Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Ketika Anda mengkritik kebijakan-kebijakan Al-Mamlakah Al-Arabiyah Al-Sa’udiyah, terlebih Anda pernah menikmati fasilitas yang diberikan oleh KSA, biasanya Anda akan divonis dengan tak tau diri, air susu dibalas dengan air kencing onta, pengkhianat dan dengki dengan negara tauhid. Hal yang sama dialami oleh Al-Ikhwan Al-muslimin, sebab Saudi adalah tempat pengasingan paling aman dan menerima Ikhwan dengan tangan terbuka di era 60-an ketika Ikhwan diburu oleh rezim diktator baik di Mesir, Irak dan Suriah.
Jadi, bagaimana kita mendeskripsikan hubungan Saudi dan Ikhwan? Apakah itu seperti hubungan seorang tuan rumah kaya raya yang menampung seorang compang-camping yang terlunta dan terusir dari kampung halamannya? Atau itu adalah hubungan simbiosis mutualisme antara sebuah kerajaan yang butuh terhadap para ulama reformis, tenaga pengajar dan kader-kader yang potensial ditempatkan dibanyak lini dengan tokoh-tokoh pelarian politik yang butuh tempat aman untuk menyebarkan pemikirannya?
Karena Ikhwan bisa saja balik menuduh: ini orang Badui sudah diajarin biar nggak jumud, dibuat kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas ujung-ujungnya balik melabrak guru. Dasar durhaka.!
Maka, untuk itu kita perlu kembali mengorek-ngorek sejarah berdirinya KSA di era ini. Hubungannya dengan tokoh Salafiyah Islahiyah (untuk membedakannya dengan salafiyah taqlidiyah Saudi) seperti Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dan lain-lain lalu membaginya dalam tiga fase.
Fase Pertama
Fase pertama dimulai dari era pendirinya King Abdul Aziz dan penerusnya Raja Sa’ud bin Abdul Aziz. Fase ini kurang lebih berlangsung selama 32 tahun. Mulai dari tahun 1932 sampai tahun 1964 ketika Raja Sa’ud dicopot dari jabatannya.
Fase Kedua
Fase kedua adalah fase ketika Asy-Syahid Malik Faishal -rahimahullah- naik tahta. Fase ini adalah fase paling mesra hubungan Saudi dan Ikhwan. Di dekade ini, tokoh-tokoh Ikhwan menjadi penasehat kerajaan, menjadi dekan dan dosen di Universitas-universitas Saudi. Mereka membuat kurikulum universitas-universitas Saudi, menjadi pembimbing dan penguji didertasi dan lain-lain. Di era ini Rabithah ‘Alam Islami menjadi corong bagi Ikhwan untuk mengkampanyekan kepada umat Islam isu Palestina/Al-quds dan problematika-problematika umat lainnya. Kemudian WAMY sebagai organisasi pemuda muslim yang digunakan Ikhwan untuk mengkader para pemuda di seluruh dunia. Fase ini berlangsung kurang lebih selama 27 atau 28 tahun. Mulai dari raja Faishal, Raja Khalid dan paruh permata pemerintahan raja Fahd hingga perang teluk kedua tahun 1990-1991.
Fase Ketiga
Fase ketiga adalah fase setelah perang teluk, ketika Ikhwan mengkritik Kerajaan karena meminta bantuan Amerika untuk menghajar Saddam Husein yang menyerang Kuwait. Perang Afganistan yang telah usai membuat peran Ikhwan di Saudi ditinjau kembali. Termasuk kembalinya eks Mujahidin Arab dari Afghan. Lalu memburuk pasca Arab spring dan kemudian menjadi permusuhan terang-terangan era Raja Salman dan Putra Mahkota MBS.
Ketika fase tersebut akan kita bahas di hari-hari Kedepan.
Memframing Saudi dengan semua keburukannya tentu tidak adil. Walau bagaimanapun juga Saudi banyak jasanya dengan mendirikan mesjid-mesjid di banyak negara Islam, memberikan full beasiswa kepada para pemuda Islam, ada begitu banyak riyal yang digelontorkan Saudi di dunia Islam walaupun hal tersebut di anggap hanya dalam rangka penyebaran ideologi wahabisme di negara-negara Sunni yang mayoritas bermazhab Asy’ari dalam akidah.
Maka, sebagai orang yang pernah menikmati pundi-pundi riyal dari KSA, sebelum kita menyerang kembali intrik-intrik dan sikap menjijikkan Saudi di kawasan, marilah sama-sama kita mengheningkan cipta dan berkata: “Daama ‘Izzuka Ya Wathan”