Ada komunitas yang mengaku-ngaku bahwa mereka “memurnikan Tauhîd menebar cahaya Sunnah” namun seakan melakukan apapun juga untuk membela kezhôliman penguasa, termasuk dengan menyembunyikan ayat-ayat الله Subhânahu wa Ta‘âlâ dan memelintir pemahaman atasnya.
Contohnya adalah ketika mereka terus saja mendengung-dengungkan dalîl tentang perintah الله Subhânahu wa Ta‘âlâ kepada Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام dan Nabî Harun عليه السلام untuk menda‘wahi Fir‘aun dengan cara lemah-lembut.
? Firman الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ۞ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kalian berdua kepada Fir‘aun, sungguh-sungguh ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”[QS Thô-Hâ (20) ayat 43-44].
⇛ Al-Qur-ân adalah kebenaran yang muthlaq, karena tentunya saat memulai da‘wah maka harus dimulai dengan cara yang lemah-lembut, sebab tujuan dari da‘wah itu adalah mengingatkan dan mengajak manusia kepada الله Subhânahu wa Ta‘âlâ.
❓ Kemudian pertanyaannya adalah apakah da‘wah itu hanya statis sampai pada tahap itu saja, tetap pada sikap “lemah-lembut” itu saja?
Mari kita simak bagaimana fiqih da‘wah Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام sebagaimana yang الله Subhânahu wa Ta‘âlâ kisahkan di dalam al-Qur-ân…
Setelah Nabî Mûsâ menda‘wahi Fir‘aun dengan cara lemah-lembut, namun respon dari Fir‘aun adalah tidak menerima da‘wah Nabî Mûsâ tersebut. Malahan Fir‘aun menuduh yang tidak-tidak terhadap Nabî Mûsâ yaitu ingin mendongkel kekuasaannya. Fir‘aun malah menantang Nabî Mûsâ untuk duel sihir dengan para penyihir bayarannya.
? Firman الله Subhânahu wa Ta‘âlâ mengisahkan:
وَلَقَدْ أَرَيْنَاهُ آيَاتِنَا كُلَّهَا فَكَذَّبَ وَأَبَىٰ ۞ قَالَ أَجِئْتَنَا لِتُخْرِجَنَا مِنْ أَرْضِنَا بِسِحْرِكَ يَا مُوسَىٰ ۞ فَلَنَأْتِيَنَّكَ بِسِحْرٍ مِّثْلِهِ فَاجْعَلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ مَوْعِدًا لَّا نُخْلِفُهُ نَحْنُ وَلَا أَنتَ مَكَانًا سُوًى
“Dan sungguh-sungguh telah Kami perlihatkan kepadanya (Fir‘aun) tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya, maka ia mendustakannya dan enggan (menerima kebenaran). Kata Fir‘aun: “Adakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami (ini) dengan sihirmu, wahai Mûsâ? Dan kami pun pasti akan mendatangkan (pula) kepada kamu sihir yang semacam itu, maka aturlah suatu waktu untuk pertemuan antara kami dengan kamu, yang kami takkan menyalahinya dan tidak (pula) kamu, di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).”” [QS Thô-Hâ (20) ayat 56-57].
Perhatikan…
? Dalam Firman الله Subhânahu wa Ta‘âlâ mengisahkan:
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى ۞ فَتَوَلَّىٰ فِرْعَوْنُ فَجَمَعَ كَيْدَهُ ثُمَّ أَتَىٰ ۞ قَالَ لَهُم مُّوسَىٰ وَيْلَكُمْ لَا تَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُم بِعَذَابٍ ۖ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَىٰ
“Jawab (Mûsâ): “Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu adalah di hari raya, dan hendaklah manusia dikumpulkan pada waktu Matahari telah naik sepenggalan (dhuha)!”. Maka Fir‘aun pun meninggalkan (tempat itu) untuk mengatur tipu dayanya, kemudian ia kembali datang. Kata Mûsâ kepada mereka: “Celakalah kamu! Janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allôh hingga Dia membinasakan kamu dengan adzab!”. Dan sungguh-sungguh telah merugi orang yang mengada-adakan kedustaan.” [QS Thô-Hâ (20) ayat 59-61].
Ternyata Nabî Mûsâ menjawab tantangan Fir‘aun itu. Bahkan meminta agar orang-orang dikumpulkan di tempat terbuka pada hari raya untuk menyaksikan “adu kesaktian” antara sihir dari para penyihir bayaran Fir‘aun dengan mu‘jizat yang الله Subhânahu wa Ta‘âlâ berikan kepada para Rosûl – akan tetapi pada saat menjawab tantangan Fir‘aun tersebut, Nabî Mûsâ tidak tahu apa bentuk dari mu‘jizat yang akan الله karuniakan kepada Beliau.
