hanya bersifat perkiraan (dzhan). Di sini, diupayakan rekonsiliasi (jam’u) jika memungkinkan. Jika tidak, maka riwayat dari nabi atau pun atsar dari sahabat didahulukan jika jalur periwayatannya benar. Karena besar kemungkinan mereka dengar langsung dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam.

Baca Juga:  Rasionalitas Al-Qur'an Menurut Ahlu Sunnah Atsariyah - Bagian Kedua

Sedang metode rasionalitas ilmuwan dan cendekiawan belakangan (Khalaf/Mutakallimin) bertumpu pada akal/rasio yang awalnya dipengaruhi oleh infiltrasi filsafat ke dunia Islam lewat kemenangan (futuhat) kaum muslimin terhadap wilayah dakwah yang memiliki tradisi berpikir filosofis. Teolog Muktazilah dikenal sebagai sekolah pemikiran teologis pertama yang banyak mengadopsi dan berperan besar dalam bidang rasionalitas Islam ini di masa lalu, karena sering berhadapan dengan tokoh pemikir non muslim dalam berbagai event perdebatan rasional. Belakangan, karena sering terlibat dalam perdebatan secara intensif, kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai refresentasi kalangan Sunni, secara metodologis dan bertahap juga terpengaruh dengan rasionalitas Muktazilah. Sehingga ciri rasionalitas Muktazilah juga umumnya ada dengan persentase berbeda pada mazhab teologis Asy’ariyah dan Maturidiyah. Bahkan, pada kelompok liberal hari ini, rasionalitas Islam versi mereka banyak bertumpu pada filsafat material. Sehingga Islam ideal (progresif) dicari dan diasumsikan bukan pada teks-teks keagamaan yang utama, tapi pada sejarah historis (konteks masa lalu teks itu turun); dengan mengandalkan pendekatan budaya (adat istiadat) dan bahasa (filologi). Dalam proses dan prosedur rasionalisasi Islam, khalaf mengasumsikan akal pasti (qath’i) jika bertentangan dengan lahiriah teks maka akal didahulukan secara mutlak. Teks dianggap tidak valid secara langsung tanpa proses seleksi, sebagaimana metode salaf. Jika pun dianggap valid, maka yang diterima bukan makna literalnya tapi makna kiasannya (ta’wil). Jika ta’wil tidak diterima, maka ditempuh metode tafwid, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah dengan menganggapnya masuk kategori mutasyabihat. Sikap terakhir ini disebut oleh kalangan salaf sebagai eliminasi makna teks tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (ta’thil).

Secara ringkas, perbedaan antara rasionalitas Islam versi salaf dan Khalaf ini hanya membuktikan perdebatan efistemologis referensial yang terjadi di masa lalu antara otoritas wahyu dan akal dalam studi Islam… Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *