Kenangan Terhadap Palestina, Syaikhul Mujahidin Dr Abdullah Azzam - Taqabbalahullah Minas Syuhada

Kenangan Terhadap Palestina, Syaikhul Mujahidin Dr Abdullah Azzam – Taqabbalahullah Minas Syuhada

Kekalahan tahun 1967 adalah sebuah nakbah (bencana) yang aku kira belum pernah terjadi dalam kehidupan manusia. Tiga negara runtuh dalam tiga jam di hadapan sebuah negara kecil yang tidak sebanding dengan mereka — tidak bahkan sepersepuluh, bahkan mungkin hanya seperlimabelas dari jumlah penduduk negara-negara di sekitarnya, dan tentaranya pun tidak sampai separuh kekuatan militer yang mengitarinya. Ini belum pernah terjadi. Sebuah nakbah—bahkan noda aib yang akan tetap berada di dahi bangsa Arab sampai hari kiamat.

Dataran Golan tidak mungkin jatuh kecuali dengan penyerahan; kecuali jika diserahkan tangan ke tangan. Pegunungan tinggi yang dipenuhi bunker—seandainya pesawat-pesawat terus membombardir selama enam bulan pun, tidak akan menghancurkan satu pun di antaranya. Menurutku, jumlah orang Yahudi yang tewas dalam pendudukan atas negara-negara itu hanya sekitar lima ratus. Dalam pertempuran Jaji, yang kami hadiri di bulan Ramadan, tentara Rusia yang tewas berkali-kali lipat lebih banyak daripada yang tewas dari pihak Israel di perbatasan, di tiga front itu. Percayalah. Mengapa? Karena tidak ada perlawanan yang terjadi.

Ketika militer Mesir bergerak, mereka mengumumkan: “Kami akan memerangi Israel dan siapa pun yang berada di belakang Israel,” dalam sebuah konferensi pers. “Dan kelaparlah wahai ikan, kami akan melemparkan mereka ke laut. Umm Kulthum akan bernyanyi untukmu di Tel Aviv.” Tentara bergerak, tinggal di Sinai selama sebulan penuh, dan lagu-lagu pun diarahkan kepada tentara: “Umm Kulthum bersamamu dalam pertempuran, Abdel Halim bersamamu dalam pertempuran…” dan seterusnya.

Sayangnya, tidak sekali pun kami mendengar seruan: “Allah bersamamu dalam pertempuran!”

Laporan diberikan kepada Presiden Abdul Nasser bahwa serangan akan terjadi pada hari Senin. Ia tidak bergerak, tidak mengubah apa pun. Tentara yang berada di gurun tidak membuat parit pertahanan—bahkan parit sekali pun! Padahal seorang prajurit seharusnya menggali parit—mereka tidak menggali apa pun.

Seseorang bertanya kepada presiden: “Apakah kalian akan memerangi Israel?” Ia menjawab: “Kamu kira kami akan berperang? Ini semua cuma demonstrasi politik.”

Di Golan, tank-tank diperintahkan untuk mundur. Churchill berkata: “Pada saat ribuan ton tembakan artileri Suriah dijatuhkan ke rerumputan kering dan sarang-sarang burung kosong di wilayah yang dikuasai Israel, buldoser-buldoser Israel justru sedang membuka jalan menaiki Golan di depan tank-tank Israel.” Ia berkata: “Dan ketika tank-tank Suriah mundur, rantai salah satu tank rusak. Komandan tank itu mengarahkan moncong meriamnya ke tank-tank Israel yang sedang naik ke Golan dan menghancurkan enam di antaranya, sehingga memperlambat kemajuan Israel di poros itu selama delapan jam.”

Sebuah tank yang rusak menghentikan pergerakan tank-tank Israel selama delapan jam!

Perdana Menteri Yordania, Saad Jum’ah—yang menjabat saat bencana besar yang kemudian disebut “Naksa”, seolah hanya pilek ringan—berkata: “Kami telah sepakat dengan Suriah bahwa mereka akan memberi kami perlindungan udara.” Ini adalah perkataan Perdana Menteri Yordania. Ia kemudian bertaubat, dan sebagai penebusan atas kesalahan-kesalahan yang ia pikul, ia kembali kepada Allah dengan membongkar semua kebusukan orang-orang yang bersamanya. Pengkhianatan… kerja sama dengan musuh… di semua front. Ia menulis beberapa buku untuk melepaskan beban yang ia saksikan dalam peperangan, hingga ia meninggal karena pengerasan pembuluh darah. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya… Ia tidak mampu mempercayainya. Maka ia menebus dosanya dengan mengumumkan apa yang ia saksikan. Ia menulis beberapa buku antara lain: (الله أو الدمار)( Allah atau Kehancuran(, (أبناء الأفاعي) Anak-anak Ular, (المؤامرة ومعركة المصير)Konspirasi dan Pertempuran Penentuan, dan lainnya.

Ia berkata: “Seharusnya Suriah memberi kami perlindungan udara. Kami menghubungi mereka pukul sebelas siang.” Ia berkata: “Kami menghubungi Presiden Abdul Nasser: bagaimana situasinya?” Pertama, Presiden Abdul Nasser berkata: ‘Kami telah menjatuhkan dua pertiga pesawat musuh. Pesawat-pesawat kami kini berada di atas Tel Aviv. Semangat, wahai Yang Mulia Raja! Tertanda: Salma.’ Bahkan nama Abdul Nasser dalam sandi adalah ‘Salma’, bukan ‘Salman’. Dan telegram ini, sayangnya, disadap oleh Israel.

Aku saat itu berada di Tepi Barat selama pertempuran, dan pesawat-pesawat mengebom kami. Setiap jam radio Israel mengulanginya: “Kami telah menjatuhkan dua pertiga pesawat musuh. Pesawat kami berada di atas Tel Aviv. Semangat, wahai Yang Mulia Raja! Tertanda: Salma.” Padahal, pukul sebelas itu seluruh angkatan udara Mesir sudah hancur; tidak ada satu pesawat pun yang mencapai perbatasan Israel! Oleh karena itu Yordania memasuki pertempuran pada pukul sebelas dengan keyakinan bahwa pesawat mereka benar-benar berada di atas Tel Aviv.

Ia berkata: “Kami menghubungi komando Suriah. Mereka berkata: beri kami waktu satu jam.” Jam sebelas… lalu jam dua belas… “beri kami waktu satu jam.” Dan kami masih menunggu jawaban itu sampai hari ini.

Ia berkata: “Ternyata masalahnya adalah Israel mengirim telegram kepada duta besar Amerika di Damaskus, dan berkata kepadanya: ‘Katakan kepada kepemimpinan ‘qutriyah’—karena Ba’ath punya kepemimpinan qutriyah dan nisfu qutriyah dan segala ‘lingkaran-lingkaran’ itu—katakan pada mereka bahwa ada sebuah eksperimen Alawi-sosialis di Suriah yang kami simpati, dan kami tidak ingin menyerangnya. Bila Suriah bersikap netral, kami tidak akan menyentuh perbatasannya.’ Maka mereka berkata kepada duta besar Amerika: ‘Kami siap. Katakan pada Israel agar tidak menyerang kami, dan kami tidak akan menyerang mereka.’”

Baca Juga:  Beginilah Shalahuddin Bersikap Terhadap Syi'Ah

Karena itu, wakil Suriah di PBB mengumumkan jatuhnya Quneitra. Wakil Israel berkata: “Tidak, kami belum mencapai Quneitra.” Mereka berkata: “Belum sampai?” Israel menjawab: “Tidak, kami belum sampai.” Dan gubernur Quneitra waktu itu adalah Abdul Halim Khaddam—yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Suriah. Ia menarik pasukan keluar, memerintahkan evakuasi, lalu diberi hadiah jabatan menteri luar negeri—karena ia turut dalam konspirasi itu.

Yordania mengirim beberapa tank di depan publik, sementara pasukan mereka mundur dari Masjidil Aqsa, dan sebagainya. Mereka memasuki pertempuran pukul sebelas hari Senin. Besok sorenya mereka mengumumkan: “Kami terpaksa mundur ke garis pertahanan kedua.” Aku mengira garis pertahanan kedua itu adalah mundur dari Yerusalem ke Shu’fat, Beit Hanina, atau Hayy al-Sheikh Jarrah. Ternyata garis pertahanan kedua adalah… pegunungan Salt!

Masjidil Aqsa jatuh pada tahun 1967, dan Yahudi memasukinya. Aku berada di sana—pendudukan terjadi saat aku berada di Tepi Barat. Mereka masuk dan berteriak, dan aku mendengar: “Muhammad telah mati, mati, dan hanya meninggalkan perempuan!” Dan Dayan mengumumkan: “Dari Yerusalem hingga Yatsrib.”

Kembali ke tentara Mesir: tank-tank Israel terus bergerak hingga mereka menduduki Terusan. Seluruh tentara Mesir tetap berada di gurun—banyak yang mati kelaparan dan kehausan. Palang Merah diizinkan menyelamatkan tentara Mesir. Israel mengizinkan para prajurit yang ingin kembali ke Kairo untuk kembali. Ribuan tawanan diambil. Ketika mereka dikirim ke Tel Aviv, mereka ditanya: “Di mana kalian?” Mata mereka tertutup. Mereka berkata: “Kami tidak tahu.” Mereka diberi tahu: “Kalian berada di Tel Aviv sekarang, dan Umm Kulthum akan bernyanyi untuk kalian di Tel Aviv.” Dan Umm Kulthum pun “bernyanyi” di Tel Aviv!

Pertempuran 1967 berakhir dengan kekalahan memalukan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Saat itu hanya ada segelintir pejuang bernama “Fatah.” Di tengah kekalahan seluruh negara Arab, Fatah mengumumkan bahwa mereka ingin memerangi Yahudi. “Siapa yang ingin maju, majulah. Wahai kaum Muslimin, majulah. Wahai Arab, majulah. Siapa yang ingin menyelamatkan Palestina, majulah!” Tidak ada yang maju kecuali para pemuda kecil, para murid kelas tiga menengah; kebanyakan dari mereka pelarian wajib militer. Mereka datang… dan organisasi itu akhirnya berkembang karena keadaan dan kebutuhan.

“Wahai Muslimin, majulah!”—tidak ada yang maju.

“Wahai orang-orang bijak, majulah!”—tidak ada yang maju.

Setahun setelah 1967, kaum Muslimin mencoba… tentu saja Muslimin sedang tertidur. Gerakan Islam tengah dihantam keras di Mesir. Sayyid Qutb telah dieksekusi sembilan bulan sebelum Naksa. 17.000 orang berada dalam penjara kerja paksa seumur hidup. Dan keluar keputusan: dilarang membebaskan satu pun anggota gerakan Islam dari penjara. Siapa yang menyelesaikan masa hukumannya harus dipindahkan ke tahanan administratif.

Di Suriah, kami berkata: Partai Ba’ath berkuasa di sana dan mereka menyiarkan:

“Aku beriman kepada Ba’ath sebagai Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya, dan kepada Arabisme sebagai agama yang tiada duanya!”

Di Yordania, gerakan Islam mencoba mengobati luka dan merapikan barisannya. Para pemimpinnya berkeliling ke negeri-negeri Islam, dunia Arab, menyeru: “Wahai kaum Muslimin, bangunlah! Palestina!” Namun umat Islam tertidur pulas dalam lelap yang berdengkur… Maka yang maju hanyalah kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok ini telah didahului oleh kader-kader Fatah, kader-kader Front Populer Demokratik—Naif Hawatmeh—dan kader-kader Front Nasional untuk Pembebasan Palestina pimpinan George Habash. Masing-masing mendapat sokongan dari suatu negara: Abdul Nasser mendukung George Habash, negara-negara lain mengirim kelompok-kelompok berhaluan non-agama, Suriah mendukung “al-Sa‘iqa” Suriah, Irak pun mendukung “al-Sa‘iqa” Irak. Semua memasuki arena Yordania-Palestina untuk menyebarkan ideologi mereka.