Intinya, ternyata tidak ada yang namanya bahwa “nasihat kepada penguasa itu harus secara 4 mata” terus-terusan apabila kezhôliman dan kekufuran penguasa sudah dilakukan secara terang-terangan dan terus membandel tidak menerima da‘wah…!
Kelanjutan kisah antara Nabî Mûsâ dengan Fir‘aun tersebut banyak dari kita yang sudah mahfum, bahwa Nabî Mûsâ menaklukkan ribuan penyihir Fir‘aun, hingga para penyihir itu tunduk dan berîmân kepada Nabî Mûsâ dan risalah yang dibawanya. Konyolnya, Fir‘aun tak terima para penyihir bayarannya itu malah berîmân kepada Nabî Mûsâ, dan kemudian ia malah membantai para penyihirnya itu dengan cara memotong tangan dan kaki para penyihir tersebut secara menyilang, kemudian menyalib mereka di batang pohon Kurma.
Lalu apakah Nabî Mûsâ diam saja?, tetap mencukupkan diri da‘wah dengan lemah-lembut, kemudian menyibukkan diri dengan rajin mengadakan majlis ta‘lim / tabligh akbar, membaca kitâb, menyuruh Banî Isrô-îl cukup sekedar mencari nafkah saja, serta sibuk dengan anak-istri, kemudian mendo’akan kebaikan bagi pemimpin seperti yang di‘amalkan oleh kaum yang mengaku paling nyunnah sejagat raya itu?
Ternyata sama sekali tidak…!
Dari al-Qur-ân kita ketahui Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام memang mendo’akan Fir‘aun, akan tetapi dengan do’a keburukan…!
الله Subhânahu wa Ta‘âlâ mengisahkan:
رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَن سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
“Wahai Robb kami, sungguh Engkau telah memberi kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan di Dunia. Wahai Robb kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, mereka tak pernah akan berîmân hingga mereka melihat adzab yang pedih!”[QS Yûnus (10) ayat 88].
Ternyata Nabî Mûsâ mendo’akan keburukan bagi Fir‘aun dengan do’a yang sangat mengerikan!
Para penguasa zhôlim yang pendusta, tidak amanah dan khianat, suka ingkar janji, suka berbuat fâjir jika berselisih, apalagi suka berbuat kekufuran, maka tentunya sangat pantas dido’akan dengan do’a keburukan – bukan malahan dido’akan dengan do’a kebaikan dan mau dipertahankan dengan alasan penggantinya belum tentu lebih baik.
Kemudian Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام diperintahkan oleh الله Subhânahu wa Ta’âlâ untuk membawa Banî Isrô-îl untuk hijroh ke al-Quds, tanah Syâm, di mana saat hendak mengejar dan membantai Nabî Mûsâ dan Banî Isrô-îl itulah kemudian الله timpakan adzab yang mengerikan yang membinasakan Fir‘aun, Hâmân, dan pasukannya dengan ditenggelamkan dijepit dinding-dinding air yang sangat keras di tengah lautan.
Pelajaran penting dari kisah di atas adalah:
⑴. Bahwa memulai da‘wah itu kepada siapapun juga memang harus lemah-lembut, bukan hanya ketika itu terhadap penguasa.
Karena, kata Baginda Nabî Saw:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ … لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat, nasihat untuk (meng‘ibâdahi hanya) Allôh, untuk (berîmân dan merujuk kepada) Kitâb-Nya, untuk (ta’at kepada) Rosûl-Nya, dan untuk para pemimpin kaum Muslimîn dan untuk keseluruhan (kaum Muslimîn).”[HR Muslim no 55; Abû Dâwud no 4944; at-Tirmidzî no 1926; an-Nasâ-î no 4197, 4198, 4199; Ahmad no 16333, 16336; ad-Dârimî no 2796].
⑵. Namun jikalau para penguasa terus zhôlim, terus berbuat kemungkaran dan kekufuran secara terang-terangan, maka harus dinasihati secara terang-terangan pula.
Karena, kata Baginda Nabî Saw:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan kekuatan tangannya, jika ia tidak mampu melalukannya maka cegahlah dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu juga maka hendaklah (ia tentang) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah bentuk keîmânan.”[HR Muslim no 49; Abû Dâwud no 4340; an-Nasâ-î no 5008, 5009; Ibnu Mâjah no 1275, 4013; Ahmad no 10651, 10723, 11034, 11068, 11090].
⑶. Bahwa do’a keburukan bagi penguasa yang zhôlim dan kufur itu adalah benar dan sunnah dari para Nabiyullôh.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Siapa saja yang diberikan tanggung-jawab oleh Allôh untuk memimpin rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allôh mengharômkan Syurga baginya.” [HR Muslim no 142; ad-Dârimî no 2838].
Demikian – والله أعلمُ بالـصـواب – semoga dapat dipahami.
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