Dalam situasi seperti itu, kaum Muslimin tidak bisa mengangkat panji Islam secara terbuka. Mereka melihat medan: panji mana yang paling dekat dengan agama Allah, atau paling sedikit kekufurannya, atau kejahatannya, atau yang paling sedikit keburukannya? Mereka melihat bahwa itu adalah Fatah. Maka mereka berkata kepada Fatah: “Kami akan bekerja di bawah panji kalian, dengan syarat basis kami, senjata kami, dan seluruh urusan kami tetap terpisah dari kalian.” Mereka berkata: “Baik.”

Kami pergi ke kamp—seperti kamp pelatihan. Latihan berlangsung empat bulan. Allah menganugerahkan kepada manusia rasa nikmatnya jihad. Selama empat bulan itu, aku tidak ingat pernah kenyang kecuali satu kali saja. Setiap hari: setengah roti di pagi hari, siang, dan sore. Roti tipis seperti roti pasar yang bila ditiup bisa terbang. Di depan kaleng zaitun, mereka menghitungkan sepuluh butir untukmu, lalu pergi tanpa teh. Kalian berpikir di sini orang minum teh sampai keluar dari hidungnya!

Baca Juga:  Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Berikan Surat Penganduan Kepada Komisi Penyiaran Indonesia Terkait Iklan PSI

Ya, kami benar-benar sangat menderita kelaparan. Tetapi itu adalah kenikmatan—bahkan salah satu masa terbaik dalam hidup. Seseorang merasa dirinya seperti raja… di atas semua orang. Ia merasa bebas dari segala hal; tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya. Selain itu, rasa bahwa Allah meridhainya memberi suasana ketenangan, kedamaian, dan cinta yang luar biasa. Berhubung di medan itu tidak ada selain kami dari kaum Muslimin—tidak ada seorang pun yang mengusikmu, berkata: “Engkau begini… manhajmu begitu… akidahmu begini… bid’ahmu begitu…”—kami merasa sangat tenang.

Satu-satunya hal yang mengganggu kami adalah keberadaan basis kaum sekuler di sekitar kami—kelompok-kelompok demokratik dan front-front rakyat. Masyarakat di Tepi Timur—wilayah semisal ini—adalah masyarakat kabilah, seperti rakyat Afghanistan: mereka memiliki keteguhan, kejantanan, dan sifat keperwiraan. Mereka merangkul kami; mereka membuka kebun-kebun mereka untuk kami. Basis kami tidak layak huni, kami mencari gua—setiap kelompok tinggal di sebuah gua. Ketika kami masuk gua, aku ingat berkata kepada mereka ayat ini:

﴿فَأۡوُا۟ إِلَى ٱلۡكَهۡفِ یَنشُرۡ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّن رَّحۡمَتِهِۦ وَیُهَیِّئۡ لَكُم مِّنۡ أَمۡرِكُم مِّرۡفَقࣰا﴾

“Pergilah ke gua, niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian, dan menyediakan bagi kalian kemudahan dalam urusan kalian.” (Al-Kahf: 16)

Tentara Yordania di perbatasan—seperti tentara Pakistan—mengenal kami dan menyebut kami “para syaikh.” Basis kami dikenal sebagai “basis para syaikh.” Aku masih ingat komandan brigadir—ada tiga batalion penjaga Lembah Yordania—komandannya seorang Badui bernama Khalaf Rafi‘. Ia memiliki sifat-sifat Badui: kejantanan dan kehormatan. Jika ia bertemu salah satu dari kami, ia berhenti dan berkata: “Ada yang bisa kami lakukan, wahai para syaikh?” Dan salah seorang dari kami menjawab: “Jazakallāh khairan.” Lalu ia pergi.

Tentara sangat menghormati kami—berbeda dengan kelompok lain. Kelompok lain itu benar-benar membuat tentara marah. Tentara di perbatasan Tepi Timur, ketika mereka melihat kelompok lain, komandan batalion—bahkan wakil komandan, seorang Palestina yang mencintai jihad Palestina—bertanya: “Ke mana, wahai anak-anak muda?” Setiap dari mereka memakai seragam khusus, membawa Kalashnikov, membawa DShK di mobil, semuanya bersenjata Rusia. “Operasi?” kata mereka. Komandan bertanya: “InsyaAllah kalian akan menyeberang sungai?” Mereka menjawab: “Bukan urusanmu!”

Ia berkata: “Dengarkan… jika kalian ingin menyeberang sungai, aku akan melindungi kalian dan aku akan menembakkan gas untuk menutupi mundur kalian. Tapi jika kalian melakukan operasi dari timur sungai, lalu menembak ke udara dan membakar angin kosong, dan besok paginya pesawat Israel datang membakar kami dan mengubur kami hidup-hidup—itu tidak kami terima!”

Lalu salah satu dari mereka—anak muda tanpa adab dan tanpa Islam—berkata kepadanya: “Kamu memang agen, seperti rajamu!” Mereka tidak memiliki otoritas apa pun atas mereka. Adakah otoritas atasmu di sini? Tidak ada. Tapi kami bekerja untuk Islam—kami tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor atau menyinggung orang. Jika komandan menegur sedikit, mereka meludahi wajahnya! Jika ia menambah teguran, mereka menjatuhkannya ke tanah, menarik baut senjata, lalu menembaknya dan membunuhnya. Dan tidak ada apa pun yang terjadi. Anak-anak tak bertanggung jawab yang tidak punya komitmen.

Pandangan mereka terhadap kami sangat berbeda. Ketika kami lewat, mereka berkata: “Para syaikh, ke mana?” Kami menjawab: “Operasi.” Mereka bertanya: “Timur sungai atau barat sungai?” Kami jelaskan rencana kami. Mereka berkata: “Kalian jujur, silakan.”

Mereka sangat menghormati kami… Aku ingat suatu ketika kami melakukan operasi—dari timur sungai. Ada patroli berjalan di tepi sungai dari arah barat. Kami memasang penyergapan di timur sungai dan menghantam mereka—Alhamdulillah, mengenai sasaran. Lalu pesawat-pesawat keluar dan membombardir kami, dan artileri terus menghajar kami. Kami tidak bisa mundur—kami berada di tepi sungai, tidak bisa bergerak. Pesawat menyerang, artileri menyerang. Kami bertahan hingga magrib di bawah jembatan kecil.

Dalam pertempuran itu, dua saudara kami dari Suriah terluka—semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan. Komandan batalion datang di tengah hujan bom, mengambil saudara kami yang terluka, memasukkannya ke mobilnya. Komandan batalion itu sendiri terluka, tapi ia tetap membawa saudara kami itu ke rumah sakit di kota.

Aku ingat hari itu: tentara menunggu hingga matahari terbenam. Tiba-tiba mereka sudah berada di atas kepala kami. Kami terluka, membawa senjata, tidak mampu membereskannya atau membantu saudara kami yang terluka. Mereka mengangkatnya, mengangkat senjata kami, dan mereka telah menyiapkan makan malam yang mewah—yang tidak pernah aku cicipi selama hidupku di basis. Mereka memasukkan kami ke mobil-mobil mereka dan membawa kami pergi.

Sumber: Majalah Ansharun Nabi edisi 42, November 2025M, hal. 237 dan seterusnya.

Bagikan Artikel:

==========================================

Yuks!, perbanyak amal jariyah dengan ikut berpartisipasi dalam upaya meningkatkan kualitas dakwah islamiyah bersama Pesantren Bina Insan Kamil, salurkan donasi terbaik Antum melalui rekening:

Bank Syariah Indonesia
7000 7555 00
a/n Bina Insan Kamil Pramuka

Kode Bank: 451

Konfirmasi Transfer:
https://wa.me/6282298441075 (Gita)

Ikuti juga konten lainnya di sosial media Pesantren Bina Insan Kamil:
Instagram: https://www.instagram.com/pesantrenbik
Fanspage: https://www.facebook.com/pesantrenbik
YouTube: https://www.youtube.com/c/PesantrenBIK

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *